Daratan Pulau Papua di Indonesia, yang mencakup Provinsi Papua dan Papua Barat, memiliki luas 41.38 juta hektare. Hasil analisis FWI pada tahun 2018, daratan Papua memiliki luas tutupan hutan alam sebesar 33.4 juta hektare, atau sekitar 80.71 % dari total luas daratannya. Sekitar 6,4 juta hektare daratan di Pulau Papua telah didistribusikan kuasa pengelolaan hutannya oleh pemerintah kepada 43 perusahaan HPH dan HTI, yang tergabung dalam 24 grup, dan ada dan ada 3 perusahaan lain yang belum teridentifikasi masuk ke grup tertentu. Berdasarkan analisis spasial, ada sekitar 6 grup perusahaan dengan penguasaan lahan berkisar antara 6-10% dari total luas izin (6,4 juta hektare) yang diberikan yaitu : KLI Group (632 ribu hektare / 10%), RGM Group (549 ribu hektare/ 8%), Sinar Wijaya (547 ribu hektare/ 8%), Alamindo Grup (460 ribu hektare / 7%), Korindo Group (417 ribu hektare / 6%), dan Masindo Group (406 ribu hektare / 6%).
Perusahaan dengan penguasaan lahan terluas di papua diatas, mayoritas pemiliknya merupakan nama-nama yang sudah tidak asing lagi di dunia industry ekstraksi hutan dan lahan di Indonesia. Seperti halnya KLI Group yang dimiliki oleh Keluarga Sutanto, RGM Group yang dimiliki Sukanto Tanoto, Sinar Wiajaya Group (Sapto Joyo Wijoyo), Alamindo Group (Darius Audryc dan Juan Mulia), Korindo Group (Robert Seung), dan Masindo Group (Mr. Wong / Paulus George Hung / Ting Ting Hung). Satu nama yang mungkin asing dan belum kami ketahui profilnya yaitu pemilik Alamindo Group, Darius Audryc dan Juan Mulia. Karena nama-nama yang terdaftar sebagai pemilik saham mayoritas perusahaan terkadang hanya merupakan “boneka” para bos besar yang berfungsi sebagai pengecoh pengelakan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax avoidance).
Sepanjang tahun 2019 – 2020, sekitar 2,72 juta m3 kayu bulat diproduksi dari hutan alam di Pulau Papua. Sebesar 1.252.407 m3 atau sekitar 46% di antaranya merupakan kayu berjenis merbau, sebagai jenis kayu kelas khusus. Dan dari produksi kayu merbau nasional, sekitar 98% berasal dari hutan alam papua. Kayu-kayu tersebut lebih dari 80% bersumber dari pemanfaatan hasil hutan kayu oleh izin HPH. Sedangkan sumber-sumber lainnya berasal dari IPK/IPPKH/HGU/Perorangan, dan Land Clearing HTI
Jika dikaitkan antara penguasaan lahan oleh grup dan juga produksi kayu bulat 2019-2020, grup perusahaan yang memiliki izin konsesi yang luas ternyata belum tentu juga melakukan ekstraksi kayu secara besar-besaran. Terutama untuk grup perusahaan HTI di papua yang baru sebatas izin namun belum banyak melakukan aktivitas seperti grup RGM. Lain halnya dengan grup perusahaan HPH yang memang sudah terbangun, baik aktivitas produksi kayunya maupun industri pengolahan yang juga sudah terintegrasi dan berjarak cukup dekat dengan konsesinya. Contohnya untuk Sinar Wijaya Group dan juga Korindo Group. Selama 2019-2020, Sinar Wijaya mampu mengekstraksi kayu sekitar 772 ribu m3 dari ke 4 HPH nya. Sedangkan Korindo Group memanen kayu sekitar 303 ribu m3 dari 2 konsesi HPH miliknya di Merauke.
PNBP dari ekstraksi kayu dari Pulau Papua pada 2019-2020 mencapai sekitar 298 miliar rupiah untuk PSDH atau berkontribusi sekitar 15% dari total PSDH Nasional, dan sekitar 500 miliar rupiah untuk pungutan DR atau sekitar 17% dari total DR nasional. Dengan adanya skema DBH dimana ada pembagian nilai pungutan baik untuk PSDH dan DR untuk pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten serta kota/kabupaten lainnya, maka nilai PSDH dan DR yang dipungut tersebut tidak seutuhnya kembali ke daerah lokasi dimana perusahaan berada. Sehingga pada tahun 2019 misalnya, pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat hanya mendapatkan nilai PSDH sekitar 77 miliar rupiah dan sekitar 107 miliar untuk DR.
Perlu juga digarisbawahi bahwa data jumlah produksi kayu ini didapat dari beberapa sumber sistem informasi yang berbeda berasal dari KLHK yaitu dari RPBBI online dan phl. Produksi kayu bulat yang tercatat dalam sistem phl.menlhk.go.id yang dihasilkan dari HPH, HTI dan juga LC HTI di Pulau Papua dan dipasok ke industry dalam 2 tahun terakhir mencapai 2,7 juta m3. Sedangkan yang dipasok ke industri berdasarkan data RPBBI dan juga peredaran kayu PHL, masing-masing sekitar 1.968.758 m3 dan 2.453.017 m3. Terdapat selisih kayu yang diterima oleh industri pengolahan kayu antara data RPBBI dan PHL sekitar 484 ribu m3 yang kemungkinan disebabkan oleh tidak tercatatnya kayu yang diterima industri di bawah 6.000 m3 oleh data RPBBI. Kemudian jika dibandingkan dengan data produksi kayu bulat yang dihasilkan oleh HPH, HTI dan juga LC HTI terdapat perbedaan nilai dengan produksi kayu yang dipasok ke industri, baik dengan data rpbbi online maupun dengan phl.go.id
Meskipun deforestasi dan produksi kayu bulat secara nasional pada tahun 2020 turun, namun kontribusi kayu yang diekstraksi dari Pulau Papua terhadap produksi kayu nasional mengalami peningkatan, begitu pula dengan deforestasi yang terjadi mengalami peningkatan. Hal ini bisa menjadi indikasi kuat bahwa di tahun-tahun mendatang, deforestasi Indonesia akan bergerak ke timur, dimana masih banyak hutan alam yang sudah terbebani izin pengelolaan, baik HPH dan HTI yang saat ini masih belum banyak beroperasi.
Pulau Papua mengalami kenaikan deforestasi, yang terjadi di wilayah HPH dan HTI pada tahun 2019 dan 2020. Pada tahun 2019, total deforestasi yang terjadi di HPH dan HTI adalah 11 ribu hektare mengalami kenaikan menjadi 13 ribu hektare pada tahun 2020. Jika melihat jumlah produksi kayu dan deforestasi yang terjadi, terdapat korelasi antara kenaikan jumlah produksi kayu dengan kenaikan deforestasi. Berdasarkan analisis FWI, grup Sinar Wijaya merupakan kelompok pemilik izin yang wilayahnya paling banyak terdeforestasi, yaitu sekitar 4.701 hektare. Berbanding lurus dengan produksi kayu bulatnya di tahun yang sama. Begitu juga untuk grup Korindo yang juga wilayahnya terdeforestasi cukup besar, yaitu sekitar 1.641 hektare. Namun, terdapat juga anomali seperti pada grup Moorim, dimana meski deforestasi di konsesinya tinggi (sekitar 4.625 hektare), namun di periode tersebut produksi kayu bulatnya nol atau tidak ada catatan di sumber data yang tersedia.
Dari sisi kepatuhan unit manajemen HPH dan HTI di Papua dan Papua Barat terhadap SVLK, terdapat 28 unit dari total 46 unit manajemen, atau sekitar 60% yang telah mendapatkan sertifikasi. Hal ini tentunya sangat disayangkan, karena Papua merupakan wilayah penghasil kayu yang cukup signifikan bagi produksi kayu secara nasional, bahkan 98% produksi kayu merbau nasional juga berasal dari Papua. Hal ini menunjukkan bahwa SVLK yang bersifat mandatory, implementasinya belum diterapkan secara penuh bagi seluruh UM.
Kayu yang dihasilkan dari hutan alam di Pulau Papua dipasok ke industri yang berada di Pulau Papua, dan juga sebagian lainnya ke industri di Pulau Jawa dan Kalimantan. Jika berdasarkan data RPBBI, dan serapan jumlah industri pengolah kayu pada tahun 2020, kayu dari Papua Barat mayoritas atau sekitar 58% diserap oleh industri pengolahan kayu di Papua Barat, 34% diserap oleh industri di Jawa Timur, 4,8% diserap oleh industri di Jawa Tengah dan sisanya diserap industri di Kalimantan Timur. Sedangkan kayu yang berasal dari Papua, mayoritas diserap kebutuhan industri pengolahan di Papua (sekitar 89%), dan sisanya sekitar 11% diserap industri pengolahan di Papua Barat. Aliran kayu dari HPH ke industry diluar papua yang terafiliasi di grup yang sama inilah yang kami curigai sebagai celah perusahaan untuk mengeluarkan kayu dari papua. Cara ini digunakan untuk “mengakali” kebijakan daerah Perdasus Papua Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 25 Ayat 1 dan Pergub Papia Nomor 18 Tahun 2010 yang melarang pengangkutan dan perdagangan hasil hutan kayu dari Papua ke Provinsi lain.
Terkait pasar ekspor, pada tahun 2019-2020 kayu asal papua telah dikirim ke 20 negara dengan nilai ekspor mencapai 277 juta USD. Negara tujuan ekspor kayu dari Papua diantaranya Australia, Arab Saudi, Amerika Serikat, Korea Selatan dan China. Nilai ekspor pada tahun 2020 juga turun sekitar 5 juta USD dibanding tahun 2019, sejalan dengan turunnya produksi kayu bulat secara nasional.
Hampir 25% lahan di Papua dikuasai oleh segelintir pihak (dari 6 grup terbesar hph&hti mengusasai sekitar 3 juta ha). Pada rentang 2019-2020 hutan alam papua berkurang seluas 55,65 ribu ha, 78% atau sekitar 43,6 ribu ha berada di area yang sudah berizin, dan 19 ribu ha berada di area moratorium/PIPPIB. Di Periode yang sama, 98 persen kayu merbau dari Indonesia diekstraksi dari hutan alam Pulau Papua. Baik di Papua / Papua Barat, pungutan yang diterima dari PNBP sector hutan tidak sebanding dengan hutan yang rusak. Dari 46 perusahaan HPH dan HTI yang ada di Pulau Papua, baru sekitar 30% perusahaan yang sudah bersertifikat PHPL maupun VLK. Meskipun deforestasi dan produksi kayu bulat secara nasional pada tahun 2020 turun, namun kontribusi kayu yang diekstraksi dari Pulau Papua terhadap produksi kayu nasional mengalami peningkatan. Hal ini bisa menjadi indikasi kuat bahwa di tahun-tahun mendatang deforestasi indonesia akan bergerak ke timur, dimana masih banyak hutan alam dan juga sudah terbebani izin pengelolaan, baik HPH dan HTI.