Surat yang ditandatangani lebih dari 500 ilmuwan dan pakar ekonomi tahun 2021 memperingatkan bahwa amanat Komisi Eropa yang membuka ruang kayu-untuk-energi sebagai cara meningkatkan energi terbarukan akan “memicu negara tropis menebang hutan lebih banyak.”
Tiga tahun kemudian, prediksinya menjadi kenyataan di berbagai wilayah di Asia Tenggara. Secara spesifik, hal tersebut terjadi di Indonesia yang kini mengalami peningkatan deforestasi, termasuk, oleh kebijakan co-firing biomassa, ekspansi kebun kayu energi, hingga potensi meluasnya zona pemungutan (haul zone) di sekitar pabrik kayu serpih dan pelet.
Berdasarkan perencanaan energi Indonesia, penggunaan biomassa berkayu akan memasok energi 19,7 TWh pada 2025, yang sebagian besar (64,5%) melalui co-firing PLTU batubara. Hutan yang diperuntukkan untuk membangun “hutan tanaman energi” diharapkan memasok separuh bahan baku yang dibutuhkan. Karenanya, hutan di Indonesia akan mengalami tekanan luar biasa oleh ekspansi kebun kayu energi guna memenuhi permintaan biomassa.
Trend Asia, yang turut merilis laporan ini, memperkirakan diperlukannya 10,23 juta ton pelet kayu per tahun dari hutan seluas 3,27 juta lapangan bola guna memenuhi kebijakan co-firing tersebut. Hal ini akan meningkatkan laju deforestasi sebesar 2,1 juta hektar per tahun. Permintaan pelet kayu Korea Selatan dan Jepang memotori peningkatan kebun kayu energi di Indonesia. Analisis Auriga Nusantara, salah satu perilis laporan ini, memperlihatkan bahwa kedua negara tersebut adalah pembeli 99% ekspor pelet kayu Indonesia.
Adanya program subsidi di Korea Selatan dan Jepang secara radikal meningkatkan permintaan dan produksi pelet dan kayu serpih dari hutan di berbagai wilayah di Asia Tenggara. Analisis peredaran pelet kayu memperlihatkan adanya hubungan sebab-akibat antara kebijakan energi Korea Selatan dengan produksi pelet kayu di Asia Tenggara. Pada 2012-2021 total produksi pelet kayu di Vietnam melonjak dari 50.000 ton menjadi 3,5 juta ton; di Malaysia naik dari 40.000 ton menjadi 710.000 ton, dan di Indonesia meningkat dari 20.000 ton menjadi 330.000 ton. Penambahan kapasitas pembangkit listrik di Jepang diperkirakan akan menjadikan negara tersebut sebagai konsumen pelet kayu terbesar di dunia.
Celah di sistem akuntansi karbon mendorong permintaan akan energi kayu. Secara historis, akuntansi karbon dari UNFCCC dan IPCC mengecualikan biomassa hutan dari sektor energi, bersama dengan emisi dari pengrusakan hutan tua.
Energi kayu akan meningkatkan emisi CO₂ pada jangka pendek, dan dapat memicu masalah iklim yang tidak dapat dibalikkan. Pembangkit listrik tenaga biomassa mengemisikan 50% – 60% lebih banyak CO₂ per megawatt-jam daripada PLTU modern dengan bahan bakar batubara. Pembakaran kayu secara bersamaan dengan batubara semakin meningkatkan emisi karbon – dan memerlukan kayu dalam jumlah banyak untuk sebagian besar instalasi PLTU.
“Jangka waktu pelunasan hutang karbon” adalah jangka waktu uang diperlukan sampai tanaman yang tumbuh kembali bisa menyerap volume karbon yang mengimbangi emisi karbon dari pembakaran kayu untuk menghasilkan energi. Jika kayu menyingkirkan batubara, maka jangka waktu pelunasan karbon diperkirakan mencapai 40 sampai 115 tahun. Estimasi pelunasan untuk hutan tropis bervariasi dari 30–120 tahun untuk tanah mineral, dan lebih dari 900 tahun untuk hutan di lahan gambut di Asia Tenggara
Kutipan
“Membakar kayu saja sudah merupakan solusi energi palsu. Peningkatan deforestasi demi pembangunan kebun dan ekspor kayu energi menjadikan industri biomassa sebagai ancaman berganda bagi Indonesia. Pasar Jepang dan Korea Selatan saat ini menjadi pemicu perluasan kebun kayu energi Indonesia. Namun, bersamaan, kebijakan co-firing akan meningkatkan konsumsi biomassa dalam negeri hingga 8.400%, yang menjadikannya sebagai ancaman serius terhadap hutan dan masyarakat lokal. Hutan Indonesia harus diselamatkan dari solusi iklim palsu ini, karenanya kayu-untuk-energi harus dihentikan. Investasi harus ditujukan pada perlindungan dan pemulihan alam demi masa depan kita bersama.”
Agung Ady Setiyawan, Manajer Ekonomi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Forest Watch Indonesia || agung_ady@fwi.or.id
“Investigasi lapangan kami memperlihatkan bahwa Gorontalo merupakan ‘Ground Zero’ di industri ekspor pelet kayu yang membuka hutan alam dan memungut kayu bulat. Kegiatan ini diperkirakan akan tumbuh pesat ketika pelaku industri memasuki areal konsesi baru, seperti di Provinsi Kalimantan Utara.”
Amalya Oktaviani, Manajer Kampanye Bioenergi, Trend Asia Trend Asia || WhatsApp: +62 896-5447-1045; amalya.oktaviani@trendasia.org
“Praktek pembangunan biomassa yang diamati selama ini ternyata mengakibatkan deforestasi, pengusiran masyarakat adat, krisis pangan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Indonesia harus meninggalkan sumber energi yang mengandalkan industri intensif lahan dan metode pembakaran, dan beralih pada sumber energi yang benar-benar terbarukan, berkelanjutan dan berkeadilan.”
Tyson Miller, Direktur Eksekutif, Earth Insight || +1 (828) 279-2343, tyson@earth-insight.org
“Para pengambil keputusan di Asia Tenggara mempunyai kesempatan kritis untuk menghiraukan peringatan dari ratusan ilmuwan serta belajar dari kesalahan di negara lain yang secara keliru mengandalkan dan mensubsidi pembakaran kayu untuk energi. Selain meningkatkan emisi gas rumah kaca, pembakaran kayu untuk energi juga memangkas kemampuan solusi berbasis alam untuk menjadi efektif, dan menjauhkan subsidi dari solusi iklim yang sebenarnya seperti tenaga angin, surya, gelombang laut, efisiensi, dan jalur utama lainnya.”
Hansae Song, Kepala Program Hutan dan Penggunaan Lahan, Solutions for Our Climate || hansae.song@forourclimate.org
“Kebijakan energi Korea Selatan yang terdistorsi menginsentifkan biomassa secara berlebihan karena membayar instalasi pembangkit listrik $AS 59 per ton CO₂ untuk mengemisikan – bukan menurunkan – karbon dioksida. Bukanlah Korea Selatan, melainkan negara produsen seperti Indonesia yang menanggung beban emisi ini dalam tindakan ketidakadilan iklim yang dilakukan pada skala nasional. Pemerintah Korea Selatan harus mengakui dampaknya terhadap hutan, iklim dan masyarakat, dan meniadakan kredit terbarukannya yang diberikan pada biomassa berskala industri.”
Amanda Hurowitz, Direktur Senior, Komoditas Kehutanan, Mighty Earth || amanda@mightyearth.org
“Permintaan Jepang akan pelet kayu untuk program biomassanya memotori kerusakan hutan di Asia Tenggara, padahal saat ini kita semakin membutuhkan keberadaan tegakan hutan untuk memitigasi pemanasan global dan kehilangan alam. Pemerintah Jepang mengandalkan ‘biomassa besar’ dan menganggapnya sebagai cara untuk mewujudkan komitmennya pada netralitas karbon sebelum tahun 2050, namun strategi tersebut penuh kelemahan. Biomassa bukan netral karbon, melainkan bagai mimpi buruk karbon yang menghasilkan lebih banyak emisi dibanding batubara. Agar dapat merealisasikan tujuan iklimnya dan melindungi hutan di wilayah Asia Tenggara, Jepang harus hentikan subsidinya untuk teknologi buntu ini dan mengalihkannya pada bentuk energi terbarukan yang betul-betul terukur dan berkelanjutan.”
Kesempatan Wawancara:
● Timer Manurung, Direktur Eksekutif di Auriga Nusantara
● Agung Ady Setyawan, Media dan Kampanye, Forest Watch Indonesia
● Amalya Oktaviani, Manajer Kampanye Bioenergi, Trend Asia
● Tyson Miller, Direktur Eksekutif, Earth Insight
● Hansae Song, Petugas Kebijakan Bioenergi dan Penggunaan Lahan, Solutionsfor our Climate
● Sayoko linuma, Global Environmental Forum
● Amanda Hurowitz, Direktur Senior, Komoditas Kehutanan, Mighty Earth
Sumberdaya Tambahan:
● Penangguk Cuan Transisi Energi Trend Asia
● Aksesibilitas dan Proyeksi Deforestasi dari Pembangunan Hutan Tanaman Energi Forest Watch Indonesia
● Program Bioenergi Kayu Semakin Mengancam Hutan Kalimantan Selatan Forest Watch Indonesia
● Laporan Tiga Basin: Bahan Bakar Fosil, Pertambangan dan Perluasan Industri Mengancam Hutan dan Masyarakat Earth Insight
● Deforestasi Disubsidi: Sekilas Tentang Tenaga Listrik Biomassa di Korea Selatan Solutions for Our Climate
● Sia-Sia: Gencarnya Biomassa Jepang di Asia Tenggara Merusak Hutan, Menghalang Kemajuan Iklim, dan Mengelamkan Penerima dalam Hutang Mighty Earth
● Deforestasi Masif Mengancam Habitat Orangutan Kalimantan Auriga Nusantara/Earthsight
Kontak Pers dan Media:
Jenn Tierney, Penasehat Komunikasi: jenntierney29@gmail.com
Ziona Eyob, Penasehat Komunikasi: press@earth-insight.org
Tentang Organisasi Penerbit:
● Tentang Auriga Nusantara: Auriga adalah LSM Indonesia yang terlibat dalam upaya pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup Indonesia demi peningkatan kualitas hidup manusia. Dalam mencapai tujuan, kami terus-menerus melakukan penelitian investigatif, mendorong perubahan kebijakan menuju penatakelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang lebih baik, dan melakukan advokasi melalui mekanisme hukum.
● Tentang Forest Watch Indonesia: Forest Watch Indonesia (FWI) memonitor kondisi hutan melalui penelitian, pembuatan basis data dan informasi, pengecekan di lapangan, investigasi terhadap kerusakan hutan, analisis citra satelit, pengoptimalan jaringan monitoring, dokumentasi lapangan, dll. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa advokasi dan kampanye FWI selalu dilandasi data lapangan yang tak terbantahkan.
● Tentang Trend Asia: Trend Asia adalah organisasi masyarakat sipil independen yang bergerak sebagai akselerator transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Asia. Trend Asia bekerja menuju transformasi energi dengan menumbuhkembangkan ekosistem dan model yang bersumber dari pilihan energi bersih terbarukan secara berkeadilan, berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
● Tentang Earth Insight: Earth Insight adalah inisiatif penelitian dan pembangunan kapasitas dan merupakan proyek sponsor dari Resources Legacy Fund yang berbasis di Sacramento, Kalifornia. Staf dan mitra berada di seantero dunia dan mewakili perhimpunan orang individu dan organisasi dengan latar belakang yang beragam di bidang pemetaan dan analisis spasial, komunikasi dan kebijakan. Earth Insight berkomitmen dalam memajukan alat, kesadaran dan momentum baru untuk melindungi tempat kritis dan mendukung masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam upaya tersebut.
● Tentang Solutions for Our Climate: Solutions for Our Climate (SFOC) adalah organisasi nirlaba independen yang bergerak di bidang percepatan penurunan emisi gas rumah kaca dan transisi energi global. SFOC mendorong penelitian, litigasi, pengorganisasian masyarakat dan komunikasi strategis untuk menyampaikan solusi iklim yang praktis dan membangun gerakan untuk perubahan.
● Tentang Mighty Earth: Mighty Earth adalah organisasi advokasi global yang bekerja dalam membela planet hidup. Tujuannya adalah melindungi separuh Bumi untuk Alam, dan mengamankan iklim yang memungkinkan kehidupan tumbuh subur. Mighty Earth telah memotori penerapan pergeseran multi-miliar dolar menuju energi bersih.