Tetua marga atau mata belang bertanggung jawab atas wilayah petuanannya yang berfungsi sebagai lambang identitas dan kepemilikan dari setiap mata belang. Petuanan berfungsi sebagai sumber penghidupan yang digunakan untuk menanam tanaman pangan, berladang, bertani, berburu, mengambil hasil kayu dan mengambil hasil laut. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, petuanan berupa hutan dan laut menjadi penyeimbang lingkungan alam.
Wilayah petuanan merupakan wilayah adat yang sudah dimiliki oleh masyarakat secara turun temurun. Pengelolaannya pun berdasarkan tata cara adat yang sudah dilakukan masyarakat sejak dulu dan terbukti mampu mempertahankan kelestariannya. Masyarakat memiliki kearifan lokal yang mereka jaga untuk pengelolaan petuanannya sehingga menciptakan keseimbangan alam dan lingkungan. Misalnya di kampung Lorang, Kecamatan Aru Tengah terdiri dari beberapa mata belang seperti Bedidi, Gaetedi, Ganobal, Djermor, Dakael, Leftahuran dan Goin. mata belang Bedidi dan Djermor merupakan mata belang yang memiliki wilayah petuanan yang paling luas. Oleh karena itu mata belang lainnya jika ingin berkegiatan mengolah lahan maupun mengambil sumber daya laut harus izin terhadap mata belang Bedidi atau Djermor yang memiliki petuanan tersebut. Tata cara perizinan ini merupakan adat istiadat yang telah dijalankan sejak dahulu.
Budaya kekeluargaan, gotong royong serta masih menjunjung tinggi adat istiadat tidak lepas dari sejarah persebaran masyarakat Kepulauan Aru. Wilayah Kepulauan Aru dikenal dengan komunitas besarnya yang disebut Ursia dan Urlima. Masyarakat yang termasuk ke dalam komunitas besar Ursia berada di Kepulauan Aru bagian utara, sedangkan Urlima berada di bagian selatan. Dalam kehidupan bermasyarakatnya, masyarakat adat Kepulauan Aru membagi komunitas besar Ursia menjadi tiga bagian yaitu Ursia Ngum-Ngum, Ursia Kada-Kada dan Ursia Toka-Toka yang tinggal di bagian utara.
Meskipun terbagi menjadi dua komunitas besar, justru hal ini menciptakan sifat kekeluargaan yang sangat tinggi. Budaya kerja sama yang kental dan persaudaraan yang erat dikenal dengan istilah sitakaka walike. Mereka merasa tetap satu darah meskipun memiliki tempat tinggal yang berjauhan. Bahkan mereka memiliki budaya, jika suatu hari terdapat seseorang dari pulau lain mencari saudaranya di tempat tinggal mereka, maka warga akan dengan senang hati membawa orang tersebut ke rumah yang ia cari sembari mengatakan “selamat datang, di situlah rumahmu”. Oleh karena itu adanya Ursia dan Urlima tidak memecah belah kesatuan dan persatuan masyarakat Kepulauan Aru.
4 Comments
TAJIDIN BUANO
Tulisan yang sangat informatif dan menjadi referensi bagi siapapun
ehrict
untuk berbicara tentang adat sendiri ini adalah suatu budaya yg bisa di jadikan sebagai suatu kekayaan masyarakat yg ada di aru..
saya pikir perlu adanya seminar tentang Hukum adat itu sendiri atau dialog sebagai pembuka wacana..:)
yoga
Tulisannya sangat informatif. apakah bisa dilanjutkan untuk diskusi langsung untuk Aru?
thanks
Yoga