Peristiwa keruhnya air Sungai Sagea, Halmahera Tengah kian hari tak kunjung selesai. Sejak awal 2024, tercatat lebih dari lima kali Sungai Sagea mengalami perubahan warna yang pekat. Fakta tersebut memberikan pesan bahwa ada permasalahan yang cukup serius berkaitan dengan kondisi daerah aliran Sungai Sagea. Pasalnya aliran Sungai Sagea mengalami kekeruhan secara periodik sejak tahun 2023 lalu dan belum ada tindakan yang serius dari pemerintah daerah untuk menanganinya.
Dalam webinar bertajuk “Dibalik Keruhnya Sungai Sagea” yang diselenggarakan Forest Watch Indonesia pada 04 April 2024, Adlun Fiqri selaku Koordinator #SaveSagea menjelaskan sejak lima tahun terakhir, aktivitas pertambangan khususnya di Teluk Weda berjalan sangat massif. Di Halmahera Tengah terdapat sekitar 19 izin usaha pertambangan (IUP) dengan total luasan 46.129 hektare. Kondisinya saat ini telah menimbulkan dampak lingkungan seperti deforestasi dan tercemarnya sungai-sungai besar yaitu Sungai Kobe, Akejira, Waleh dan terakhir juga dialami oleh Sungai Sagea.
Hasil Investigasi yang dilakukan Forest Watch Indonesia pada September 2023, mengungkapkan bahwa keruhnya sungai Sagea disebabkan oleh sedimen tanah yang tererosi ke sungai akibat aktivitas pembukaan hutan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Sagea yang masuk dalam konsesi tambang. “Hasil analisis deforestasi FWI dari tahun 2021-2023, menemukan telah terjadi deforestasi seluas 392 hektare di DAS Sagea. selain itu, kami juga melakukan verifikasi langsung ke lapangan. Faktanya telah terjadi pembukaan hutan untuk jalan akses eksplorasi tambang dan pembuatan camp di area konsesi PT WBN dan PT HSM yang masuk dalam DAS Sagea.” ujar Agung Juru Kampanye FWI.
Lebih lanjut, Hasil kajian FWI terkait Potensi bahaya banjir pada wilayah pertambangan di 4 DAS di Teluk Weda menemukan peningkatan potensi bahaya banjir yang dipengaruhi oleh perubahan tutupan lahan dan anomali curah hujan dari tahun 2016-2023. Kajian tersebut menggunakan metode FHI (Flood Hazard Index) dengan tujuh parameter yang didasarkan pada pengaruh dan potensi terciptanya daerah bahaya banjir, yaitu curah hujan, tutupan lahan, akumulasi aliran, kemiringan lahan, topografi, buffer sungai, dan geologi. Nilai FHI digunakan untuk mengetahui tingkat bahaya banjir.
“Berdasarkan analisis perubahan kedua parameter tersebut, terjadi peningkatan bahaya banjir yang digambarkan dengan peningkatan nilai luas area FHI. Luas FHI pada kategori bahaya banjir rendah menjadi sedang yaitu sebesar 1.662,3 hektare, areal rendah menjadi tinggi sebesar 229,87 hektare, kategori bahaya banjir sedang menjadi tinggi naik sebesar 9.244,85 hektare, sedangkan kategori tinggi menjadi sangat tinggi naik sebesar 1.328,15 hektare”. Penjelasan Eryana selaku Peneliti FWI.
Sungai Sagea merupakan perwujudan sistem sungai bawah tanah Gua Batulubang Bokimoruru yang muncul ke permukaan melalui mulut gua. Berdasarkan paparan BPDASHL Ake Malamo dalam acara webinar, aliran Sungai Sagea berasal dari DAS Ake Yonelo dan Ake Sepo yang berada dibagian hulunya. Kedua sungai tersebut mengalir ke arah Selatan-Tenggara dan masuk melalui sistem perguaan di kawasan Karst Sagea, kemudian muncul kembali sejauh 4 km di Gua Bokimoruru.
Fenomena sungai masuk dan muncul dari bawah permukaan tanah merupakan salah satu ciri kawasan karst. Bentang alam karst tidak hanya berkembang di permukaan, melainkan juga bagian bawah tanahnya. Salah satu bentuk perkembangannya yaitu ditemukan sistem perguaan dan sungai bawah tanah seperti yang ada di kawasan Karst Sagea. Oleh sebab itu, sistem hidrologi kawasan karst perlu pendekatan khusus dalam pengelolaannya.
“Ketika membicarakan karst dari sisi hidrologi, kita juga harus membicarakan wilayah diluar kawasan karst yang mengimbuh air ke kawasan karst. Istilahnya dikenal dengan Allogenic recharge atau imbuhan air yang berasal dari luar kawasan karst. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya air di kawasan karst juga harus mencakup wilayah-wilayah yang berada diluar batas batuan karst, apalagi yang memberi kontribusi sumber daya air ke kawasan karst. Beberapa peneliti menyebutnya dengan istilah Karst Drainage Basin”. Ujar Ahmad Cahyadi, Ahli Hidrologi karst Departemen Geografi Universitas Gadjahmada.
Pengelolaan DAS Sagea seharusnya mencakup wilayah DAS Yonelo dan DAS Sepo karena dua sungai tersebut yang diduga kuat menjadi hulu dari sumber aliran sungai Sagea. Terlebih aktivitas pertambangan yang berada di wilayah DAS Yonelo dan Sepo telah memberikan dampak kepada Sungai Sagea. Keruhnya Sungai Sagea membuktikan bahwa sumber air Sungai Sagea merupakan allogenic recharge yang berasal dari luar kawasan karst.
“Harapan kami di Sagea untuk pemerintah baik pusat, provinsi dan daerah untuk melakukan evaluasi terhadap izin-izin tambang yang wilayah Teluk Weda. Kami juga meminta untuk memonitoring terhadap kinerja perusahaan tambang terhadap lingkungan. Kondisinya sekarang sebagian besar sungai-sungai di Teluk Weda telah hancur lebur. Dan belum ada satu perusahaan pun yang disanksi atas dampak yang ditimbulkan” pungkas Adlun Fiqri.
Narahubung: Media FWI (+62 857-2034-6154)