MEMAHAMI HAK-HAK TRADISIONAL DI PASAL 18B AYAT 2 UUD 1945

Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, tidak ditemukan frasa “hak-hak tradisional”, yang ada adalah frasa hak asal-usul. Dalam pembentukannya, dibahas mengenai hak asal-usul dari daerah-daerah yang bersifat Istimewa. Dari penjelasan Soepomo di Sidang Kedua BPUPKI pada 15 Juli 1945, setidaknya frasa hak asal-usul –walaupun tidak terbatas pada– mensyaratkan pengakuan dan penghormatan terhadap susunan asli dari masyarakat adat adat sebagai daerah istimewa.

Dalam perubahan II, 18 Agustus 2000, Pasal 18 berkembang. Salah satunya adalah Pasal 18B ayat (2) yang di dalamnya terdapat frasa hak-hak tradisional. Bertautan dengan itu, dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 menyatakan: Hak asal-usul yang ada di UUD 1945 sebelum amandemen dapat disamakan dengan hak tradisional sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen.

Naskah pendek ini akan mencoba memahami original intent dari frasa hak-hak tradisional pada UUD 1945 setelah amanden. Penulis menyadari original intent bukan-lah satu-satunya metode memahami Konstitusi. Naskah ini diolah dari salah satu sub-bab penelitian -bagian konseptual- yang dilakukan oleh Perkumpulan HuMa Indonesia pada 2020 berjudul Legal Framework Hutan Adat. Sebuah penelitian yang berniat menggali ruang-ruang gerak penetapan keberadaan Masyarakat Adat dan pengakuan serta perlindungan hak tradisionalnya, termasuk pada hutan adat.

Original Intent dari Hak-hak Tradisonal

Salah satu metode penafsiran “originalisme” adalah dengan mendasarkan diri kepada original intent perumusan pasal UUD 1945. Setelah amandemen UUD 1945, frasa “hak asal-usul” digantikan oleh “hak-hak tradisional.” Dalam perumusannya, terdapat beberapa pendapat dari peserta-peserta sidang yang terkait.

Pada rapat ke-23 Panitia Ad Hoc (PAH) I BP MPR Perubahan Kedua UUD, 29 Februari 2000, Pendeta Pattiasina dari PGI menyampaikan: “…pemerintahan daerah dengan otonomi khusus atau otonomi luas agar dihidupkan kembali struktur masyarakat setempat seperti kerapatan adat, dan dijadikan badan oleh pemerintahan desa, karena dengan demikian yang akan tampil adalah sistem Primus Interparis di desa tersebut.

Selanjutnya, pada rapat ke-25 PAH I, 2 Maret 2000, Lukman Hakim Saifuddin dari F-PPP menyatakan: “…perubahan-perubahan yang kita lakukan terhadap Undang-Undang Dasar itu hendaknya meliputi pengakuan sepenuhnya atas kedaulatan masyarakat, khususnya masyarakat adat. Tidak saja berkaitan terbatas pada pemanfaatan sumber daya alam tapi juga berkaitan dengan hukum pemerintahan.” Pada rapat yang sama, Sandra Moniaga dari ELSAM menyampaikan:“…bicara tentang hak adat di sini, itu bukan hanya hak adat yang atas sumber daya alam. Tetapi hak adat yang sifatnya lebih holistis.” Sandra Moniaga menambahkan: “Ada satu otonomi bagi di masyarakat adat untuk mengatur dirinya sendiri yang kita kenal self-determination…”

Beberapa hari kemudian, dalam Rapat PAH I ke-36, 29 Mei 2000, F-PG memberikan usulan: “…Negara mengakui masyarakat hukum adat dan teritorial untuk memiliki Pemerintahan sendiri berdasarkan hak-hak, asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa dan khusus yang diatur dengan undang-undang.” Dalam rapat yang sama, Abdul Khaliq Ahmad menyinggung: “… berkaitan dengan hak asal usul dari daerah-daerah. Saya kira ini kita tetap harus dihargai sebagai satu bentuk keunikan daerah, oleh karenanya maka penamaan daerah-daerah tidak boleh diseragamkan…

Dua hari berselang, pada Rapat Tim Perumus PAH I BP MPR, 31 Mei 2000, Hobbes Sinaga mengusulkan juga aturan mengenai perlindungan masyarakat hukum adat: “Mengakui dan melindungi masyarakat hukum adat, riwayatnya, untuk mengatur kemasyarakatannya berdasarkan hukum adatnya itu.”

Dalam Rapat Komisi A Sidang Tahunan MPR Ke-3 Lanjutan, 12 Agustus 2000, Lukman Hakim Saifuddin kembali mengusulkan agar pembagian daerah bukan hanya provinsi dan kabupaten/kota, melainkan seperti UUD 1945 asli di mana daerah kecil seperti desa, nagari, dan lain-lain juga diakui sebagai daerah. Happy Bone juga menyepakati pendapat itu dan menyatakan bahwa struktur pemerintahan daerah harus sampai pada lapisan paling bawah, jadi angkat desa, nagari, kelembagaan adat.

Tiga hari jelang HUT ke-55 RI, tepatnya dalam Rapat Lobi Komisi A MPR, 14 Agustus 2000, Bagir Manan selaku ahli menyampaikan usulan rumusan Pasal 18B ayat (2): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, masyarakat hukum asli serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

Saat itu-lah pertama kali usulan berbagai hak masyarakat adat yang disampaikan oleh forum dirangkum oleh Bagir Manan ke dalam istilah “hak-hak tradisional”. Beberapa anggota rapat bertanya kepada Bagir Manan mengenai pengertian hak tradisional tersebut. Bagir Manan menjawab “Hak tradisional itu hasil perdebatan karena disamping hak ulayat masih ada hak-hak lain sehingga kita meluweskan jadi hak-hak tradisional sehingga itu hak-hak ulayat, hak-hak adat lainnya, hak numpang karang, hak macam-macam itu kalau ada.”

Dalam risalah sidang perubahan UUD, tidak dibahas hak-hak apa saja yang merupakan hak tradisional. Dari risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa istilah “hak tradisional” memang dimaksudkan untuk membuat pengertian hak tersebut menjadi fleksibel, karena sampai akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2) tidak disepakati secara rinci ruang lingkup hak tradisional.

Arah Pengaturan di RUU Masyarakat Adat

Dalam sebuah kesempatan, mantan Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie pernah berpendapat seputar original intent. Menurutnya membaca original intent hanya merupakan salah satu cara memahami konstitusi. Penafsiran kontekstual (sesuai konteks) adalah contoh metode lainnya. Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 juga menyatakan penafsir undang-undang dasar tidak boleh semata-mata terpaku kepada metode penafsiran “originalisme” dengan mendasarkan diri hanya kepada “original intent” perumusan pasal UUD 1945, terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi undang-undang dasar itu sendiri secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan.

Dalam situasi itu, penelitian Perkumpulan HuMa Indonesia pada 2024 memetakan terdapat setidaknya 12 (dua belas) hak Masyarakat Adat dalam pelbagai undang-undang. Selain itu terdapat 4 (empat) hak yang diatur dalam 3 (tiga) perjanjian internasional yang mengikat Indonesia. Selain itu, 2 (dua) perjanjian internasional yang belum mengikat Indonesia, yang memberikan perlindungan terhadap hak masyarakat adat.

Penulis berpendapat bahwa original intent dari frasa hak-hak tradisional dapat menjadi salah satu rujukan untuk merumuskan hak-hak masyarakat adat dalam RUU Masyarakat Adat. Terlebih, dari risalah-risalah rapat di atas, frasa hak-hak tradisional memang dirancang untuk fleksibel. Penulis juga berpendapat, pelbagai norma yang sudah berlaku dan situasi-situsi yang dihadapi oleh Masyarakat Adat menjadi rujukan lainnya.

Oleh : Erwin Dwi Kristianto

Publikasi dapat diunduh pada tautan dibawah ini:

MEMAHAMI HAK-HAK TRADISIONAL DI PASAL 18B AYAT 2 UUD 1945
Published: Maret 24, 2025

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top