Inpres Moratorium dan evaluasi perkebunan sawit merupakan momentum baik untuk melakukan perbaikan tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Model yang digunakan dalam Moratorium sawit ini adalah data-data dan informasi akan mengalir dari kabupaten/kota menuju tim kerja nasional moratorium sawit via provinsi, dimana pemerintah sudah mengeluarkan beberapa wilayah prioritas yakni Sumatera Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Hal ini dengan asumsi bahwa daerah-daerah tersebut adalah wilayah-wilayah dimana perkebunan sawit terluas, artinya lewat 7 wilayah prioritas tersebut lebih dari setengah perkebunan sawit telah dijangkau.
Upaya capaian pembenahan tata kelola sawit, baik dari evaluasi perizinan maupun peningkatan produktivitas masih jauh dari kata selesai. Padahal, dalam regulasi inpres mengamanatkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengidentifikasi dan mengevaluasi izin kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan. Tanaman sawit bukanlah tanaman hutan, sehingga keberadaan tanaman sawit di kawasan hutan semestinya tidak diperbolehkan jika perizinan atau mekanisme pelepasan Kawasan hutannya tidak dijalankan. Hingga kini, pemerintah baru mengidentifikasi luas kebun sawit dalam kawasan hutan seluas 3,4 juta hektar lahan perkebunan sawit yang ada dalam kawasan hutan.
Pemerintah juga sudah menetapkan luas tutupan sawit 16,381 juta hektar yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/2019. Meski demikian, luasan ini baru sebatas tutupan, belum disesuaikan dengan kondisi lapangan. Areal tumpang tindih kawasan hutan dengan perkebunan sawit inilah yang menjadi wilayah yang akan diintervensi dengan kebijakan Inpres 8/2018 ini.
Dengan capaian yang masih minim walau kebijakan ini sudah berjalan hampir 3 tahun, baik di pemerintah pusat, lembaga maupun pemerintah daerah. Evaluasi dan penyelesaian tumpang tindih izin masih belum tuntas, begitu juga persoalan produktivitas yang masih jadi tantangan besar. Tidak hanya untuk pemerintah pusat, perpanjangan moratorium sawit juga dibutuhkan oleh daerah untuk mengurai permasalahan tumpang tindih lahan. Pasalnya, sebagian besar konflik lahan tersebut disebabkan oleh HGU perusahaan sawit yang bermasalah dan tumpang tindih dengan wilayah garapan masyarakat, kampung dan desa. Salah satu prasyarat untuk menyelesaikan dan mengurai konflik agraria tersebut adalah adanya keterbukaan informasi data-data perkebunan sehingga permasalahan tersebut dapat segera diselesaikan.
Untuk itu, diskusi ini berusaha mengurai proyeksi tata Kelola perkebunan kelapa sawit kedepan. Baik dengan kebijakan inpres moratorium sawit yang ada saat ini maupun kebijakan-kebijakan lain yang mungkin bisa membawa perubahan industri sawit kearah yang lebih baik dan berkelanjutan.