RUU KSDAHE: Dorongan Publik Untuk Menghadirkan Undang-Undang Yang “Super Power”

05 Desember 2023 – Potret kinerja tata kelola sumber daya alam menunjukan lemahnya komitmen penegakan hukum yang memberikan efek jera, serta kerusakan sumber daya alam yang dapat mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan, kehilangan hutan alam, kehilangan habitat satwa dan flora, dan depopulasi key species. Publik mendorong lahirnya Undang-Undang KSDAHE tidak sekedar revisi melainkan kebijakan yang memiliki kekuatan hukum diatas undang-undang lain. Pembahasan RUU KSDAHE saat ini telah memasuki tahap pembahasan tingkat I dimana sedang berlangsung pembahasan 588 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Panitia Kerja (Panja) di DPR komisi IV. Akan tetapi, pembahasan RUU tersebut dilakukan secara tertutup sehingga menimbulkan persepsi negatif. Oleh karena itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengundang perwakilan Anggota Tim Panja RUU KSDAHE  Komisi IV DPR RI dan akademisi dengan menggelar diskusi publik bertajuk Dialektika Demokrasi: Kedaulatan Konservasi Indonesia. Kegiatan dilakukan atas kerjasama antara FWI, Garda Animalia, IPC, YAPEKA, Sawit Watch dan Satya Bumi.

Saat ini kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia dihadapkan berbagai macam persoalan. Kerusakan lingkungan telah menyebabkan hilangnya habitat dan kepunahan spesies. Forest Watch Indonesia (2022) mencatat selama kurun waktu 2017-2021 Indonesia harus kehilangan hutan pada berbagai tipe ekosistem, yakni mangrove, karst, gambut, pesisir, pulau-pulau kecil, dan hutan dataran mencapai 10,16 juta hektar. Lebih lanjut, sebanyak 90% kerusakan sumber daya alam terjadi di luar kawasan konservasi, seperti pada fungsi hutan produksi dan fungsi hutan lindung. Potret tersebut menunjukan lemahnya komitmen kebijakan dan para aktor dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem. 

“Selama ini UU KSDAHE No. 5 tahun 1990, menjadi dasar hukum konservasi di Indonesia dan sudah 33 tahun berjalan banyak permasalahan yang terjadi. Dengan adanya berbagai  perubahan kebijakan dan wewenang di setiap tingkatan pemerintah, dipandang perlu untuk memperkuat UU konservasi yang saat ini sedang dibahas dan akan disahkan, agar UU KSDAHE No. 5 tahun 1990 ini disesuaikan dengan zaman dan kondisi saat ini. Perkembangan terakhir per tanggal 27 November 2023, ada lebih kurang 588 DIM yang diusulkan oleh pemerintah. Ada beberapa pasal yang terus akan dikawal oleh Panja dan DPR untuk disahkan melalui rapat Paripurna dalam masa Persidangan III tahun 2023/2024, ada 9 poin substansi penting yang sedang dibahas berkaitan dengan kewajiban dan wewenang pelaksanaan kegiatan konservasi, perubahan nomenklatur pada ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi, pengaturan peran serta masyarakat termasuk MHA, pendanaan dan sanksi.” ujar T.A Khalid: Anggota Tim Panitia Kerja (PANJA) RUU KSDAHE.

Di sisi lain, Undang-Undang 5 tahun 1990 belum memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan satwa liar. Riset yang dilakukan oleh Garda Animalia mengungkap terdapat 1.367 perkara kejahatan terhadap satwa liar yang diputus oleh Mahkamah Agung dari tahun 2011 sampai dengan 2023. Dari putusan tersebut menghasilkan hukuman penjara dengan rata-rata 11 bulan penjara, dan denda 30 juta Rupiah. 

“Dari beberapa kasus kejahatan satwa hampir 100% pelaku lebih memilih ditambah masa tahanannya dibandingkan membayar denda. Harusnya ada sebuah peluang dalam RUU yang sedang dibahas ini untuk dihubungkan dengan UU pencucian uang (TPPU). Karena hampir semua pelaku tingkat tinggi (eksportir, pendukung financial dan pelaku yang menyediakan rekening bersama) ini sangat sulit sekali dijerat dengan UU No. 5 ini.” Ujar Dwi Nugroho Adhiasto, Wildlife trafficking – Crime prevention & justice expert, Wildlife Conservation Society.

Permasalahan lain pada UU 5/1990 adalah inklusifitas, tidak adanya pengakuan terhadap eksistensi masyarakat-masyarakat adat dalam melakukan praktik-praktik konservasi. ICAA’s mencatat terdapat lebih dari 4 juta hektar hutan dan lahan di Indonesia diidentifikasi sebagai Areal Konservasi Kelola Masyarakat. Tidak adanya pengakuan oleh negara dianggap eksistensi UU 5/1990 sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman serta kebutuhan hukum di masyarakat serta justru mengeksklusi keberadaan masyarakat-masyarakat adat dalam praktik konservasi. 

“Harapannya Rancangan UU ini adalah mengkombinasikan antara kepentingan konservasi dengan kepentingan kemanusiaan, upaya untuk merawat, melanjutkan, memperkuat langkah-langkah atau aksi untuk konservasi yang lebih baik. Membangun kepercayaan dengan memberikan penghargaan pengetahuan kepada Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan kelompok masyarakat lokal, yang sangat beragam. Intinya adalah kita memiliki semangat yang seimbang bukan hanya pendekatan ekonomi dan SDA saja tapi perlu dipikirkan mencari jalan yang terbaik agar tidak mudah mengkriminalisasi kelompok-kelompok masyarakat yang berasal dari kesejahteraan yang sangat kompleks yang sudah ada disana sebelum adanya penetapan dan perubahan serta pengukuhan selesai dilakukan” Ujar Mia Siscawati, akademisi dari Universitas Indonesia

Akademisi dari Unpatti yaitu Prof. Agustinus Kastanya juga menanggapi RUU KSDAHE yang belum fokus menyelesaikan permasalahan di pulau-pulau kecil. “Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam proses penyempurnaan RUU KSDAHE. Pertama RUU ini harus bisa menjamin bahwa konservasi menjadi arus utama dalam pengelolaan sumber daya alam hayati dan tidak bisa dikalahkan oleh UU lain yang merusak seperti UUCK, UU Pertambangan, dsb. Kedua, terkait pesisir & pulau-pulau kecil, pengelolaan saat ini yang bersifat sektoral  dianggap sangat merusak. Padahal dengan karakteristik pulau-pulau kecil yang rentan, pengelolaannya harus menjadi satu kesatuan darat dan laut (Landscape-Seascape); RUU KSDAHE harus dapat menjamin bahwa pertambangan pada pulau-pulau Kecil diperbolehkan karena hal ini sangat merusak”

Berbagai peserta diskusi juga mencurahkan pandangan dan masukan lahirnya Undang-Undang KSDAHE ini agar adanya sistem patroli dan pemantauan sumber daya alam, ruang kelola masyarakat di dalam kawasan konservasi, sanksi berdasarkan klasifikasi pelanggaran,status keanekaragaman hayati berdasarkan data dan informasi, valuasi kekayaan biodiversitas, mitigasi kerusakan ekosistem dan kepunahan spesies, inovasi sains dan teknologi dalam pemanfaatan biodiversitas, rumusan kebijakan konservasi berdasarkan sains, menghapus istilah penggunaan istilah satwa dilindungi dan tidak dilindungi yang menyebabkan eksploitasi tidak terkontrol, rekognisi hak masyarakat yang diklaim masuk kawasan hutan, mekanisme pemanfaatan yang berkeadilan bagi masyarakat kawasan hutan, peran masyarakat dalam pengukuhan kawasan konservasi, mengatur pengakuan masyarakat adat dalam undang-undang, pembahasan RUU dilakukan secara terbuka, hak masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan konservasi diakui, penindakan kejahatan perburuan satwa liar di dunia digital, dan peran organisasi keagamaan dikaji ulang dalam pemanfaatan tumbuhan satwa dilindungi (TSL).

Catatan Editor:

  • Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2  beserta kesatuan Ekosistemnya (Definisi pulau kecil merujuk Undang-undang No 27 Tahun 2007 Jo. Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil)
  • Konservasi Sumber Daya Alam Hayati adalah tindakan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati, dan pemanfaatan secara lestari terhadap Sumber Daya Alam Hayati. Draft RUU KSDAHE Pasal 1 Ayat 2
  • Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan adalah upaya menjaga dan melestarikan keanekaragaman SDA Hayati dan Ekosistemnya dengan menetapkan dan mengelola kawasan konservasi dan Ekosistem penting di luar kawasan konservasi untuk mendukung sistem penyangga kehidupan (Draft RUU KSDAHE Pasal 1 Ayat 3)
  • Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dilakukan di luar Kawasan Konservasi meliputi hutan lindung, hutan produksi, hutan adat, dan bukan kawasan hutan (Draft RUU KSDAHE Pasal 5 Ayat 3)
  • Hutan Alam adalah Hutan yang terutama terdiri dari pohon-pohon asli yang tidak pernah ditanam oleh manusia. Hutan-hutan alam tidak mencakup perkebunan dan hutan tanaman.
  • Deforestasi adalah semua bentuk perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan yang diakibatkan oleh kondisi alam dan atau pelaku deforestasi, baik secara legal atau ilegal dalam kurun waktu tertentu yang bersifat sementara maupun permanen.

Lampiran Notulensi Diskusi Dialektika Demokrasi Notulensi_Dialektika Demokrasi Kedaulatan Konservasi Indonesia_5 Desember 2023

Lampiran Press Release RUU KSDAHE Press Release RUU KSDHAE

Narahubung Wawancara Tim Penyelenggara Diskusi :

Media Jurnalis (085-72034-6154)

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top