Indonesia terus mendorong terjadinya transisi energi melalui peningkatan bauran energi nasional. Salah satunya dengan pemanfaatan biomassa kayu yang diklaim sebagai energi terbarukan. Biomassa kayu dihasilkan dari pembangunan hutan tanaman energi (HTE), bentuk transformasi dari hutan tanaman industry dan multiusaha kehutanan. Untuk mencapai target bauran 23 persen pada tahun 2025, KLHK telah menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 62 tahun 2019 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri untuk menyediakan kebutuhan hutan dan lahan dari kawasan hutan negara. Hal tersebut guna menyuplai kebutuhan energi final pengganti batu bara yang akan diimplementasikan di 52 PLTU di Indonesia untuk dibakar dalam bentuk biomassa kayu yang dihasilkan dari HTE.
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI, Anggi Putra Prayoga menyebutkan dalam dokumen FoLU Net Sink 2030 KLHK menargetkan pengembangan hutan tanaman (rehabilitasi rotasi, termasuk HTE) sebanyak 6 juta hectare (agregat nasional). Hutan tanaman akan dikembangkan melalui skema penerbitan izin baru pada HTI (PBPH-HT) dan Perhutanan Sosial (PS), serta melalui multiusaha kehutanan, kemitraan, dan kerjasama PS. Nusa Tenggara Barat termasuk provinsi yang ditarget KLHK untuk mengembangkan hutan tanaman (termasuk HTE) melalui skema izin baru HTI dan PS dengan luas 7221 hektare. Alih-alih memperbaiki tata Kelola hutan dan lahan di NTB, penerbitan izin baru yang didorong membangun hutan tanaman baik untuk memenuhi kebutuhan bubur kertas maupun kebutuhan biomassa kayu untuk dibakar, justru malah tidak akan menyelesaikan masalah apa-apa di tingkat tapak, jelas Anggi.
PT Sadana Arifnusa merupakan salah satu potret perusahaan HTI (PBPH-HT) di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang izin awalnya berupa hutan tanaman industry. Perusahaan telah mengkavling luas kawasan mencapai 3.812 hektare di Lombok Timur dan Lombok Tengah setelah mendapatkan izin dari menteri melalui SK.256/Menhut II/2011. PT Sadana Arifnusa mengalokasikan seluas 2.767 hektare untuk ditanami tanaman energi dengan jenis tanaman akasia, eukaliptus, dan gmelina. Hingga tahun 2024 ini perusahaan memiliki target penanaman energi mencapai 1.332 hektare. Momen transisi energi hanya dijadikan sebagai media untuk melanggengkan penguasaan hutan dan lahan di tengah ketidakmampuan perusahaan mengusahakan hutan tanaman, tutup Anggi.
Komodifikasi sumber daya alam dengan pemanfaatan biomasa kayu sebagai bahan baku pengganti batu bara merupakan monopoli usaha semata. Meskipun skema pengembangannya melalui PS, Tirta dari AGRA NTB menapis bahwa bisnis biomasa ini merupakan bagian dari pemenuhan hak dan akses bagi rakyat. Konflik sumber daya alam yang terjadi antara PT Sadana Arifnusa dengan kelompok masyarakat di Sambelie merupakan potret bahwa keberadaan perusahaan tidak sepenuhnya diakui oleh masyarakat. Bahkan Tirta tidak menemukan adanya tanaman energi yang ditanam oleh perusahaan di dalam konsesi PT Sadana Arifnusa.
Potret implementasi pembangunan hutan tanaman industri dan hutan tanaman energi yang dilakukan PT Sadana Arifnusa merupakan hanyalah motif belaka. Uki dari LSBH menduga perusahaan hanya berdalih mengusahakan hutan tanaman dengan memanfaatkan skema-skema kebijakan yang ada serta fasilitas kemudahan perizinan, yang padahal hanya ingin melanggengkan dan menguasai kawasan. Target KLHK untuk meningkatkan pengembangan hutan tanaman di NTB melalui penerbitan izin baru akan meningkatkan kompleksitas permasalahan tata kelola hutan dan lahan di NTB. Apalagi dengan memanfaatkan skema izin baru PS untuk mengembangkan hutan tanaman, tutup Uki.
Tata Kelola perhutanan sosial memiliki permasalahan tersendiri yang belum tentu cocok untuk memenuhi kebutuhan industri. Suyono dari Transform menjelaskan bahwa preferensi perhutanan sosial di NTB bukanlah ke hutan tanaman baik untuk memenuhi kebutuhan bubur kertas maupun biomasa kayu. Jagung merupakan komoditas yang saat ini paling digemari masyarakat di NTB. Dalam diskusi yang digelar di Mataram tanggal 8 November 2023 bertajuk “Konsep Transisi Energi Sebagai Ancaman Deforestasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat” tersebut, Suyono memberikan penegasan bahwa PS sulit untuk bertransformasi ke hutan tanaman energi. Saat ini PS menanam jagung, (dan itu) tidak sesuai izin, jelas Suyono.
Agus dari Transform juga mengingatkan bahwa PS di NTB mempunyai permasalahan dalam tata kelola bisnis, aksesibilitas, termasuk kejelasan pasar, keberterimaan produk dan harga, serta industri pengolahan. Berbeda dengan komoditas jagung yang sudah jelas hulu hilirnya serta hitung-hitungan pendapatan yang akan diperoleh masyarakat. Masyarakat tentu akan banyak mempertimbangkan jika harus dipaksakan menanam tanaman energi, tutup Agus.
Pengarusutamaan usaha hutan tanaman energi melalui izin PS tidak akan berhasil di NTB. Tjatur dari Santiri juga menerangkan bahwa usaha tanaman energi yang menggunakan izin PS akan kalah selama kebijakan hulu hilir jagung tidak dibenahi. Di NTB, PS menjadi mainan politik jagung. Ada kemungkinan pemanfaatan bonggol jagung dipaksakan untuk dijadikan bioenergi, meskipun bonggol jagung memiliki kalori yang rendah. Bioenergi dari limbah bakal menjadi komoditas politik untuk mengejar capaian bauran energi, tutup Tjatur.
Provinsi NTB memiliki target bauran energi sebesar 35 persen dan ambisi untuk mencapai Net Zero Emission di tahun 2050 nanti. PS menjadi program prioritas dengan target luasan percepatan perhutanan sosial sampai tahun 2030 seluas 285.000 hektare. Kendati demikian, capaian saat ini hanya bisa menyentuh angka 78.000 hektare. Pras selaku perwakilan Pokja PS menerangkan bahwa dukungan APBD untuk pengelolaan PS kurang.
Selain itu, Pras juga memberikan catatan bahwa implementasi cofiring di PLTU Jeranjang sebagai upaya mengurangi penggunaan batu bara dengan meningkatkan energi final dari biomassa (dari limbah sawmill) memiliki siklus yang tidak jelas karena masih bergantung pada hutan. Pras mempertanyakan bagaimana NTB melihat transisi energi yang akan dijalankan jika melalui skema PS sebab upaya rehabilitasi selama 10 tahun (saja) sudah P0 (capaian 0 persen). Cost biomassa lebih besar dibandingkan batu bara, tutup Pras.
Implementasi Peraturan Daerah tentang RUED (Rencana Umum Energi Daerah) Provinsi NTB harus dibenahi. Hairul dari Konsepsi menerangkan bahwa kebijakan energi daerah seperti RUED merupakan hulu dari semua implementasi transisi energi di Provinsi NTB. Dalam mendorong PS sebagai actor untuk memenuhi kebutuhan biomassa kayu butuh waktu yang lama, (saat ini) sekedar lips service, tidak feasible, cari margin semata, dan tidak ekonomis untuk menggantikan batu bara. Bahan baku biomasa tidak bisa terpenuhi karena supply chain dinilai bermasalah.
Selain itu, perlu adanya pengujian terhadap konsep-konsep dan teori energi yang saat ini digolongkan kedalam energi terbarukan. Wen dari organisasi Gema Alam yang juga bekerja untuk inklusifitas transisi energi di Provinsi NTB menekankan bahwa energi yang ramah sekalipun tidak bisa otomatis digolongkan kedalam energi terbarukan jika eksklusi dalam cara perolehan lahan. Wen menekankan perlu adanya pendidikan energi di rumah-rumah, sekolah, dan pada guru-guru, termasuk pecinta alam untuk memastikan partisipasi penuh dalam proses transisi energi dewasa ini.
Terlebih jika pembangunan hutan tanaman energi bakal dipenuhi dari konversi hutan alam (deforestasi) sudah jelas, seharusnya bukan lagi termasuk energi yang bersih bahkan berkelanjutan dan berkeadilan. FWI memproyeksikan deforestasi hutan alam dr proyek transisi energi dapat mencapai 4,65 juta hektare (agregat nasional). Nilai tersebut dihitung dari sisa hutan alam yang berada di dalam konsesi HPH, HTI, dan PS yang memiliki aksesibilitas tinggi terhadap 52 PLTU cofiring di Indonesia. Kebijakan cofiring merupakan pembakaran biomasa kayu sebagai pengganti batu bara (dalam jumlah tertentu 5%-10%). Melalui kebijakan yang ada saat ini, seperti multiusaha kehutanan konsesi HPH, HTI, dan PS memungkinkan melakukan transformasi perizinan ke hutan tanaman energi.