TRANSISI ENERGI: Bisnis Baru Yang Berpotensi Merusak Sumberdaya Alam Kaltara

peta citra pt malinau hitau lestari kabupaten malinau, provinsi kalimantan utara

Melemahnya komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi dari sektor energi kian benderang. Dewan Energi Nasional berencana menurunkan target bauran energi nasional menjadi 17 sampai 19 persen pada tahun 2025. Ambisi awalnya bauran energi nasional sebesar 23 persen yang dapat dicapai pada tahun 2025.

Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, menjelaskan salah satu strategi percepatan bauran energi terbarukan yang menjadi andalan adalah melalui substitusi energi primer dengan tetap masih menggunakan eksisting teknologi, yakni seperti program Co-firing. Co-firing akan memanfaatkan biomassa kayu yang dihasilkan dari pembangunan hutan tanaman energi.

Setidaknya saat ini tercatat ada 31 perusahaan HTE di Indonesia dan 1 Perusahaan BUMN Perum Perhutani di Jawa yang berkomitmen akan menyuplai kebutuhan biomassa kayu di 52 PLTU di Indonesia. Dalam dokumen RUPTL,  Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang membutuhkan minimal 8 juta ton biomassa kayu setiap tahunnya untuk menggantikan 5 sampai 10 persen batubara.

Pembangunan HTE yang didominansi dijalankan oleh korporasi kehutanan  mengalami kecendrungan motif penguasaan hutan dan lahan semata. Perusahaan HTE hanya ingin memanen kayu yang berasal dari hutan alam dan tidak serius melakukan penanaman tanaman energi. Ini bukan soal upaya pengurangan emisi, melainkan eksploitasi alam yang berkedok “energi bersih” di tengah stagnasi bisnis kayu bulat kehutanan Indonesia. Dan ini merupakan potret dimana pemanfaatan biomassa kayu dari pembangunan HTE tidak memperhitungkan dampak dan keberlanjutan suplai di tengah berbagai permasalahan konsesi kehutanan di Indonesia, tutup Anggi.

Skema Transisi Energi Semu Membakar Masa Depan Kaltara

Sejatinya semua proyek transisi energi di Indonesia perlu memenuhi prinsip keadilan dan berkelanjutan. Pentingnya menguji dan mengevaluasi berbagai konsep energi bersih yang ada saat ini sedang digalakan, agar mendapatkan mekanisme pemenuhan target bauran energi yang paling efektif dan efisien serta tepat tanpa mengorbankan hutan alam dan kepentingan generasi mendatang.

Pengkampanye Hutan FWI Agung Ady Setyawan menerangkan bahwa di Kaltara terdapat satu perusahaan yang bergerak untuk memenuhi kebutuhan biomassa kayu. Sayangnya perusahaan ini dibebankan diatas hutan alam Kaltara tanpa adanya prinsip keterbukaan informasi dalam proses penerbitan izinnya. Perusahaan yang berinisial MHL ini juga tidak diketahui jenis perizinannya karena bergerak di bidang kehutanan namun dibebankan di luar kawasan hutan atau areal penggunaan lain. Seharusnya transparansi perizinan dibuka selebar-lebarnya agar public dapat memastikan prinsip tata kelola dijalankan dengan baik.

MHL yang statusnya di APL tengah mengusahakan proyek HTE di Kabupaten Malinau di Kaltara. Kabupaten Malinau memang saat ini menjadi target investasi dan sebagai daerah penyuplai biomassa kayu di Kalimantan Utara. MHL merupakan anak perusahaan PT Mitrabara Adiperdana Tbk, perusahaan konsesi batubara di Malinau, yang kini merambah ke usaha komoditas kayu , tutup Agung.

Darwis dari Green of Borneo, mempertanyakan proses penerbitan izin HTE di Kaltara yang tidak menerapkan Prinsip PADIATAPA (Free Prior Inform Concern). Menurutnya seharusnya PADIATAPA menjadi standar minimal dalam penerbitan izin. Mengingat Kaltara wilayah yang kaya akan keragaman sumber daya masyarakat adat yang lebih awal hidup dan bergantung terhadap sumber daya hutan. Untuk mengatasi ancaman yang ada dari pembangunan HTE di Kaltara, perlu adanya langkah-langkah konkret mengawasi pembangunan HTE mulai dari penerbitan izinnya.

Nelwan Krisna Wardhany, Ketua Lembaga Green of Borneo, menambahkan HTE ini membawa risiko serius untuk Kalimantan Utara dengan munculnya izin baru. Kalimantan Utara seperti di wilayah Sebuku sudah terbebani dengan izin, sementara usulan-usulan pemanfaatan hutan untuk masyarakat masih menghadapi kendala, terutama terkait ketidakpastian terhadap Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang belum disahkan.

Tidak hanya itu, perlu diwaspadai juga potensi eksploitasi di wilayah Kalimantan Utara yang dijuluki  Heart of Borneo, khususnya di Malinau. Malinau, Kalimantan Utara masih terkendala akses yang sulit sehingga pembangunan HTE dipertanyakan keseriusannya. Jangan sampai hanya motif untuk mengeksploitasi hutan alam Kalimantan Utara saja, tambah Nelwan.

Di Kaltara, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengkonsolidasikan kesadaran lingkungan dan keterlibatan anak muda dalam gerakan lingkungan. Namun, dalam melakukan hal ini, terdapat tantangan yang harus diatasi. Keterbukaan informasi yang masih rendah, yang menghambat akses terhadap informasi public yang diperlukan untuk memperkuat advokasi lingkungan dan kesadaran masyarakat.

Oleh karena itu, konsolidasi CSO di tingkat tapak sangat penting untuk menguatkan peran serta masyarakat sipil dalam memantau proyek transisi energi di daerah. Dengan mengatasi tantangan dan membangun kerjasama yang kuat, CSO dapat memainkan peran penting dalam mewujudkan transisi energi yang adil dan berkelanjutan, tutup Nelwan.

Kesimpulan

Perjalanan transisi energi di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan dan berkelanjutan. Meskipun ada komitmen untuk menuju energi bersih dan berkelanjutan, kenyataannya terdapat banyak kelemahan dalam implementasi. Transisi energi dengan pembangunan HTE justru menjadi driver deforestasi.

Proyek-proyek seperti Hutan Tanaman Energi (HTE) di Kaltara menjadi sumber kontroversi, dengan banyak pihak yang mengkritik bahwa proses penerbitan izin tidak memenuhi prinsip-prinsip konsultasi dan persetujuan bersama (FPIC), serta pengukuran dampak yang serius terhadap ekosistem dan masyarakat adat dan lokal.

Langkah-langkah yang ditempuh cenderung setengah hati dan tidak memadai untuk mengatasi perubahan iklim dan melindungi hutan serta keanekaragaman hayati. Pembangunan proyek HTE yang dianggap sebagai energi bersih sebenarnya merupakan upaya untuk mengemas eksploitasi alam dengan topeng hijau, tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan.

Regenerasi gerakan lingkungan di Kaltara perlu menjadi prioritas, dengan melibatkan anak muda dalam kegiatan-kegiatan pendidikan, kesadaran, dan advokasi lingkungan. Ini akan memperkuat perlawanan terhadap proyek-proyek yang merugikan lingkungan dan masyarakat, serta mendorong perubahan yang lebih besar menuju praktik energi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Anak muda memiliki potensi besar dalam memperjuangkan keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah dan LSM harus memberikan dukungan serta ruang partisipasi yang memadai bagi mereka. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan akses terhadap data dan transparansi informasi harus menjadi prioritas utama dalam menggalang partisipasi anak muda dalam gerakan lingkungan di Kaltara.

Thank you for your vote!
Post rating: 4.4 from 5 (according 3 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top