JPIK selama ini cukup berperan dalam proses perubahan P.38/2009 yang telah melahirkan P.68/2011. Sayangnya baik dalam P.38/2009 maupun P.68/2011, JPIK tetap dipandang sebagai “Anak Tiri”, padahal justru perannya sangat penting demi kredibilitas sertifikasi itu. Namun yang terpenting adalah JPIK telah berjuang hingga terakomudirnya peran Masyarakat Madani baik yang terorganisir maupun individu dimana bisa secara langsung menyampaikan KEBERATAN (sesuai P.38) atau KELUHAN (sesuai P.68).
Indonesia telah berkomitmen untuk mendukung Forest Governance di Indonesia, khususnya terkait pemberantasan illegal logging dan kebutuhan akan perdagangan kayu yang legal terutama di tingkat internasional, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut II/2011 tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). P.68 ini adalah hasil revisi dari P.38/Menhut-II/2009. SVLK melakukan penilaian dan verifikasi yang meliputi: (i) penilaian kinerja dan verifikasi legalitas kayu atas pemegang IUPHHK berdasarkan standar penilaian PHPL (Pengelolaan Hutan Produksi Lestari) yang diperuntukkan bagi pemilik IUPHHK; dan (ii) verifikasi legalitas kayu atas pemegang IUPHHK, IPK dan IUI Lanjutan serta pemilik Hutan Hak (Hutan Rakyat) berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sejauh ini dari 304 perusahaan pemegang IUPHHK-HA/HT yang ada, sudah ada 19 (Sembilan belas) perusahaan konsesi yang menerima PHPL. Dan dari 4000 industri perkayuan yang ada, sudah ada 150 (seratus limapuluh) industri perkayuan menerima sertifikat LK (SVLK).
Merujuk pada peraturan di P.68, ada beberapa elemen penting dalam SVLK. Pertama yaitu Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementeriaan Kehutanan; Elemen kedua adalah unit manajemen dari pemegang IUPHHK, IPK, IUIPHHK, dan IUI Lanjutan serta pemilik Hutan Hak (Hutan Rakyat); Ketiga adalah lembaga akreditasi sertifikasi yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN); kemudian, elemen keempat adalah, Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP&VI) yang terdiri dari: (i) Lembaga Penilai Pengelolaan Hasil Hutan Lestari (LP-PHPL), dan, (ii) Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK); dan elemen terakhir yang tak kalah penting adalah Pemantau Independen (LPI) yang bentuk kelembagaannya adalah organisasi masyarakat sipil ataupun individu masyarakat. Secara khusus, Pemantau Independen (PI) berfungsi untuk melakukan pemantauan dalam menilai proses penilaian pengelolaan hutan produksi lestari oleh LPPHPL dan verifikasi legalitas kayu oleh LVLK. PI dapat mengajukan keluhan kepadan LPPHPL atau LVLK atas hasil penilaian atau verifikasi untuk mendapatkan penyelesaian. Pengawasan yang dilakukan secara independen diharapkan dapat memastikan adanya proses yang jujur dalam pemberian sertifikasi. Proses pemberian sertifikasi yang jujur akan mempercepat komitmen Indonesia untuk mengelola hutan secara lestari.
Dalam konteks pemantauan SVLK, pada bulan September 2010, telah dibentuk sebuah Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di Indonesia, terdiri dari 29 masyarakat sipil dan organisasi masyarakat adat dari semua pulau utama di Indonesia yang mencakup 21 provinsi, termasuk di dalamnya Telapak/FWI dan jaringannya. JPIK telah membangun mekanisme komunikasi internal dengan mengangkat seorang dinamisator di nasional yang berkedudukan di Bogor dan fokal point yang tersebar di 21 provinsi. Saat ini telah terbangun komunikasi yang cukup efektif diantara anggota/elemen JPIK terkait aktivitas sertifikasi di setiap provinsi. Untuk mengefektifkan kinerja jaringan, JPIK telah memiliki code of conduct & working standard untuk pemantauan akreditasi, proses penilaian dan keputusan serta review sistem. Hingga saat ini, anggota JPIK yang tercatat sebanyak 129 yang terdiri dari 40 lembaga dan 89 individu.
Telapak bersama FWI juga telah memfasilitasi beberapa anggota JPIK di perwakilan region: Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku dan Tanah Papua dalam melakukan kegiatan pengawasan independen kehutanan. Hasil dari pelaksanaan kegiatan tersebut adalah diidentifikasinya beberapa permasalahan penyalahgunaan prosedur dalam kriteria/indikator pemberian sertifikat PHPL dan sertifikat LK (seritifikat Legalitas Kayu). Temuan ini sudah disampaikan kepada lembaga auditor dan KAN serta masih menunggu tindak lanjut dari penyelesaian dengan lembaga auditor. JPIK selama ini cukup berperan dalam proses perubahan P.38/2009 yang telah melahirkan P.68/2011. Sayangnya baik dalam P.38/2009 maupun P.68/2011, JPIK tetap dipandang sebagai “Anak Tiri”, padahal justru perannya sangat penting demi kredibilitas sertifikasi itu. Namun yang terpenting adalah JPIK telah berjuang hingga terakomudirnya peran Masyarakat Madani baik yang terorganisir maupun individu dimana bisa secara langsung menyampaikan KEBERATAN (sesuai P.38) atau KELUHAN (sesuai P.68).
Telapak dan Kemitraan juga menyadari pentingnya menambah lebih banyak keikutsertaan masyarakat lokal/adat sekitar hutan dalam kegiatan independen monitoring kehutanan. Karena disadari bahwa masyarakat lokal/adat sekitar hutan lebih memahami persoalan yang timbul karena eksploitasi hutan dan mengetahui bagaimana operasional konsesi kayu di sekitar mereka.
Berdasarkan masalah-masalah tersebut, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mendapatkan dukungan dari Kemitraan yang akan bekerjasama dengan Perkumpulan Telapak untuk mendukung serial kegiatan peningkatan kapasitas CSO terutama bagi masyarakat lokal/adat sekitar hutan dalam pelatihan independent monitoring kehutanan guna melaksanaan SVLK yang efektif dan efisien. Kegiatan awal ini akan berbentuk workshop penulisan untuk mereview modul pelatihan independen monitoring kehutanan yang telah ada sehingga sesuai dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat lokal/adat sekitar hutan. Dalam kesempatan ini, semua Focalpoint JPIK dari seluruh Indonesia bersama lembaga-lembaga Penilai dan Verifikator Independen serta pihak Kementerian Kehutanan membahas efektifitas kerja-kerja dalam rangka pelaksanaan P.38/2009 jo P.68/2011.
Tentu forum ini selain merupakan review pengalaman pelaksanaan P.38/2009, juga membahas pelaksanaan P.68/2011. Hingga hari ini pertemuan JPIK yang menghadirkan pula seluruh stakeholders PHPL dan SVLK masih terus membahas pentingnya pelaksanaan sertifikasi kehutanan tersebut. Mudah-mudahan aturan ini tidak sulit untuk diterapkan. Tentu masyarakat adat pengelola kehutanan pun perlu berperan aktif dalam proses-proses pemantauan tersebut.
Dalam pertemuan ini juga terdapat ruang dimana semua stakeholders berbagi pengalaman baik oleh Lembaga-lembaga Penilai dan Verifikator, maupun JPIK. Ternyata banyak hal yang perlu dibenahi lagi dalam pelaksanaan aturan tentang SVLK dan PHPL. Dari kalangan pemerintah yakni Kementerian Kehutanan pun berbagi pengalaman juga. Diakui bahwa ternyata tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Maka, forum pertemuan ini dapatlah menjadi ruang “CURHAT” (curahan hati) bersama semua stakeholders. Semoga CURHAT ini memunculkan jalan keluarnya agar tidak saling memberatkan satu sama lainnya
———-
Pietsau Amafnini, Koordinator JASOIL Tanah Papua/Focalpoint JPIK Daerah Papua Barat.
Sumber : http://jasoilpapua.blogspot.com