Minyak sawit telah menjadi komoditas penting bagi Indonesia dan pasar dunia saat ini. Secara nasional produk kelapa sawit menjadi sumber devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas bumi. Dan lebih dari 40% kebutuhan minyak sawit dunia dipasok dari Indonesia. Besarnya perhatian pemerintah terhadap kelapa sawit bisa dilihat dari peningkatan ekspor minyak kelapa sawit yang cenderung tajam. Pada tahun 2008 total volume ekspor mencapai 15,65 juta ton dengan nilai US$ 13,80 milyar, sementara pada tahun 2014 sudah meningkat menjadi 24,37 juta ton dengan nilai US$ 19,01 milyar.[FWI, Ekspansi Kelapa Sawit di Pulau Kalimantan, 2016]
Peluang pemerintah untuk menghasilkan devisa dari produk kelapa sawit, diikuti dengan upaya memacu produksi kelapa sawit, yang pada gilirannya mendorong meningkatnya kebutuhan lahan untuk penanaman komoditas ini. Pada tahun 2009 areal perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 7,95 juta hektare, dan pada 2013 meningkat menjadi 10,46 juta hektare, kemudian tahun berikutnya bertambah menjadi 10,96 juta hektare. Badan Pusat Statistik memperkirakan pada tahun 2015 lahan perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 11,44 juta hektare atau meningkat sebesar 4,46 persen.[FWI, Ekspansi Kelapa Sawit di Pulau Kalimantan, 2016]
Peningkatan produksi minyak kelapa sawit yang sangat cepat dikhawatirkan dapat mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) yang berakibat pada hilangnya tutupan hutan dan kawasan hutan, meningkatnya emisi gas rumah kaca, dan memicu konflik sosial dengan masyarakat adat/lokal di areal sekitar perkebunan.
Pemerintah didorong untuk menerapkan sebuah instrument penilaian berdasar pada sistem keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berwawasan lingkungan yaitu ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Perkebunan kelapa sawit berkelanjutan indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang selanjutnya disebut ISPO adalah sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.[Permentan No 19/2011 Tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia]
Namun di sisi lain, industri kelapa sawit Indonesia banyak dikritisi karena dituding memiliki dampak negatif, terutama dampak lingkungan hidup dan dampak pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dampak lingkungan hidup yang sering disebut adalah permasalahan kebakaran lahan yang diakibatkan oleh pembukaan kebun sawit. Hilang dan rusaknya kawasan tutupan hutan, terancamnya keragaman hayati hingga timbulnya masalah kesehatan akibat dampak kabut asap kebakaran lahan. Dampak lanjutannya adalah potensi banjir ataupun longsor akibat hilangnya kawasan hutan penyangga.[Mongabay: Sawit Berkelanjutan: Antara Mencari Standard Sertifikasi dan Desakan Perubahan, 2016,
http://www.mongabay.co.id/2016/03/18/sawit-berkelanjutan-standard-sertifikasi-dan-desakan-perubahan/]
Penerapan ISPO sudah seharusnya bisa merespon dampak-dampak negatif yang timbul akibat pembangunan kelapa sawit. Karena memang tujuan dari penerapan ISPO ini agar perkebunan sawit di Indonesia dikelola secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan produktifitas, memperbaiki legalitas dan mendukung komitmen Indonesia untuk mencegah deforestasi5, sehingga bisa menjaga komitmen Indonesia dalam penurunan emisi global.
Dalam rangka penguatan sistem sertifikasi ISPO sebagai sebuah sistem yang mandatori, untuk itu FWI berinisiatif untuk mendiskusikan masukan-masukan untuk memperkuat standar ISPO.
Tujuan
Mendapakan masukan dari berbagai pihak terkait dengan Prinsip, Kriteria, dan Indikator ISPO dalam upaya mencegah deforestasi dan konflik lahan.
Keluaran
Terdapat daftar terkait dengan Prinsip, Kriteria, dan Indikator ISPO yang harus diperbaiki dalam upaya mencegah deforestasi dan konflik lahan.
Waktu dan Tempat
Hari/Tanggal : Senin, 17 Oktober 2016
Waktu : 09.00 – 16.00 WIB
Tempat : The 101 Hotel Bogor, Jl. Suryakencana, No. 179-181 Bogor