Tradisi Masyarakat
Kalimat ibu Kepala Desa Lorang yang menjadi pembuka tulisan ini sangat menggambarkan betapa masyarakat Lorang rela bersusah payah memikul air, demi kelestarian mata air. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang tinggal membuka keran untuk mendapatkan air, masyarakat di sini hampir setiap hari memikul 10-20 ember berukuran besar untuk mengisi tong-tong air di rumah.
Melihat warga memikul air, terlintas sebuah pertanyaan “Menapa masyarakat tidak membuat sumur?” Jawab masyarakat yaitu mereka meyakini bahwa keberadaan sumur-sumur gali dapat mengganggu keseimbangan mata air Lorang. Dibanding membuat sumur, desa yang belum tersentuh listrik ini lebih ingin membuat instalasi air bersih melalui pipa-pipa yang disalurkan ke seluruh rumah warga. Sayangnya, bantuan yang sempat dijanjikan oleh Pemda tersebut belum terealisasi.
Untuk menghemat tenaga, sebagian besar masyarakat mandi dan mencuci di dekat mata air tersebut. Keceriaan, canda, tawa, dan celoteh masyarakat bercampur baur saat kegiatan mandi dan cuci. Mata air ini tidak hanya sebagai penyedia air bersih namun juga sebagai wadah bagi masyarakat untuk saling berinteraksi dan membangun kebersamaan. Interaksi tersebut melahirkan kesadaran masyarakat untuk menjaga keberadaan mata air. Hal ini menimbulkan persepsi masyarakat bahwa hutan bukan hanya sebagai penyedia daging dan sagu tetapi juga sebagai prajurit yang menjaga mata air agar tetap mengalirkan airnya.