Pada 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa ibu kota baru dipindahkan dari DKI Jakarta dan akan dibangun sebagai mega proyek di wilayah administratif Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Luasnya mencapai 180.965 hektar.
Di kawasan ini ada dua konsesi kehutanan masing-masing berstatus Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Hutan Alam (IUPHHK–HA) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Hutan Tanaman (IUPHHK–HT). Sementara itu, ada 10 konsesi perkebunan di atas kawasan IKN yakni 8 berada di ring dua dan tiga yakni Kecamatan Samboja dan Muara Jawa serta sisanya di Kecamatan Sepaku. Pada wilayah ring tiga terdapat juga 1 (satu) pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang berlokasi di Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara. Beberapa kali dalam berbagai media, pemerintah menyatakan lahan itu milik negara dan bisa diambil kapan saja. Namun, dapatkah begitu saja pemegang izin rela untuk angkat kaki? Apa kompensasi atau ganti rugi yang akan didapat korporasi pemegang izin di sana?
Penelusuran dalam laporan ini menemukan nama-nama yang berpotensi menjadi penerima manfaat atas proyek tersebut, yaitu para politisi nasional dan lokal, beserta keluarganya yang memiliki konsesi industri ekstraktif. Jika dilihat ring satu dan ring dua IKN, maka penguasaan konsesi didominasi oleh Sukanto Tanoto serta Hashim Djojohadikusumo lalu diikuti oleh pengusaha-pengusaha lainnya yang terkait dengan 158 konsesi tambang, sawit hingga hutan.
Sejak awal transaksi akan terjadi bukan kepada rakyat tetapi pada pemilik konsesi. Perusahaan-perusahaan tersebut akan diuntungkan dan menjadi target transaksi negosiasi pemerintah termasuk pemutihan lubang-lubang bekas tambang yang seharusnya direklamasi. Sejauh ini, tampaknya korporasi punya lebih banyak kesempatan bernegosiasi dengan pemerintah, ketimbang warga. Untuk warga desa, lokasi dan apa yang akan terjadi pada desa mereka terkait lokasi ibu kota baru, semua masih misteri dan rumor.
Jadi, Ibu Kota Baru Buat Siapa?