Jambi – Nonton bareng (nobar) dan diskusi film “Big Bad Biomass” dalam rangkaian HUT ke-13 AJI Jambi mengungkapkan praktik kotor transisi energi. Puluhan mahasiswa, jurnalis, aktivis, dan akademisi, ikut serta dalam nobar dan diskusi yang berlangsung di Taman Budaya Jambi, Kamis (21/11).
Filim “Big Bad Biomassa” adalah penelusuran mendalam tentang praktik-praktik kotor di balik kedok transisi energi. Ini adalah cerita tentang ilusi hijau biomassa dan mempertanyakan ulang apakah transisi energi ini benar-benar hijau. Para narasumber dan pemantik diskusi film itu, yakni Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga, Manajer Kajian dan Penguatan Informasi Walhi Jambi Dwi Nanto, dan Kabid Energi Dinas ESDM Provinsi Jambi S Pandu Hartadinata.
Dalam film dan diskusi ini terungkap terdapat salah satu perusahaan hutan tanaman energi (HTE) yang mengeksploitasi hutan dan meninggalkan dampak buruk untuk lingkungan di Merangin Jambi. Perusahaan yang dimaksud adalah PT HAN. Setelah menebang kayu alam atau deforestasi, perusahaan ini tidak beroperasi lagi. Sedangkan sengon sebagai bahan baku energi yang ditanam tidak sampai 100 hektare. Padahal, luas konsesinya mencapai 23.620 hektare dan izinnya belum dicabut.
Kerusakan lingkungan yang terjadi, kata Anggi, juga berdampak pada masyarakat adat Suku Anak Dalam. Masyarakat adat ini terpaksa keluar hutan. “Kalau konteks di Jambi yang kami temukan itu pada Suku Anak Dalam. Kami sempat ketemu dan datang ke pondok mereka. Memang hutan sudah rusak, yang pada akhirnya ditinggalkan mereka,” kata Anggi.
Tidak hanya itu, kerusakan hutan yang terjadi juga mengancam satwa. Terdapat informasi harimau keluar dari hutan sejak perusahaan itu beroperasi. Anggi menyampaikan kebijakan yang diproduksi kementerian dan lembaga pemerintah Indonesia pasca Undang-undang Cipta Kerja, menimbulkan peluang lebih besar untuk mengeksploitasi hutan. “Ada banyak sekali hal-hal yang diatur yang betul-betul me-mainstream hutan sebagai komoditas, termasuk hutan itu sendiri,” katanya.
Sedangkan rencana peralihan energi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak tahun 2014. “Ke mana aja pengambil kebijakannya? Meski ada kebijakan nasional dan kebijakan daerah, itu tidak bisa menyentuh publik lebih dalam, termasuk kelompok masyarakat adat. Ruang mereka justru di deforestasi atas nama transisi energi,” katanya.
Meski ada narasi masyarakat tidak akan ditinggalkan, kata Anggi, faktanya banyak masyarakat yang tidak mengetahui apa itu transisi energi. Praktik transisi energi yang terjadi justru merugikan publik. “Cofiring katanya tidak berasal dari deforestasi. Tapi praktiknya dilakukan dengan mencurangi publik,” katanya.
Praktik kotor berkedok transisi energi sempat disampaikan FWI kepada dewan energi. “Waktu itu saya mempunyai kesempatan untuk menyampaikan ke dewan energi nasional, termasuk praktik basah dan deforestasi, alhamdulillah, semoga tidak ada lagi yang mendorong penggunaan biomassa,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Anggi menyampaikan hutan memiliki berbagai fungsi selain penyerapan. Kelestarian hutan juga untuk kelestarian pangan hingga membuat manusia bahagia. “Hutan memiliki fungsi soal konservasi air dan tanah, hutan juga memiliki Indeks happiness. Ketika hutan masih asri indeks happiness tinggi juga. Hutan tidak dilihat dari fungsi, tetapi hanya berdasarkan emisi. Seharusnya kita sama-sama menyuarakan bahwa hutan itu bukan hanya penyerapan emisi. Banyak fungsi yang kita jaga,” ujarnya.
Solusi Palsu Transisi Energi
Dwi Nanto mengatakan, sesuai pandangan Walhi secara nasional, pemerintah hanya mengeluarkan solusi palsu terkait transisi energi. “Transisi yang dicanangkan pemerintah itu solusi palsu. Ini belum clear dari hulu ke hilir. Hutan yang menyerap CO2 saja hilang (ditebang),” kata Dwi.
Dwi mengatakan pemerintah justru menargetkan co-firing untuk 52 PLTU di Indonesia dengan narasi co-firing dapat mengurangi emisi 10 persen dibandingkan pembakaran batu bara. “Bangun hutan tanaman energi. Dari sini dibuat biomassa. Dicampurkan dengan batu bara. Dibakar bersama dengan batu bara. Padahal kayu kalau dibakar mengeluarkan emisi. Apa pun yang dibakar akan mengeluarkan emisi,” kata Dwi.
Ada Energi Baru yang Ramah Lingkungan
Sementara itu, Pandu mengatakan dinas ESDM melihat biomassa itu bukan dari sumber hutan, tetapi sisa hasil dari produksi perkebunan. Sedangkan bahan baku biomassa dari hutan, itu menjadi opsi terakhir. “PR kita ke depan adalah bagiamana transisi energi yang menggunakan hutan sebagai komoditas ini menjadi opsi terkahir. Jadi terdapat hasil yang kita gunakan cangkang sawit untuk biomassa di PLTU,” katanya.
Ketimbang biomassa, masyarakat sebenarnya bisa memanfaatkan energi yang ramah lingkungan yang berasal dari surya, air, dan udara. Penggunaan energi surya dengan PLTS, sudah dipraktikkan di SMA Negeri 5 Kota Jambi. “Pengembangan energi baru yang ramah lingkungan ada hidrogen, seperti dari energi, atau pun energi surya yang disimpan dalam bentuk hidrogen,” katanya.
Pandu pun mengatakan Pemerintah Provinsi Jambi sebenarnya mempunyai target menargetkan peralihan ke energi baru terbarukan (EBT) itu mencapai 24 persen tahun 2022, dan tahun 2050 sebesar 40 persen. Namun, upaya ini menghadapi berbagai kendala.
Nobar dan diskusi Big Bad Biomass dalam kaitan ke perubahan iklim ini, termasuk dalam rangkaian HUT ke-13 AJI Jambi dengan mengusung tema “AI untuk Keadilan Iklim”. Ketua AJI Jambi, Suwandi alias Wendy, mengatakan keadilan iklim berfokus pada kesetaraan dalam distribusi dampak dan beban perubahan iklim, serta akses terhadap sumber daya dan teknologi untuk mengatasi masalah ini. “AI memiliki potensi untuk membantu komunitas yang paling terdampak oleh perubahan iklim, tetapi sering
kali teknologi ini hanya lebih mudah diakses oleh negara-negara maju dan perusahaan besar,m,” katanya, Kamis (21/11).
Wendy menyampaikan pengembangan solusi berbasis AI, penting untuk melibatkan suara dari komunitas yang paling rentan terdampak oleh perubahan iklim, seperti masyarakat adat, komunitas pesisir, dan masyarakat marjinal. Tanpa keterlibatan ini, ada risiko bahwa solusi yang dihasilkan tidak akan mempertimbangkan kebutuhan dan konteks lokal mereka.
AJI Jambi merasa penting memetakan ancaman penerapan AI terhadap keadilan iklim, agar tidak tergesa-gesa menyimpulkan jika AI adalah solusi dari krisis iklim. Karena itu, AJI Jambi mengusung tema “Etika AI untuk Keadilan Iklim” dan mengadakan berbagai kegiatan. Berbagai kegiatan yang dimaksud di antaranya nonton bareng (nobar) dan diskusi film dokumenter “People Led Development”, nonton bareng (nobar) dan diskusi film “Big Bad Biomassa”.
Film pertama merupakan hasil kolaborasi dari Setara Jambi, Walhi Jambi, CAPPA Keadilan Ekologi, dan beberapa NGO lainnya. Film kedua, Big Bad Biomassa, adalah hasil penelusuran mendalam tentang praktik-praktik kotor di balik kedok transisi energi. Ini adalah cerita tentang ilusi hijau biomassa dan mempertanyakan ulang apakah transisi energi ini benar-benar hijau.
Selanjutnya, pada malam harinya, AJI Jambi mengadakan Malom Kenduri HUT ke-13 AJI Jambi yang akan dihadiri para jurnalis, akademisi, dinas terkait lingkungan dan iklim, mahasiswa, komunitas literasi, dan sebagainya. Dalam kenduri ini, akan ada sharing session “Komunitas Rentan dan Keadilan Iklim”, dan penyerahan AJI Jambi Awards. Melalui AJI Jambi Awards yang pertama ini, AJI Jambi memberikan penghargaan kepada beberapa individu yang berkontribusi dan berjuang untuk komunitasnya. Perjuangan mereka layak didukung dan diapresiasi.