Pemindahan IKN
Pada tanggal 26 Agustus 2019 Presiden Jokowi melalui siaran persnya mengumumkan Pemindahan Ibukota Negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur menjadi lokasi dimana Ibukota Negara (IKN) akan dibangun dan menjadi pusat pemerintahan kedepannya.
Menjadi sebuah pertanyaan besar, Mengapa ibukota negara pindah ke wilayah tersebut? Apa urgensi pindah nya ibukota negara ke Provinsi Kalimantan Timur? Ketidakmerataan informasi (Asimetris Informasi) yang diterima oleh masyarakat luas masih menjadi permasalahan mendasar. Asimetris Informasi masih menjadi permasalahan mendasar dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
Ibukota Negara bukanlah lahan kosong, sebagian besar wilayah tersebut sudah dikuasai oleh industri ekstraktif. Sekitar 51% lahan di IKN sudah dikuasai oleh berbagai korporasi, mulai dari usaha kehutanan berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI), juga termasuk perkebunan kelapa sawit, dan korporasi ekstraktif seperti pertambangan. Selain itu, tata kelola sumberdaya hutan di wilayah Ibukota Negara bermasalah, terdapat temuan silang sengkarut pemanfaatan hutan dan lahan di IKN pada areal dengan luas lebih dari 39 ribu hektare. Permasalahan silang sengkarut perizinan ini merupakan potret yang mengindikasikan buruknya tata kelola sumber daya hutan dan lahan yang masih mengedepankan pendekatan pengelolaan melalui skema perizinan berusaha. Selain itu, di wilayah Ibukota Negara yang meliputi Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, masih terdapat hutan alam tersisa seluas 26,8 ribu hektare atau hanya meliputi 10% dari luas keseluruhan wilayah IKN Nusantara. Bahkan deforestasi di wilayah IKN dalam kurun waktu 3 tahun (2018-2021) mencapai 18 ribu hektare. Sebagian besar hutan tersebut juga berada di fungsi hutan produksi seluas 16,8 ribu hektare dan Area Penggunaan Lain seluas 8,5 ribu hektare,sementara di hutan lindung hanya tersisa seluas 5 hektar.
Dengan adanya Pembangunan di Ibukota Negara di wilayah Kalimantan Timur semakin mengancam keberadaan hutan alam yang memiliki peran yang vital di Kawasan Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Sebagai negara maritim dan rumah terbesar bagi ekosistem mangrove di dunia. Teluk Balikpapan menjadi salah satu representasi dari ekosistem mangrove di Indonesia. Hutan Mangrove di wilayah Ibukota Negara (IKN) terletak di pesisir wilayah Penajam Paser Utara dan Sebagian Teluk Balikpapan. Pada tahun 2018, luasan mangrove di Teluk Balikpapan mencapai 16.800 hektare. Total luas wilayah hutan mangrove yang berada di wilayah Ibukota Negara mencapai 8,6 ribu hektar. Hutan mangrove di Teluk Balikpapan memiliki peran penting untuk melindungi pesisir dari abrasi, mitigasi bencana dan juga sebagai tempat pemijahan ikan.
Keanekaragaman Hayati Teluk Balikpapan
Teluk Balikpapan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena menjadi muara dari beberapa sungai di 3 Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan. Teluk Balikpapan memiliki peran yang vital sebagai habitat berbagai spesies satwa yang dilindungi, yang meliputi Bekantan (Nasalis Larvatus), Pesut Pesisir (Orcaella brevirostris) dan Dugong (Dugong dugon). Teluk Balikpapan menjadi salah satu kawasan terbanyak di belahan dunia yang dihuni populasi monyet hidung panjang (Nasalis larvatus). Habitat Bekantan berupa hutan mangrove semakin terancam akibat meluasnya industri ekstraktif.
Kawasan Industri Kariangau dan Kawasan Industri Buluminung merupakan bagian atau wilayah dari Teluk Balikpapan yang menjadi habitat bekantan. Teluk Balikpapan merupakan habitat bagi Pesut. Pesut menjadi mata rantai makanan yang penting di Wilayah Teluk Balikpapan. Tingginya aktivitas industri di sekitar Teluk Balikpapan yang meliputi Kawasan Industri Kariangau, bongkar muat logistik, industri batubara, industri minyak dan gas serta kelapa sawit menjadi faktor yang mengancam populasi Pesut di Teluk Balikpapan. Dugong merupakan salah satu hewan terlangka di Indonesia. Maraknya industri eksplorasi minyak dan gas, hilir mudik kapal-kapal besar di Balikpapan dan pembangunan yang marak di sepanjang pesisir pantai Kota Balikpapan, semakin mengancam dugong (Dugong dugon). Di Kalimantan sendiri, dugong bisa ditemui di Teluk Balikpapan, Kabupaten Berau, Kepulauan Derawan, Kepulauan Karimata, semua di Kalimantan Timur. Selain itu ditemukan satwa lain nya seperti Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Buaya (Crocodylus sp). Satwa tersebut menjadikan Teluk Balikpapan sebagai lokasi mencari makan (feeding ground). Selain itu masyarakat menjadikan Teluk Balikpapan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Pesisir dalam menangkap ikan.
Kepentingan Ruang Masyarakat Vs Industri Ekstraktif
Pentingnya Teluk Balikpapan secara ekologi semakin terancam dengan adanya Pembangunan Ibukota Negara. Faktanya terjadi berbagai bentrokan antar kepentingan dalam hal penguasaan Ruang Kelola Masyarakat yang dihadapkan dengan industri ekstraktif. Di Sektor Pertambangan, ditemukan 83 izin usaha tambang di wilayah IKN dengan luas mencapai 67.986 hektar, Seluas 55.075 hektar konsesi perkebunan di wilayah IKN Nusantara dikuasai oleh 16 izin usaha perkebunan. Sektor Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam yang ada di wilayah IKN Nusantara mencapai 9.300 hektare yang dikuasai oleh 2 perusahaan besar. Di Sektor izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan industri, dikuasai oleh 2 konsesi dengan total luasan perusahaan seluas 35.293 hektar. Keberadaan izin-izin ini membuktikan bahwa sebagian besar wilayah IKN Nusantara yang akan dibangun menjadi ibu kota baru, dikuasai oleh sektor privat melalui konsesi-konsesi izin usaha tersebut dan kepentingan ruang hidup masyarakat dikesampingkan.
Selain itu, pada tahun 2019, ditengah Pandemi Covid-19 yang memprihatinkan, Pemerintah Daerah Kalimantan Timur bersikeras melahirkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang semakin mempertanyakan tentang eksistensi ekologi dan nasib nelayan khususnya di Teluk Balikpapan. Perda tersebut merampas ruang hidup masyarakat pesisir dan merusak bentang pesisir dan laut di Teluk Balikpapan. Selain itu RZWP3K disusun bukan untuk kepentingan masyarakat pesisir, namun untuk melayani kepentingan investasi berskala industri. Tidak adanya lagi ruang tangkap nelayan, serta perkampungan nelayan di Teluk Balikpapan yang tidak diakomodir oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur di dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Setidaknya terdapat 5 Desa Nelayan yang akan hilang, antara lain Jenebora, Pantai Lango, Maridan, Pamaluan, Mentawir.
Tercatat, sejak tahun 2011, Teluk Balikpapan sudah direkomendasikan untuk dijadikan kawasan konservasi kepada Gubernur Kaltim. Yayasan RASI bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Timur pada saat itu telah membuat kajian, dan hasilnya Teluk Balikpapan direkomendasikan menjadi kawasan konservasi. Kawasan Konervasi dimaksudkan untuk mengakomodir kepentingan ruang tangkap bagi nelayan serta perlindungan habitat satwa di Teluk Balikpapan. Sayangnya sampai sekarang Gubernur Kaltim tidak merespon.
Bahkan setelah dikeluarkannya Surat Rekomendasi Walikota Balikpapan kepada Gubernur Kaltim Nomor 660/0117/DLH/2019 tertanggal 31 Januari 2019 pun Gubernur tidak menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat nelayan. Dari berbagai proses yang telah ditempuh, dapat kita lihat Bersama bagaimana Pemerintah Daerah Provinsi Kaltim lebih mementingkan sektor ekonomi demi kepentingan investor dibandingkan sektor ekologi yang menjadi ruang hidup masyarakat pesisir di Teluk Balikpapan.
Sebagai gambaran, daratan Pesisir di Kaltim memiliki luas 3,6 Juta Ha yang meliputi 55 Kecamatan pesisir dan terdiri dari 529 Desa. Hampir 50% wilayahnya habis diperuntukkan bagi sektor tambang. Dari 3,6 Juta Ha tersebut, sebanyak 1,5 Juta Ha atau setara 42% luas daratan diperuntukkan untuk tambang mineral dan batubara dan 34% dialokasikan untuk perkebunan. Tidak hanya itu, 18% dipergunakan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 17% diperuntukkan bagi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dari 1,5 Juta Ha yang diperuntukkan untuk tambang, sebanyak 1,3 Juta ha (39%) telah terbit IUP. Dari 1,2 Juta Ha untuk sektor perkebunan, telah terbit sebanyak 564 ribu hektar izin perkebunan.
Di kawasan bentang alam Karst Kaltim juga tak luput dari ancaman Industri Tambang. Ekosistem Karst yang menjadi sumber bagi pasokan Air Tawar masyarakat pesisir di kawasan Utara Provinsi Kaltim kedepannya akan mendapatkan gangguan besar dengan telah terkaplingnya 65.460 Ha Izin Tambang di atas Kawasan Karst pesisir Kaltim. Ancaman ini tidak hanya di daratan pesisir tapi juga di perairan sepanjang utara Kaltim hingga menyusuri wilayah selatan. Dari 3,7 Juta Ha luas perairan Kaltim (12 Mil Laut), sebanyak 1,3 juta telah terkapling penambangan Minyak dan Gas. Ironisnya dari luasan tersebut sebanyak 719 Ribu Ha menyerobot wilayah tangkapan nelayan tradisional Kalimantan Timur. Dari fakta temuan tersebut terlihat minimnya kepentingan ruang masyarakat dan semakin memperlihatkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah di Provinsi Kalimantan Timur dikuasai dan berpihak ke industri ekstraktif yang merusak ekosistem Pesisir Kalimantan Timur.
Menarik Komitmen Perlindungan
Melihat fakta yang ada, diperlukan komitmen Bersama dalam upaya perlindungan berbagai ekosistem, di tengah sarat kepentingan. Dalam perjalanannya, berbagai kebijakan yang mendukung perlindungan ekosistem mangrove tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM) yang bertujuan dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove lestari serta masyarakat sejahtera berkelanjutan berdasarkan sumber daya yang tersedia. Perpres ini juga mengamanahkan untuk meningkatkan status perlindungan mangrove di Teluk Balikpapan.
Selain itu juga, perlindungan Kawasan Teluk Balikpapan tertera dalam Surat Keputusan Gubernur Kalimantan timur Nomor 522.5/K.672/2020 tentang Penetapan Peta Indikatif Ekosistem Esensial. Perpres tersebut menunjukan upaya perlindungan terhadap luasan Kawasan KEE Teluk Balikpapan yang mencapai 65.000 ha, namun sayangnya rencana pembangunan IKN akan menggunakan sebagian wilayah dari KEE, sehingga pengelolaan kawasan itu menjadi tidak jelas.
Melalui Peraturan Daerah No 2 Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kalimantan Timur. Dalam perda tersebut mengatur wilayah peta zona kawasan konservasi, pulau-pulau kecil, perairan maritim, dan taman wisata alam laut. Teluk Balikpapan-Kabupaten Penajam Paser Utara masuk ke dalam Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KKP3K) dengan kode KKP3K-06 sampai dengan KKP3K-07. Untuk wilayah pesisir tersebut memiliki alokasi ruang untuk wilayah perairan laut sampai dengan 2 mil laut (3704 meter) dan diutamakan untuk Kawasan Konservasi,ruang penghidupan dan akses kepada nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudidaya ikan kecil, petambak garam kecil, wisata bahari berkelanjutan dan infrastruktur publik.
Rekomendasi
Teluk Balikpapan menjadi habitat penting bagi beberapa spesies satwa dilindungi seperti Bekantan (Nasalis Larvatus), Pesut Pesisir (Orcaella brevirostris),Dugong (Dugong dugon) dan beberapa spesies satwa penting lainnya seperti Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Buaya (Crocodylus sp.). Selain itu, Teluk Balikpapan juga dijadikan sebagai area mencari makan (feeding ground). Hal ini menjadi indikasi terkait urgensinya menjaga mangrove di Teluk Balikpapan yang menjadi habitat satwa dan menjadi ruang hidup bagi nelayan. Tidak heran ekosistem mangrove juga merupakan area penting tangkap ikan (fishing ground) nelayan sehingga menjadi bagian ruang hidup masyarakat pesisir. Ekosistem mangrove Teluk Balikpapan merupakan area penting bukan semata karena fungsi ekologinya saja, melainkan juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat pesisir.
Betapa pentingnya Peran mangrove di Teluk Balikpapan menjadi sebuah indikasi untuk menjaga kelestarian Hutan Mangrove di Teluk Balikpapan. Berbagai kegiatan dalam upaya perlindungan Teluk Balikpapan dapat dilakukan, seperti upaya pengawasan (monitoring) Ekosistem Mangrove yang dilakukan secara berkala secara sukarelawan. Selain itu, perlu diberlakukannya penegakan Hukum yang tegas dan mencabut berbagai izin industri ekstraktif yang terbukti melanggar dan merusak hutan alam di Teluk Balikpapan. Berbagai Inisiasi dalam upaya perlindungan ekosistem mangrove dapat ditempuh melalui upaya advokasi perlindungan wilayah pesisir dan perairan Teluk Balikpapan. KLHK dan Otorita IKN harus menjalankan mandat dalam perlindungan Ekosistem Mangrove sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM) yang bertujuan dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove lestari serta masyarakat sejahtera berkelanjutan.