Kronologis dan Latar Belakang Permasalahan
Masyarakat hukum adat dalam konstitusi Indonesia, Putusan MK No. 35 dan UU di bawah Undang-Undang Dasar diakui sebagai subjek hukum genuine Indonesia yang melekat-menyatu dalam sejarah asal usul Indonesia.[1] Namun eksistensinya dalam sejarah Indonesia diekslusi oleh watak dominasi pembangunan ekstraktif-eksploitatif atas wilayah-wilayah ulayat masyarakat adat melalui instrumentalisasi bentuk-bentuk hukum pembangunan: UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU PTPU, dst. Hasilnya tiada lain adalah perampasan tanah, konflik agraria, kriminalisasi dan dicerabutnya hak atas kehidupan yang layak nan sejahtera yang sebenarnya bertentangan dengan tujuan adanya Indonesia.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat tipologi sumber konflik dan kriminalisasi masyarakat adat sepanjang 2020 setidaknya menciptakan 40 kasus meliputi perkebunan (10), pertambangan (5), bendungan dan PLTA (6), pemerintah (5), Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (6), Hutan Tanaman Industri (HTI) (3), TNI (1), dan pencemaran lingkungan di wilayah adat (4).[2] Dari macam sumber konflik tersebut TNI menjadi institusi Negara yang terlibat dalam konflik agraria dengan masyarakat adat ataupun masyarakat pada umumnya. Terkait hal ini, kondisi serupa juga terjadi antara masyarakat adat Marafenfen, Kepulauan Aru dengan TNI AL yang berlangsung dalam rentang waktu yang lama.
Hampir 30 tahun Masyarakat adat Marafenfen Kepulauan Aru menjaga kesabaran dalam menunggu kejelasan i’tikad baik Negara terkait perampasan wilayah ulayat mereka oleh TNI AL untuk pembangunan fasilitas milter pada tahun 1992. Sekian lama menunggu akhirnya masyarakat adat Marafenfen mendapatkan klarifikasi resmi dari TNI AL melalui perantara KomnasHAM perwakilan Provinsi Maluku pada 2017. Waktu selama itu dilalui masyarakat adat Marafenfen dalam keadaan terampas hak asasinya atas ruang hidup (sumber-sumber agrarianya) sembari menunjukkan sikap sebagai warga Negara yang baik. Sikap sebagai warga Negara yang baik tersebut kemudian diwujudkan melalui jalur hukum dengan menggugat secara perdata (perbuatan melawan hukum) TNI AL atas objek tanah masyarakat adat yang dikuasai oleh TNI AL berdasarkan sertifikat hak pakai (SHP No.25.02.03.105.4.0001, 13 Februari 1993 seluas 689 ha) sejak 1991 seluas 689 ha. Padahal tanah yang dikuasai oleh TNI AL sejak lama merupakan tanah ulayat/adat yang telah lama menjadi ruang hidup masyarakat adat Marafenfen. Adapun kronologi peristiwa secara ringkasnya sebagai berikut:
Awal Mula Masuknya TNI AL ke Kepulauan Aru
Saat operasi trikora tahun 1962, Kepulauan Aru menjadi lokasi yang sangat strategis sebagai check point tantara Indonesia untuk memobilitasi pasukannya ke wilayah Papua. Sejak saat itu, wilayah di Kepulauan Aru dianggap menjadi area yang sangat penting untuk pertahanan negara dan melindungi masyarakat dari ancaman dari luar. Mengingat, bagian selatan kabupaten ini langsung berhadapan dengan Australia.
Strategisnya wilayah Aru, khususnya Marfenfen dilanjutkan pada tahun 1991. Berdasarkan kesaksian warga, pada tahun tersebut sejumlah aparat TNI datang ke pulau Aru tepatnya desa Marafenfen menggunakan helikopter dengan maksud akan membangun bandara TNI AL dan fasilitas militer lainya. Kedatangan TNI AL ke Pulau Aru merupakan bagian dari rangkaian peristiwa yang terjadi tahun 1990 yang diawali dari surat permohonan KASAL kepada PANGAB No.R/479/VII/90 tanggal 16 Juli 1990 perihal pembentukan Lanal dan Lanudal di Kepulauan Aru untuk kepentingan pertahanan Negara. Surat permohonan tersebut kemudian ditindaklanjuti MABES ABRI melalui kajian strategis dan berlanjut dengan persetujuan oleh PANGAB lewat surat No. B/276-04/02/776/Slog tanggal 21 september 1990.
Berbekal persetujuan dari pusat Mabes ABRI aparat TNI AL kemudian melaksanakan koordinasi dengan pejabat terkait termasuk berkirim surat ke Gubernur Maluku dalam rangka untuk mensukseskan kebutuhan pembangunan fasilitas milter. Pihak TNI AL juga mengklaim telah berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat dalam rangka untuk melaksanakan survei lokasi yang tepat untuk pembangunan pangkalan TNI AL. Aparat TNI AL mendatangi pusat Desa Marafenfen untuk mengadakan pertemuan dengan aparat/pihak desa. Setelah pertemuan selesai aparat TNI AL langsung ke lokasi guna memasang (membuat patok batas).
Namun berdasarkan keterangan masyarakat aparat baru memberi tahu maksud yang sebenarnya kepada masyarakat setelah pematokan lokasi selesai. Kemudian aparat kembali ke Jakarta dan setelah beberapa saat datang kembali dengan membawa surat serta menyuruh kepala desa untuk tanda tangan surat tersebut.
Berdasarkan pengakuan dari masyarakat rangkaian proses tersebut dilakukan dengan cara yang tidak partisipatif seolah-olah tidak menganggap keberadaan masyarakat adat Marafenfen. Masyarakat menyatakan “kami (masyarakat) kaget, sudah dibuat patok di lahan itu (lokasi bandara), namun kami tidak bisa berbuat banyak,”. Situasinya lantas membuat masyarakat dalam keadaan takut, “kala itu, militer berseragam lengkap dengan senjata membuat warga takut hingga mengiyakan proses pelepasan lahan.”
Untuk menyikapi hal tersebut masyarakat berinisiatif membentuk dua tim untuk berangkat ke Jakarta yang mana tim pertama berangkat tahun 1992 dan tim kedua berangkat tahun 1994 untuk bertemu dengan pimpinan TNI AL (KSAL) namun tidak bisa bertemu.
Selanjutnya masyarakat kemudian menemui Komnas-HAM yang pada saat itu ditemui oleh sekjen Komans-HAM, Baharuddin Lopa. Sekjen Komnas Ham kemudian menindaklanjutinya dengan berkirim surat kepada panglima ABRI meminta penyelesaian masalah tanah yang terjadi di Desa Marafenfen untuk segera dilakukan agar kelak dikemudian tak menjadi bom waktu (konflik agraria).
Setelah sekian lama masyarakat menunggu penjelasan (klarifikasi) resmi dari pihak TNI AL (sejak Orde Baru hingga pasca Reformasi) melalui surat yang dikirimkan oleh Komnas-HAM tersebut, akhirnya Komnas-HAM mendapatkan surat klarifikasi resmi dari pihak TNI AL pada 5 Desember 2016. Kemudian surat tersebut diterima oleh masyarakat pada awal 2017 dan berdasarkan surat ini pula masyarakat mulai untuk memikirkan langkah-langkah penyelesaian baik secara hukum maupun non-hukum.
Usaha-usaha dengan iktikad baik (non-hukum) untuk menemui pihak-pihak berwenang telah pula dilakukan oleh masyarakat adat Marafenfen namun tidak membuahkan hasil sama sekali. Misalnya berkirim surat ke BPN untuk memohon agar meninjau secara administrasi Sertifikat Hak Pakai yang ada di desa Marafenfen pada 2017 dan termasuk menemui jajaran pemerintah daerah pada 7 September 2021 di antaranya Bupati dan Ketua DPRD yang bahkan secara tertulis (resmi) menyatakan keberadaan masyarakat adat Marfenfen di Kepulauan Aru.
Atas dasar kebuntuan langkah tersebut selanjutnya masyarakat adat Marafenfen membawa kasus ini pada proses hukum. Yakni dengan menggugat secara perdata perbuatan melawan hukum (karena penyerobotan lahan (objek tanah seluas 689 ha) yang dilakukan oleh pihak TNI AL di Pengadilan Negeri Dobo dengan register perkara Nomor 7/Pdt.G/2021/PN.Dobo tanggal 31 Maret 2021. Adapun pihak tergugat antara lain Gubernur Maluku, TNI AL dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Langkah ini diambil setelah sekian lama masyarakat menunggu kejelasan terhadap status tanah mereka dengan cara berkirim surat kepada pemerintah, dan lembaga terkait, termasuk pihak TNI di Jakarta dan Komnas HAM.
Kehadiran TNI AL untuk siapa?
Sejatinya, kehadiran TNI AL di Kepulauan Aru khususnya di Marfenfen untuk melindungi negara dan masyarakat yang ada disana. Jika tujuan mulai ini benar-benar dilaksanakan oleh TNI AL, tentu permasalahan sengketa lahan yang berujung pada konflik sosial berkepanjangan dapat terhindari. Namun, dari serentetan kejadian yang terjadi dalam setiap proses persidangan dan juga sidang pengambilan putusan, memperlihatkan ada tumpukan kekesalan terhadap aparat negara yang telah terpendam dalam jangka waktu yang lama.
Cerita terkait dugaan aparat TNI AL yang mengawal kepentingan bisnis sering kali keluar dari penuturan masyarakat. Dalam kasus illegal fishing misalnya, Kementerian kelautan dan perikanan pernah mengutarakan bahwa kerugian akibat illegal fishing di Laut Arafura diestimasi mencapai Rp40 triliun/tahun atau Rp520 triliun sepanjang 2001-2013[3]. Begitu juga dengan cerita-cerita eksploitasi sumberdaya alam lainnya di Kepulauan Aru, seperti operasi HPH PT. Budi Nyata (Djayanti Group) pada zaman orde baru dan perusahaan ikan asal Thailand PT. Pusaka Benjina Resources yang ditutup oleh Menteri KKP Susi Puji Astuti pada tahun 2015. Situasi ini memperlihatkan adanya sejarah kelam perampasan sumberdaya alam di Kepulauan Aru. Padahal, sudah sejak lama TNI AL telah menginjakkan kakinya di Kepulauan Aru dan menganggap wilayah Aru sebagai daerah yang strategis.
Dalam beberapa kasus rencana investasi industri ekstraktif di Kepulauan Aru, TNI AL juga kerap menjadikan institusinya sebagai pintu masuk para investor dengan cara menfasilitasi kepentinga-kepentingan investor. Seperti halnya yang terjadi pada kasus rencana masuknya Menara Group pada tahun 2012 dan Jhonlin Group pada tahun 2017.
Sementara itu, dikampung-kampung masyarakat merasa tersaingi dengan masifnya perburuan rusa dan hewan-hewan lainnya yang dilakukan oleh oknum TNI AL. Praktis, ini semua mengganggu sumber pangan dan sumber kehidupan masyarakat. Hewan-hewan buruan di area ladang berburu tradisional masyarakat semakin hari semakin berkurang populasinya, habis karena perbedaan teknologi dan cara berburu. Masyarakat yang berburu dengan berlari dan panah-panah harus bersaing dengan oknum-oknum TNI AL yang berburu dengan truk dan senjata api.
Penyelewengan Instrumen Hukum Administrasi dan Pelanggaran HAM
Langkah judisial yang diambil oleh masyarakat adat Marafenfen merupakan wujud dari ketaatan sebagai warga Negara Indonesia yang menyandang identitas khusus masyarakat adat sebagaimana diakui oleh UUDNRI 1945, PMK 35 dan instrument hukum lainya baik nasional maupun internasional. Walau secara normatif nampak diakui, akan tetapi pada faktanya hanya sampai pada teks hukum yang mati (dead letter law) sebagaimana yang terjadi dalam konteks masyarakat adat Marfenfen. Faktanya jalur judisial yang diambil masyarakat sangatlah riskan mengingat pada kenyataannya peradilan Indonesia sangat rendah perspektif keberpihakan dalam kasus-kasus semacam ini. Uraian-uraian fakta persidangan di bawah ini akan menunjukan berbagai pelanggaran hukum dan HAM yang mendera masyarakat adat selama bertahun-tahun oleh pihak TNI AL Aru.
Pertama, secara umum peristiwa hukum ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pengadaan tanah yang dalam konteks ruang dan waktu saat itu dipedomani oleh Permendagri No. 15 Tahun 1975, Permendagri No.2 Tahun 1976 dan Permendagri No.2 Tahun 1985. Dalam banyak kajian, aturan tersebut cacat secara yuridis karena mengandung unsur-unsur abuse of power dan konflik kepentingan. Ini pula yang menyebabkan proses sewenang-wenang dalam pembebasan tanah (perampasan) hak ulayat masyarakat adat Marafenfen karena aturan tersebut menciptakan panitia pembebasan tanah merangkap sekaligus sebagai panitia penilai objek pengadaan.
Kedua, Bahwa berdasarkan pada fakta persidangan terungkap bahwa proses pelepasan hak dilakukan secara melawan hukum. Menurut Pengacara masyarakat, proses perolehan tanahnya dilakukan dengan cara memanipulasi hasil musyawarah yang mana ternyata diketahui dalam berita acara musyawarah ditandatangani oleh orang-orang yang fiktif atau orang-orang yang tidak cakap secara hukum. Selain itu ganti rugi/kompensasi terhadap tanah masyarakat adat yang dilepaskan pun dilakukan secara manipulatif.
Agenda | Fakta Persidangan |
Musyawarah pelepasan hak atas tanah yang dimanipulasi oleh pihak-pihak terkait (Cacat Administrasi) | Kenyataannya dari nama-nama pada daftar yang dimaksud, ada orang yang belum pernah lahir ke muka bumi, ada yang sakit ingatan sejak lahir yang telah dihadirkan dalam persidangan dan tidak merespons apapun dari pertanyaan Hakim, ada nama yang orangnya masih anak-anak pada waktu itu, ada nama yang orangnya sudah lama keluar meninggalkan Desa Marafenfen, ke Dobo, Ke Ambon, ke Sorong dan sebagainya, sehingga tidak mungkin mengikuti musyawarah di Desa Marafenfen saat itu. Jadi sebagai bentuk musyawarah, namun fiktif. |
Agenda | Fakta Persidangan |
Penetapan Ganti Rugi dan pihak-pihak yang berhak menerima sejumlah 100 orang namun banyak fiktif | Tergugat I (TNI AL) dan Tergugat III (BPN) melalui jawaban yang disampaikan telah meyakinkan persidangan bahwa ada ganti rugi. Untuk itu diajukan bukti TI-7 oleh Tergugat I, seakan-akan ada warga Marafenfen yang telah menerima ganti rugi sebagai akibat penguasaan Tergugat I terhadap objek sengketa. Setelah diteliti ternyata pada nama-nama yang disebut sebagai penerima ganti rugi, antara lain orangnya masih anak-anak yang tidak tinggal di Desa Marafenfen untuk menerima ganti rugi itu, selain masih anak-anak yang seakan-akan menerima ganti rugi, ayahnya juga yang waktu itu bertugas sebagai guru di Kota Dobo, juga menerima ganti rugi. |
| Bahkan saksi tergugat justru keteranganya saling bertentangan yang satu menyatakan TNI AL telah mengganti rugi berupa tanah 200 ha bersertifikat di Desa Jerold an telah diserahkan ke masyarakat adat Marafenfen utk 100 KK. Namun saksi tergugat lainya menyatakan masyarakat adat Marafenfen berdomisili di desa Marafenfen dan tidak punya perkampungan di Desa Jerol. Hal tesebut merupakan bukti kecacatan prosedur dalam proses pengadaan tanah dengan memanupulasi data-data. |
Ketiga, kesewenang-wenangan nampak pada rangkain administrasi dalam pengadaan oleh pejabat tata usaha Negara dalam hal ini Gubernur Maluku, BPN dan pihak terkait. Sebagaimana fakta dalam persidangan terungkap.
Agenda | Fakta Persidangan |
Proses administrasi pengadaan tanah yang cacat prosedur | Penerbitan SK Gubernur Maluku, Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi Maluku, dan penerbitan Sertifikat Hak Pakai Nomor 1 Desa Marafenfen seharusnya berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah(HAT). Aturan ini menyebutkan Gubernur tak berwenang memberikan hak atas tanah lebih dari 2.000 M2 (dua ribu meter persegi) dan jangka waktunya tidak lebih dari 10 tahun. Kewenangan pemberian HAT seluas itu harusnya berada pada ranah Menteri Dalam Negeri kala itu. Namun SK Gubernur dan Sertifikat Hak Pakai seluas 689 Ha yang menjadi alas hak penguasaan tanah oleh TNI AL nyatanya tak berpedoman pada aturan tersebut dalam menetapkan SK. |
| Seharusnya pembebasan tanah dilakukan tahun 1992 sesuai SK Gubernur Maluku Maluku No. 591.1/SK/50/92 tertanggal 22 Januari 1992 tentang Pencadangan Tanah untuk Pembangunan Stasion Angkatan Laut dan Station Udara AL di Maluku Tenggara. Tetapi dalam surat klarifikasi TNI AL yang dikirim melalui Komnas HAM, pembebasan tanah dilakukan tahun 1991. Padahal dalam SK Gubernur tsb, pihak TNI Al harus membebaskan tanah dari pemiliknya di Desa Marafenfen seluas 650 ha dan dilanjutkan dengan permohonan pendafatran hak atas tanah guna mendapatkan sertifikat Hak pakai. Proses administrasi yang manupulatif ini memperlihatkan perolehan tanah yang sangat cepat dan tidak wajar. |
Keempat, penguasaan tanah ulayat masyarakat adat oleh pihak TNI AL secara melawan hukum akhirnya juga berakibat pada terkuranginya (terhapusnya) masyarakat adat Marafenfen dalam memenuhi hak atas kehidupan dan lingkungan hidup yang layak. Pemenuhan hak ini merupakan bagian inti dari keberadaan masyarakat adat yang tak terpisahkan. Sehingga penguasaan (perampasan) tanah ulayat masyarakat adat Marafenfen oleh TNI AL merupakan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD45 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Fakta ini diungkap dalam persidangan .
Agenda | Fakta Persidangan |
Pembuktian melalui pemeriksaan saksi-saksi penggugat dan tergugat |
|
| Kehadiran TNI AL diakui oleh banyak korban telah melanggar hak hidup tentram dan hidup aman. Pengakuan masyarakat juga mengalami hukuman tidak manusiawi ketika ketahuan memasuki kawasan sengketa misalnya disuruh mengelupas kelapa menggunakan mulut merupakan tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia. |
Pembacaan Putusan Persidangan
Setelah tanah ulayatnya diambilalih dengan cara-cara manipulatif melalui pemalsuan dokumen musyawarah pelepasan dan ganti rugi hak atas tanah (cacat administrasi), tepat pada tanggal 17 November 2021 perjuangan konstitusional masyarakat adat Marafenfen lewat gugatan di Pengadilan Negeri Dobo, Kepulauan Aru (Maluku) pun dikalahkan oleh hukum. Keadilan yang sejatinya untuk masyarakat adat justru dibunuh oleh argumentasi hukum Majelis Hakim yang hanya mengejar kebenaran formal semata (kepastian hukum). Hakim tidak berupaya menggali kebenaran yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat marafenfen (Living law). Keadilan seharusnya digali sedalam-dalamnya melalui signifikansi sosial-budaya masyarakat adat. Namun nyatanya majelis hakim lebih memilih menggali kebenaran formal, yakni kebenaran yang hanya bersumber pada dokumen-dokumen formal yang dijadikan alat utama untuk menilai perkara.
Pertama, dalam konteks perampasan tanah ulayat masyarakat adat Marafenfen, hakim jelas sekali tidak mengakui keabsahan bukti-bukti penguasaan hak atas sumber-sumber agraria dari masyarakat adat, misalnya hakim menyatakan bahwa penggugat (masyarakat adat) tidak bisa menyertakan bukti kepemilikan hak atas tanah permulaan berupa surat pembayaran pajak seperti girik sebagaimana dalam konteks masyarakat Jawa. Parahnya hakim juga menilai semua hasil musyawarah majelis adat Ursia-Urlima sebagai bentuk dukungan penguatan hak ulayat yang sah masyarakat adat Marafenfen tidak dianggap sebagai pranata hukum adat yang mengatur eksistensi masyarakat adat Marafenfen. Hakim dalam hal ini jelas bernalar dengan hukum yang dijiwai oleh kebutaan aspek antropologis masyarakat adat.
Kedua, nalar formalis hakim jelas sekali tidak mengindahkan fakta-fakta historis yang mendasari kasus perampasan tanah ini terjadi. Konteks historis ini diawali oleh pengadaan tanah yang objeknya adalah tanah ulayat masyarakat adat Marafenfen tahun 1991-1992. Proses-proses manipulasi musyawarah pelepasan dan ganti rugi hak atas tanah (cacat administrasi), hilangnya hak ekosob-nya serta kekerasan dan intimidasi yang dialami masyarakat adat berpuluh tahun lamanya tidak dipertimbangkan sebagai alasan-alasan konstitusional yang seharunya jadi landasan hakim memutus perkara. Hakim justru hanya berlindung dibalik nalar formalitas yakni menyatakan proses-proses tersebut tetap diakui keabsahannya selama sertifikat hak pakai (SHP) atas nama TNI AL tidak digugat ke PTUN dan dinyatakan batal demi hukum.
Ketiga, poin pertama dan kedua menjadi argumentasi hukum majelis hakim yang memukul hati nurani masyarakat adat dan semakin memperjelas praktik kuasa peradilan yang masih jauh dari penegakan hukum berperspektif antropologis. Padahal pada dasarnya UUD 1945 sebenarnya dapat dibaca sebagai dokumen konstitusi antropologis yang hidup guna menjadi penerang penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus perampasan hak ulayat masyarakat adat. Hal ini pula semakin memperjelas pentingnya segera RUU Masyarakat Adat disahkan agar menjadi perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan sumberdaya alamnya.
Terhadap hal tersebut kami seluruh elemen masyarakat sipil menyayangkan kebutaan antropologis hakim dalam memutus perkara perampasan tanah masyarakat adat Marafenfen. Kami menganggap putusan Hakim tersebut tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia masyarakat adat yang sebenarnya sangat jelas diatur dalam UUD 1945, Putusan MK 35 dan instrument hukum internasional. Selain itu kami menilai hakim melalui putusannya juga menambah panjang konflik agraria yang selama ini masih banyak terjadi dan berlangsung hingga kini.
[1] Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUDNRI 1945, PMK No. 35/PUU-X/2012, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria
[2] https://aman.or.id/news/read/ancaman-perampasan-wilayah-adat-dalam-uu-cipta-kerja diakses November 2021
[3] Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Illegal Fishing di Laut Arafura: Indonesia Rugi Rp40 Triliun/Tahun”, Klik selengkapnya di sini: https://ekonomi.bisnis.com/read/20131227/99/194512/illegal-fishing-di-laut-arafura-indonesia-rugi-rp40-triliuntahun-.