Cerita Dari Papua

Menjaga hutan, berarti menjaga keberadaan satwa buruan, sekaligus menjaga keberlangsungan hidup masyarakat

Wilayah Bioregion Papua merupakan wilayah Indonesia yang memiliki biodiversitas sangat tinggi. Tidak mengherankan karena hasil analisis Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan tahun 2018, hutan alam di Bioregion Papua sekitar 33,6 juta hektare, masih 81% dari total luas daratannya. Bagi manusia di Papua, hutan adalah surga. Orang Asli Papua (OAP) hidup dengan sangat bergantung kepada hutan alam, karena hutan merupakan bagian dari sistem produksi dan reproduksi OAP. Oleh karena itu, praktik-praktik pengelolaan hutan oleh OAP merupakan praktik yang berusaha mempertahankan kelestarian hutan. Di dalam masyarakat adat, praktik tersebut disebut dengan kearifan lokal, yang di dalamnya termasuk peraturan-peraturan pemanfaatan hutan yang didasarkan pada pengalaman empiris sejak leluhur. Tentu saja selaras dengan kebutuhan bertahan hidup mereka di lanskap ekosistem mereka, di dataran tinggi, tengah, rendah-pesisir kelautan, serta pulau-pulau kecil.

Bioregion Papua merupakan wilayah yang memiliki hutan terluas di Indonesia, dengan luas daratan lebih dari 40 juta hektar. Sekitar 94% wilayahnya merupakan “Kawasan Hutan” dengan peruntukan berbagai macam fungsi. Dari sekitar 38,6 juta hektar kawasan hutan yang ada, 53% dialokasikan sebagai area dengan tujuan produksi komoditas kehutanan, yaitu Hutan Produksi Terbatas (HPT) 7,7 juta hektar, Hutan Produksi Tetap seluas 7,1 juta hektar, dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 5,6 juta hektar. Selain areal untuk produksi, juga terdapat wilayah-wilayah yang diperuntukan sebagai areal lindung dan konservasi. Dua fungsi peruntukan ini setara dengan 47% dari total luas kawasan hutan di Bioregion Papua. Luas Kawasan konservasi 8,5 juta hektar, sedangkan Hutan Lindung seluas 9,4 juta hektar.

Namun berdasarkan data FWI, sebenarnya hutan alam di Bioregion Papua sudah berkurang sebesar 200 hektare/tahun antara tahun 2013-2018. Hal ini tidak lain terjadi karena ancaman yang terus menghantui hutan Papua, berupa industri ekstraktif yang mewujud dalam bentuk IUPHHK-HA (HPH), perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan. Padahal kehidupan masyarakat di Bioregion Papua masih banyak bergantung pada alamnya, termasuk hutan. Kehadiran industri ekstraktif memberikan dampak berupa kerusakan ekologi, yang secara otomatis akan turut membawa dampak berupa kerusakan di ranah ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Masuknya kebijakan pembangunan dari luar, berikut budaya manusia ‘pendatang’ yang melekat  dalamnya juga mempengaruhi keseluruhan cara, perilaku, gagasan dan sikap hidup orang Papua.

Perempuan Papua memiliki tanggung jawab mengelola kebun untuk memenuhi kebutuhan harian keluarganya

FWI berusaha mengurai hubungan-hubungan antara manusia dan hutan di Bioregion Papua dalam bentuk kajian yang kemudian disusun dalam bentuk buku, yaitu Bioregion Papua : Hutan & Manusianya. Melalui buku tersebut, disajikan Potret Keadaan Hutan Papua dan perubahannya di tiap rezim pemerintahan. Tidak hanya berhenti di keadaan tutupan hutan, buku tersebut juga menyajikan permasalahan krisis ekologi dan sosial di tiga wilayah di Bioregion Papua, yaitu Kepulauan Aru di Maluku, Jayapura, dan Sorong. Pada dasarnya, FWI menyadari bahwa ketiga wilayah ini belum mampu mewakili gambaran keseluruhan kondisi di Bioregion Papua. Namun setidaknya pemaparan dalam buku ini dapat mewakili wilayah-wilayah yang sekiranya memiliki kondisi yang mirip atau sama, baik itu dari sisi kondisi hutan ataupun sosial budaya masyarakat. Temuan awal studi ini juga sebagai pemantik awal untuk kepentingan studi lanjutan yang lebih luas dan mendalam.

Ngaso (Ngobrol Asyik Sambil Ngopi) sendiri sebagai sebuah wadah diskusi sebenarnya berusaha membagikan cerita-cerita menarik yang ditemui di lapangan, terkait hubungan manusia di Bioregion Papua dengan hutan mereka, serta ancaman-ancaman yang berpotensi dan atau telah mengganggu stabilitas hubungan tersebut. Walaupun cerita-cerita singkat selama 2,5 jam tentu belum mampu menyampaikan keseluruhan isi buku. Namun diskusi-diskusi semacam ini penting untuk melihat kembali bahwa ada krisis sosial-ekologi yang sedang terjadi di Bioregion Papua, dan kita tidak bisa lagi menutup mata dan telinga.


Unduh Dokumen

Thank you for your vote!
Post rating: -3.3 from 5 (according 1 vote)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top