Pengesahan UU Masyarakat Adat: ‘Jalan Pulang’ Daulat Pangan

30 Desember 2024 lalu, Pemerintah memutuskan berancang-ancang menghentikan impor pangan, khususnya beras, gula, jagung dan garam. Kebijakan ini secara langsung menindaklanjuti komitmen Presiden Prabowo Subianto yang mengejar swasembada pangan (dan energi) dalam 4-5 tahun ke depan.

Atas respon kebijakan tersebut, Pemerintah merombak jajaran pimpinan Bulog. Secara terang-terangan, Pemerintah memasang orang militer Mayor Jenderal Novi Helmy Prasetya, sebagai Dirut Bulog per-7 Februari 2025. Erick Tohir, sang Menteri BUMN, melantik orang militer demi mengejar target penyerapan gabah dan beras secara maksimal sebanyak 3 juta ton pada Februari-April 2025.

Kebijakan militeristik di subsector distribusi pangan menegaskan semakin mendalamnya keterlibatan militer dalam kebijakan dan sistem pangan nasional. Sebelumnya, Pemerintah telah mengambil kebijakan memperdalam ekstensifikasi lahan sawah melalui program cetak sawah (Program Ketahanan Pangan) di Papua yang melanjutkan kebijakan Lumbung Pangan Nasional dan pembentukan Brigade Pangan oleh Kementerian Pertanian bekerjasama dengan TNI untuk peningkatan produksi pangan di tingkat tapak seluruh Indonesia.

Jika merujuk definisi kedaulatan pangan dalam Pasal 1 poin 2 UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, jelas posisi hak negara amat mendominasi terhadap hak bangsa dalam menentukan kebijakan pangan dan sistem pangan rakyat. Masuknya militer untuk memenuhi ambisi kejar target menegaskan betapa negara terlalu ikut campur dalam sistem pangan dan pertanian rakyat: negara bawa tata dan cara, rakyat seakan hanya penonton dan objek semata.

Menjadi pertanyaan, apakah Pemerintah begitu tidak percaya dengan kemampuan ‘tenaga dalam rakyat’ dalam memenuhi daulat pangan secara berdikari? Masyarakat Adat, sebagai bagian terbesar ‘tenaga dalam’ Rakyat Indonesia seharusnya memiliki potensi besar mendorong laju daulat pangan. RUU Masyarakat Adat adalah keharusan. Namun, apa saja yang harus dipenuhi oleh Masyarakat Adat jika RUU Masyarakat Adat benar disahkan?

Realitas Kebijakan Pangan

Ambisi pengambil kebijakan terhadap ambisi pangan tersebut menandakan dua hal. Pertama, optimisme pemerintah tidak meletakkan pada realitas sebenarnya kondisi pertanian pangan di Indonesia.  Sejak tahun 2018, Indonesia menghadapi penurunan produksi padi dari 81 juta ton (2017) ke 53,9 juta ton (2023). Penurunan produksi padi dibarengi dengan semakin menyempitnya luas lahan pertanian dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2018-2023) menyebabkan 1,23 juta ton padi hilang setiap tahunnya.

Menurunnya luasan lahan pertanian ini dibarengi penyusutan jumlah petani pangan yang juga mengakibatkan penurunan kontribusi pertanian pangan terhadap dalam pembangunan sosial ekonomi rakyat. Semakin tidak menariknya kerja bertani menyebabkan menurunnya jumlah petani akibat sektor pertanian tidak layak lagi sebagai sumber penghidupan, khususnya di sektor pertanian pangan. Akibatnya, tanah-tanah yang terpaksa (dan dipaksa) ditinggalkan mengalami alih fungsi lahan pertanian menjadi industri perkebunan atau pertambangan (ekonomi ekstraktif) yang secara massif masuk ke lahan-lahan pertanian produktif di pedesaan.

Ambisi pemerintah meningkatkan produksi beras menegaskan penyeragaman pangan nasional dan menutup kemungkinan lain terhadap produksi pangan selain beras yang beragam. Produksi pangan lokal seperti singkong, ubi, sorgum, jali, jewawut dan beragam pangan lainnya masih sekadar kebijakan hiasan yang belum menjadi arus utama dalam kebijakan pangan nasional. Ironisnya, keberagaman pangan dan potensi ekonomi rakyat semakin menciut akibat ekstensifikasi lahan pertanian bercorak korporat seperti yang terjadi di wilayah-wilayah Proyek Lumbung Pangan Nasional (Food Estate) seperti Papua, Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara.

Kedua, pemerintah terang-terangan tidak lagi menaruh kepercayaan penuh kepada Kaum Tani sebagai tulang punggung utama produksi pangan nasional. UU Cipta Kerja telah meletakkan impor pangan setara dengan produksi pangan dalam negeri. Cipta Kerja merupakan cerminan Rezim Pangan Korporat (McMichael, 2013, 2020) telah begitu merasuk dalam kebijakan pangan nasional. Paradigma kebijakan pangan nasional masih mengandalkan pengadaan pangan nasional dari berbagai sumber asal ketersediaan pangan nasional terpenuhi. Akibatnya, petani dalam negeri harus berhadapan langsung dengan impor beras dan pasar pangan global yang sama sekali merugikan dan melemahkan kedudukan mereka.

Paradigma rezim pangan korporat amat mengandalkan pengetahuan dari luar yang tidak menggubris pengetahuan petani di tapak dengan memaksakan berbagai moda pertanian ‘modern’ yang bukan dari petani melalui mekanisasi pertanian, benih hasil rekayasa genetika, dan input pertanian padat kimia dan modal. Karena coraknya yang kapitalistik dan tidak mempercayai kekuatan Kaum Tani di tapak, paradigma kebijakan pangan bertumpu pada corak wirausaha tani yang dijalankan dalam logika korporat berbasis padat modal, penguasaan tanah skala besar dan berbasis pengetahuan saintifik yang merampas tanah Masyarakat Adat dan menafikan pengetahuan mereka.

Kebijakan pangan nasional yang kental korporatis dipertegas oleh pengamanan ekstra ekonomi melalui keterlibatan militer agar jalannya praktik kebijakan ajeg dan tanpa gangguan. Intervensi TNI dalam pengamanan program cetak sawah di Papua, pembentukan brigade pangan dan pemasangan perwira tinggi sebagai pejabat teras di Bulog merupakan pertanda jelas tindakan pengamanan tersebut. Tindak kebijakan itu jelas menimbulkan ketegangan sosial di tapak di mana petani terancam dilempar dari sumber penghidupannya di bawah pola komando yang serba paksa.

Dalam jangka panjang, pola kebijakan komando membuat petani dijangkiti sindrome ketergantungan pada perintah atasan yang memusnahkan daya inisiatif dan inovasi mandiri Kaum Tani. Sindrome ini semakin diperparah oleh ketergantungan Kaum Tani terhadap sumber produksi pertanian dari luar di mana harga pasar yang tidak stabil membuat posisi Kaum Tani semakin ketar-ketir. Kondisi ni menimbulkan kerentanan Kaum Tani yang berhadapan langsung dengan negara dan pasar global.

Jalan Pulang Kedaulatan Pangan

Dengan kondisi-kondisi pertanian pangan di atas, terang bahwa jalan menuju kedaulatan pangan di tangan kaum tani masih jauh dari panggang api. Seperti disinggung sebelumnya, hak bangsa seakan masih absen dalam kebijakan pangan nasional yang penuh dominasi hak negara mengandalkan pola rezim pangan korporat dikawal militer. Dampaknya, Masyarakat Adat menjadi korban utama atas dominasi kebijakan tersebut. Hilal Elver, Pelapor Khusus Hak Atas Pangan PBB (2017, dalam FIAN Indonesia 2020) pernah mengingatkan pihak Masyarakat Adat adalah korban paling berdampak atas pelanggaran hak atas pangan di Indonesia.

Hadirnya UU Masyarakat Adat membuka gerbang pulang ke kampung yang dirindukan bernama kedaulatan pangan. UU Masyarakat Adat memastikan pengakuan negara (recognition) terhadap Masyarakat Adat, khususnya sebagai penopang utama kedaulatan pangan nasional. Pada dasarnya, kedaulatan pangan suatu bangsa bertumpu pada kekuatan tenaga dalam rakyatnya, Kaum Taninya (Sajogyo 1991). Karenanya, kedaulatan pangan nasional seyogyanya berdiri di atas sistem pertanian sistem pertanian petani, yaitu sistem pertanian di tangan otonomi Kaum Tani (Van Der Ploeg 2013, 2019). Berbeda dengan kondisi kaum tani hari ini di bawah rezim pangan korporat, dampak jangka panjang dari Revolusi Hijau sejak akhir decade 1960-an telah mengikis habis sistem pertanian petani.

Masyarakat Adat merupakan tumpuan paling penting dalam sistem pertanian petani di mana mereka mengandalkan otonomi sistem pertaniannya baik dari sisi produksi-reproduksi maupun sisi konsumsi. Karenanya, RUU Masyarakat Adat menjadi penting sebagai penanda dan pengatur ‘jalan pulang’ kembali kepada sistem pertanian petani yang telah diwariskan oleh leluhur sekaligus.

RUU Masyarakat Adat harus memastikan hak atas pangan Masyarakat Adat. Hak Atas Pangan Masyarakat ditentukan langsung di tangan mereka melalui sistem pangan yang telah dipraktikkan secara turun temurun. Sistem pangan ini merupakan kristalisasi dari praktek manusia yang berselaras hidup dengan alam membentuk satu ruang hidup yang komprehensif dan saling bergantung satu sama lain. Karenanya, sistem pangan ini berlandaskan pada penguasaan agrarian secara menyeluruh dan sistem pengetahuan adat yang luas atas refleksi relasi manusia terhadap ruang hidupnya dan relasi antar-manusia dan makhluk hidup terkait ruang hidupnya seperti lembaga adat, kelembagaan adat terkait ritual, aturan dan norma bertani, pengetahuan ekologi pertanian dalam menjaga kesuburan tanah dan peningkatan hasil panen, pengetahuan puspa ragam pangan local, kolektivitas kerja Masyarakat Adat dalam pertanian warisan leluhur dan metode-teknik penyimpanan dan pengolahan pangan lokal.

Praktik pertanian Masyarakat Adat telah dikenal sebagai praktik pertanian yang menjaga keberlangsungan ekologis secara berkelanjutan berabad-abad. Praktek pertanian Masyarakat Adat mengandalkan keberlanjutan peningkatan hasil panen berselaras dengan penyesuaian kondisi ekologis ruang hidupnya. Praktek berabad ini menghasilkan sistem lembaga dan kelembagaan adat yang merupakan kristalisasi hasil belajar jangka panjang relasi manusia dengan alamnya, dan relasi antar-manusia dan makhluk hidup dalam ruang hidupnya. Praktik inilah yang melahirkan sistem pangan Masyarakat Adat yang menjadi landasan penting kekayaan sistem pertanian agroekologis di masa kini. Masuknya (kekerasan) negara akibat tidak adanya jaminan penghormatan dan pengakuan terhadap sistem pangan Masyarakat Adat telah mengakibatkan krisis sosial dan ekologis yang mengakar dan kronis.

Sistem pangan Masyarakat Adat telah lama digempur oleh Revolusi Hijau sejak decade 1960 hingga 1970-an. Dalam riset AMAN dan Sajogyo Institute di 6 (enam) Komunitas Adat percontohan (segera terbit), sistem pangan Masyarakat Adat telah mengalami penggerusan akibat peralihan paksa oleh negara dalam introduksi benih unggul, pupuk kimia, racun hama dan gulma, dan mekanisasi alat pertanian. Kekerasan negara di sisi pengetahuan dan praktik leluhur tersebut mengakibatkan perubahan sosial secara signifikan dan menyeluruh yang mengakibatkan individualisasi Masyarakat Adat, terbentuknya kelas-kelas sosial yang semakin tajam yang berujung pada perusakan sosial ekologis pertanian secara massif akibat pencerabutan Masyarakat Adat terhadap ruang hidupnya. Tiga Komunitas Adat berekosistem pertanian sawah basah yang sebelumnya mengandalkan jenis benih padi lokal mengalami pergeseran paling signifikan, cepat maupun lambat.

Yang paling mendasar, RUU Masyarakat Adat harus menjamin hak penguasaan sumber-sumber agraria Masyarakat Adat. Syarat kedaulatan pangan adalah kedaulatan agraria di mana Rakyat (khususnya Masyarakat Adat) dijamin atas penguasaan terhadap tanah, khususnya Kaum Tani yang menggarap tanahnya. Undang-Undang Pokok Agraria secara umum telah meletakkan basis pengaturan tanah-tanah milik Masyarakat Adat dengan Hak Ulayat. Namun, pengaturan Hak Ulayat masih mengikuti logika fragmentaris dan parsial dengan dominasi aturan-aturan dari Kementerian Kehutanan (melalui Rezim UU Kehutanan). Akibatnya, Negara justru menjadi aktor utama penyebab konflik agraria vis a vis Masyarakat Adat. Konflik Masyarakat Adat di dalam Kawasan Hutan ini telah banyak dikaji dalam Inkuiri Komnas HAM (2017).

Buramnya pengaturan Wilayah Adat telah menimbulkan konflik agrarian yang tak berkesudahan. AMAN (2024) mencatat 2,88 juta hektar wilayah adat mengalami konflik agraria. Buramnya hukum pengakuan wilayah adat masih dibayangi logika rekognisi berbasis pola pikir hak residual. Van Vollenhoven, lebih daro 100 tahun, telah mengingatkan masalah ini. Logika ini meletakkan wilayah adat sekadar wilayah sisa setelah tanah telah dibagikan secara hak milik pribadi, hak guna usaha, dan hak guna bangunan (serta hak-hak lain). Melalui RUU Masyarakat, logika hukum seperti ini harus dibalik: Masyarakat Adat dahulu, hak-hak lain kemudian. Dengan begitu, penguasaan sumber agraria oleh Masyarakat Adat diperkuat dan dipertegas.

Problem penguasaan sumber agraria merupakan factor utama dalam pengikisan sistem pangan Masyarakat Adat. Semua lokasi riset di 6 Komunitas Adat mengalami problem penguasaan agraria. Problem paling sering ditemui adalah konflik agraria di Kawasan Hutan dan masalah konflik terkait izin konsesi. Tiga Komunitas Adat yang notabene berekosistem pertanian ladang gilir balik mengalami dampak paling parah konflik agraria akibat izin konsesi tambang, pengusahaan hutan dan perkebunan sawit. Salah satu Komunitas Adat yang paling parah terdampak adalah Komunitas Adat Tempayung di mana praktek ladang gilir balik hanya tersisa memori pengetahuannya dan lumbung padinya yang tak boleh disentuh dengan ruang wilayah adat ladang gilir baliknya telah habis dibabat perusahaan sawit. 

Perampasan atas pengetahuan dan ruang hidup Masyarakat Adat mengakibatkan pencabikan identitas Masyarakat Adat. Perampasan dan penafian atas Masyarakat Adat dari berbagai sisi melahirkan rusaknya kompas pulang Bangsa untuk berdikari kembali. Karenanya, RUU Masyarakat Adat harus memastikan pengakuan yang komprehensif dan integral agak hak Masyarakat Adat. Pengakuan ini sangat penting demi keterlibatan dan partisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan pangan nasional yang berdaulat. Seperti yang disinggung sebelumnya, pengakuan dalam RUU Masyarakat Adat harus membalikkan logika residual hak warisan Domeinverklaring Kolonial Belanda.

RUU Masyarakat Adat juga harus menjamin keterlibatan dan partisipasi aktif tersebut bersifat dua arah sehingga terjadi ruang dialektika yang sehat antara Masyarakat Adat sebagai sisi Hak Bangsa dan Hak Negara. Dalam RUU Masyarakat Adat, perlu untuk lebih meninjau lebih dalam arti pemberdayaan yang selama ini bersifat satu arah. Pemberdayaan harus menjamin agar tidak membuka ruang ketergantungan terhadap pihak luar, khususnya ruang kembalinya ketergantungan terhadap pasar secara berlebih sehingga Masyarakat Adat, khususnya dalam bertani, tidak bergantung berlebih pada input dan alat produksi dari luar. Sistem pangan Masyarakat Adat mengandalkan daya reproduksi alam dan reproduksi sosialnya dalam ruang hidupnya sehingga pemberdayaan tidak merusak siklus sistem pangan tersebut seperti yang telah kita lalui di masa lalu.

Sebagai penutup, pengesahan UU Masyarakat Adat amat penting dalam membuka jalan pulang kedaulatan pangan di mana hak bangsa (khususnya Masyarakat Adat) sebagai penentu dan subjek utama kebijakan dan sistem pangan nasional, tidak hanya didominasi oleh hak negara an sich (yang semakin berpihak pada korporasi dan dikawal militer). Meski begitu, perjuangan masih panjang. Masih banyak tantangan ke depan agar kedaulatan pangan kembali ke pangkuan Masyarakat Adat, seperti mengkawal Revisi UU Kehutanan dan mengawasi ketat revisi UUPA. Kedaulatan pangan Masyarakat Adat tak bisa tegak tanpa kedaulatan agraria!

Penulis:
Kiagus M. Iqbal

Tulisan dapat diunduh pada tautan dibawah ini:
Pengesahan UU Masyarakat Adat: ‘Jalan Pulang’ Daulat Pangan
Published: Maret 27, 2025
Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top