Frans Jat Ganobal, laki-laki berusia sekitar 50 an dari marga Ganobal, Lorang, Kecamatan Aru Tengah, memiliki perawakan khas rata-rata Indonesia timur. Dengan tenang mengemudikan kedo-kedo atau perahu berbahan fiber yang digerakkan dengan motor tempel kecil berbahan solar. Kedo-kedo melaju tidak terlalu cepat menyusuri selat selat kecil antar pulau, dan sedikit terhempas gelombang dan bergoyang ketika berpapasan dengan kedo-kedo lain untuk menangkap kepiting bakau.
Sesampainya di lokasi tempat bubu terpasang, Frans Jat mematikan motor kedo-kedo, menarik senar dan mengangkat mata kail yang belum disambar ikan. Kemudian dia mendekati dan mengangkat bubu yang terendam dari air dan terikat dengan tambang kecil ke akar mangrove. Sayang keberuntungan belum hadir karena tidak ada satu ekor kepiting pun yang terperangkap didalamnya.
Bubu itu dinaikkan ke atas kedo-kedo. Lumpur dan dedaunan yang ada didalamnya dibersihkan. Setengah kepala kerapu yang telah disiapkan dari rumah kemudian dimasukkan kedalam bubu. Setelah terisi dengan umpan dan diisi pemberat batu lalu ditenggelamkan. Agar posisinya tidak berubah atau hanyut oleh arus, ujung bubu dihubungkan dengan tali tambang yang diikat ke akar mangrove. Bubu milik Frans Jat dan orang Lorang pada umumnya terbuat dari batang rotan yang dikat dengan tali lalu sisi-sisinya ditutup dengan jaring.
Frans Jat menyampaikan, dirinya biasa menjual kepiting yang terjerat oleh bubu-bubunya yang dipasang dengan kisaran 10 hingga 20 ekor setiap minggunya. Tidak semua kepiting yang tertangkap dijual kepada pengepul. Hanya kepiting yang berukuran diatas 300 gram dan yang sudah keras kulitnya yang dijual.
Harganya pun bervariasi sesuai dengan beratnya. Saat ini, kepiting berukuran 300 – 700 gr dihargai sebesar 90 ribu rupiah, ukuran 700 gram – kurang dari 1 kg dihargai 180 ribu rupiah dan kepiting dengan berat lebih dari 1 kg dihargai 280 – 300 ribu rupiah. Kepiting-kepiting yang tidak terjual biasanya dilepaskan lagi ke alam atau dipelihara.
Kepiting bakau adalah salah satu komoditas laut utama selain rumput laut yang menjadi sumber pendapatan Masyarakat Lorang, dan untuk Masyarakat Aru secara umumnya. Potensi kepiting di kepulauan aru sangat melimpah, hal ini didukung oleh ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil yang masih terjaga dengan baik. Data produksi perikanan periode 2020 – 2022 dari Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru menunjukkan rata-rata jumlah kepiting tangkap sekitar 11,7 ton per tahun. Jumlah sebenarnya bisa lebih besar karena belum sepenuhnya terdata dengan baik. Untuk Lorang saja, pengepul yang datang setiap minggunya bisa membawa sedikitnya sekitar 250 kg kepiting dari hasil tangkapan Masyarakat Lorang.
Wilayah adat Lorang yang luasnya mendekati 40 ribu hektar dengan 22 persennya merupakan ekosistem mangrove jelas merupakan tempat hidup yang sangat cocok bagi kepiting bakau untuk berkembang biak. Dari jumlah kepiting bakau di Lorang yang tertangkap setiap minggunya dan umur hidup kepiting yang berkisar 3-4 tahun, maka bisa dibayangkan betapa besar potensi kepiting bakau yang ada di Lorang. Meski demikian, penting untuk dikaji lebih mendalam mengenai dinamika populasi kepiting bakau di Lorang dalam meminimalkan terjadinya “over cacthing” yang berdampak pada menurunnya tangkapan kepiting di masa mendatang.
Kamipun melanjutkan perjalanan sembari nondak. Tidak seberapa lama menyisiri selat-selat kecil dengan lebar 3-5 meter yang kanan kirinya ditumbuhi oleh tumbuhan mangrove alami dan sehat, sampailah kami di sebuah pondok panggung kecil yang berdiri di tepian selat. Pondok kecil berukuran 3 x 4 meter. Dindingnya berupa papan-papan kayu dan dengan atap dari anyaman daun rumbia. Lantainya disangga dengan 4 tiang balok kayu dan tangga naik yang tertancap ke lumpur sedalam setengah betis orang dewasa. Sepertinya ketika air pasang, sebagian tiang dan anak tangga ini biasa terendam oleh air laut.
Di bawah pondok ada 3-4 kedo-kedo tradisional yang ditambatkan pada pancang kayu. Sedangkan dibelakang pondok nampak seperti bekas kebun dengan beberapa pohon kelapa. Dari pondok kearah kebun dihubungkan oleh jembatan kayu yang Sebagian kayunya sudah mulai melapuk. Di dalam pondok, di langit-langit ada para-para yang terbuat dari jaring ikan yang dibentangkan. Di situ tersimpan peralatan-peralatan yang biasa digunakan dan juga pakaian ganti. Beras, kopi dan gula dan peralatan makan juga biasanya tersedia. Di pojokan terlihat tungku sederhana dari batu dan diatasnya ada asar dari kayu tempat untuk membuat ikan asap.
Pondok ini adalah tempat beristirahat dan menginap bagi Frans Jat ketika sedang mencari kepiting. Biasanya aktivitas mencari kepiting dilakukan selama 3-6 hari dan balik ke kampung pada hari jumat ataupun sabtu. Setelah memeriksa semua bubu yang telah dipasang, ia kembali kesini untuk beristirahat hingga esok untuk kembali melakukan rutinitas yang sama.
Setelah melepas liarkan dua ekor kepiting lombo yang dibawa, pekerjaan memeriksa dan memasang bubu lalu dilanjutkan. Kali ini kami tidak bisa ikut karena Frans Jat menggunakan kedo-kedo kecil yang lebarnya hanya selebar 1 orang duduk. Menggunakan kedo-kedo kecil itu butuh keseimbangan yang sangat bagus selain itu juga tidak ada ruang kosong lagi karena sudah penuh dengan 3 bubu yang dibawanya. Dengan mendayung tenang, Frans Jat dan kedo-kedo nya meluncur menjauh dari pondok menuju selat-selat yang lebih kecil untuk memeriksa dan memasang bubu-bubu yang dibawa.
Bagi Masyarakat Lorang, kesadaran dan pengetahuan tentang lokasi bubu dari setiap warganya sudah sangat kuat. Tidak ada saling klaim antar warga terkait dengan lokasi penempatan bubu begitu juga dengan aksi-aksi saling mencuri pun bisa dipastikan tidak ada. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena Masyarakat Lorang masih sangat kuat meyakini dan memegang teguh norma-norma adat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berlaku sejak turun temurun dalam komunitasnya. Gangguan untuk akses sumberdaya kepiting dan juga sumberdaya alam lainnya di Lorang justru muncul dari orang-orang dari luar komunitas Lorang.
Selepas matahari jatuh sedikit ke barat, ia pun kembali. Setelah kedo-kedonya merapat di tangga pondok, saya yang penasaran dengan hasilnya pun bertanya, “bagaimana pak, dapat kepitingnya?”
Dengan tersenyum Frans Jat hanya menggelengkan kepala.
Tidak ada seekor kepiting pun yang terperangkap?! Hanya sepertinya dengan lama waktu kepergiannya tadi, tidak mungkin rasanya buat Frans Jat memeriksa semua perangkap yang dimilikinya. Karena jumlah bubu yang dimiliki dan dipasang oleh para pencari kepiting dari Lorang bisa mencapai puluhan hingga ratusan. Atau jangan-jangan memang tadi hanya pergi untuk memasang 3 bubu yang dibawanya saja. Namun bagaimanapun keberuntungan sekali lagi memang belum berpihak, tidak ada kepiting yang tertangkap hari ini.
Masih diatas kedo-kedonya, Frans Jat pun menawarkan buah kelapa kepada kami. Dan dengan senang hati kami pun tidak menolak tawarannya. “Tunggu sebentar!”, katanya.
Kedo-kedo itupun kembali meluncur pergi.
Tak seberapa lama, dia kembali sambil membawa 2 buah kelapa muda. Dan dengan cekatan, dikupas dan batok kelapanya dilubangi dengan sebuah parang lalu memberikannya kepada kami. Tanpa banyak kata, air kelapa muda itu langsung kami minum dari buahnya.
” Ah.. Sungguh segar air kelapa ini! ” Rasanya manis dan nikmat. Sempat terpikir juga, kok bisa pohon kelapa yang tumbuh didaratan sempit dan dikelilingi air asin ini bisa memiliki air yang sangat manis. Buah kelapa itu lalu kami belah dan mengerok daging kelapanya untuk dimakan. Entah karena lapar karena tadi pagi hanya sarapan beberapa potong roti saja atau memang kelapanya sangat enak, hingga tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menghabiskannya.
Setelah tandas air dan buah kelapa itu ke perut kami, Frans Jat mengajak untuk kembali pulang ke kampung. Kami lalu turun dari pondok lewat tangga yang sudah sebagian terendam air pasang. Dengan langkah hati-hati dan naik ke atas kedo-kedo.
Mesin kedo-kedo dinyalakan dan kami duduk dengan tenang. Sesaat setelah mulai bergerak, Frans Jat kembali melemparkan pancingnya dan melakukan nondak. Disepanjang selat ini kami sebenarnya sering melewati gerombolan ikan-ikan yang lumayan besar. Mereka terlihat berenang beriringan kadang berloncatan, lalu menyelam di kedalaman dan muncul lagi dibelakang kedo-kedo setelah kami lewat. Seperti mengejek memang! Terlihat banyak tapi tidak ada satupun yang nyangkut di mata pancing kami.
Di setengah perjalanan pulang menuju kampung Lorang, setelah melewati tempat budidaya rumput laut, Frans Jat membelokkan kedo-kedonya di selat kecil lainnya. Bagi orang asing seperti saya, kalau dilepas sendirian di selat-selat ini besar kemungkinan akan tersesat dan tidak tahu jalan pulang. Persimpangan antara pulau-pulau kecil cukup mirip. Selat-selat yang memisahkan pulau-pulau kecil inipun tidak tampak keberadaannya dari jauh dan hanya baru jelas terlihat setelah didekati.
Beberapa meter memasuki selat kecil ini, matahari yang awalnya terasa terik jadi tidak terlalu menyengat. Panas matahari sepertinya terhalang oleh rimbunnya kanopi pohon bakau yang ada di sepanjang tepian selat, kami terlindungi dalam bayangannya. Hembusan angin sepoi-sepoi semakin membuat nyaman hingga memperdaya mata ini dan terkantuk-kantuk dibuatnya.
Sampai akhirnya disebuah tikungan selat, kedo-kedo itu berhenti dan Frans Jat berkata kepada kami “balik kita!” Tanpa bersuara saya hanya menganggukkan kepala sambil terseyum pahit. Dengan pengalaman seharian ini, rasanya saya tidak perlu berharap untuk dapat membawa hasil laut kali ini. Setelah itu kedo-kedo pun berbalik arah, sementara Frans Jat masih teguh melakukan nondak. Sedangkan saya hanya bisa pasrah menerima nasib hari ini..hehe.
Sambil terkantuk-kantuk duduk diatas kedo-kedo, tiba-tiba terasa ada sebuah hentakan dan suara teriakan Frans Jat dari belakang. “Dapat!”
Masih belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi, saya pun menoleh kebelakang sementara Frans Jat mematikan motor kedo-kedo.
Dengan perlahan dia menarik senar pancing yang sepertinya bergerak kekanan dan kiri. Tidak butuh lama, ikan kerapu yang kepalanya sebesar segenggaman dua telapak tangan berhasil diangkat ke atas kedo-kedo.
“Alkhamdulillah!” Rasanya ini sudah cukup menghapus lelah hari ini dan tidak malu pulang kampung dengan tangan kosong.
Kami pun melanjutkan perjalanan pulang sambil tetap melakukan nondak. Belum hilang rasanya kegembiraan mendapatkan ikan pertama hari ini, tiba-tiba Frans Jat menghentikan kedo-kedonya sekali lagi. Strike! ditariknya senar pancing tersebut, rupanya ada seekor ikan lagi yang menyambar pancingnya. Dan tak butuh waktu lama, seekor ikan kerapu lagi dengan ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya berhasil diangkat.
Dengan selisih waktu yang tidak terlalu lama, tangkapan ini membuat hati merasa ingin lebih. Namun sayang, nampaknya itu adalah ikan terakhir yang bisa kami dapat hari ini, karena hari sudah menjelang sore dan kami pun bergegas untuk pulang.
Akhirnya memang, rezeki sudah ada garisnya, tinggal kita untuk selalu berupaya dan berusaha sekuat tenaga mencarinya. Hari ini kami pulang tidak dengan tangan kosong. Warna langit sore di selat Lorang pun terlihat semakin semarak dengan 2 ekor kerapu besar ditangan. Lorang… Selamat datang!