Jakarta, 5 Februari 2024 – Tiga calon wakil presiden untuk Pemilihan Presiden 2024 – 2029 telah menyampaikan ide dan gagasan mereka dalam debat keempat yang berlangsung pada Minggu, 21 Januari 2024, di Jakarta Convention Centre (JCC) Senayan Jakarta.
FWI menangkap momen menarik pada saat debat berlangsung, paslon nomor urut 03, Mahfud MD, diberikan pertanyaan mengenai korupsi pertambangan dan perikanan ilegal serta pembalakan liar yang masih marak terjadi sehingga menyebabkan kerusakan ekologis di darat maupun laut juga ketidakadilan sosial.
Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 03 itu menekankan pentingnya keterbukaan data terkait Sumber Daya Alam dan Agraria.
Mahfud MD dalam debat menyampaikan bahwa persoalan penyelesaian SDA dan Energi, harus menyeluruh dari hulu ke hilir, contohnya dengan keterbukaan informasi agraria termasuk kehutanan. Saya memiliki pengalaman dalam persidangan pada persoalan ini dan informasinya selalu tertutup, ujar Mahfud.
Keterbukaan informasi pada dasarnya adalah sebuah pintu masuk bagi proses check & balance, sebagai wujud konkrit partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintahan.
Menanggapi persoalan ini, FWI mencatat masa-masa kritis nasib hutan Indonesia akibat dari ketidakterbukaan informasi di sektor sumber daya alam yang jauh dari keterbukaan. FWI (2023) mencatat deforestasi terjadi pada tahun 2017-2021 dengan rata-rata 2,54 juta Ha/tahun atau setara dengan 6 kali luas lapangan sepakbola per menit. Hal tersebut telah menggiring Indonesia pada jurang krisis iklim.
Buntunya Sengketa Informasi HGU
Kehancuran signifikan sumber daya hutan Indonesia mulai terjadi di awal tahun 1970-an, saat dimana penebangan hutan secara komersial mulai dibuka secara besar-besaran dan laju deforestasi telah mencapai 1 juta ha/tahun (FWI dalam buku Silang Sengkarut, 2017).
Pendekatan pengelolaan hutan dan lahan oleh negara diantaranya melalui pemberian hak atas pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan melalui izin-izin konsesi pada sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Sistem perizinan sektoral tersebut telah berdampak pada terjadinya tumpang tindih perizinan.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) masih menyisakan banyak permasalahan terutama dalam implementasinya. Lima belas tahun pasca diberlakukan, tata kelola sumber daya alam masih diwarnai oleh badan publik yang enggan menerapkan prinsip keterbukaan bahkan secara terang-terangan menolak menjalankan putusan hukum inkracht. Kementerian ATR/BPN satu-satunya badan publik yang paling banyak digugat oleh masyarakat terkait penguasaannya terhadap dokumen Hak Guna Usaha (HGU).
Per Januari 2024, sudah lebih dari 8 tahun, sengketa informasi keterbukaan Informasi HGU antara Kementerian ATR/BPN vs. FWI menemui jalan buntu. Kementerian ATR/BPN menutup informasi HGU tanpa berdasarkan hukum dengan dalih HGU merupakan data yang dikecualikan. Padahal di dalam UU KIP pengecualiaan data harus melalui proses uji konsekuensi yang secara prosedural sudah dijelaskan dengan gamblang. Hanya saja Kementerian ATR/BPN tetap tidak mau patuh terhadap ketentuan di dalam UU KIP.
Agung Ady Setyawan Pengkampanye Hutan FWI menjelaskan sengketa informasi antara FWI vs. Kementerian ATR/BPN merupakan cerminan kinerja keterbukaan informasi publik di Indonesia. Dan respon badan publik dalam hal ini Kementerian ATR/BPN yang mangkir 4 kali dari 13 kali proses persidangan dan 2 kali mangkir proses mediasi merupakan potret ketidakpatuhan badan publik di Indonesia terhadap hukum undang-undang. Bahkan Kementerian ATR/BPN menolak menjalankan rekomendasi Ombudsman RI terhadap keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
Kesimpulan
Indonesia masih jauh dari prinsip keterbukaan dalam pengelolaan hutan dan lahan. Meskipun dalam debat Pemilihan Presiden 2024, calon wakil presiden Mahfud MD saat itu selaku Menko Polhukam menekankan pentingnya transparansi informasi terkait Sumber Daya Alam (SDA) dan Agraria, kenyataannya masih terdapat badan publik yang enggan patuh terhadap hukum UU KIP, sehingga publik merasa sulit untuk melakukan pengawasan, check and balance terhadap kinerja badan publik.
Anggi Putra Prayoga selaku Manajer Kampanye, Intervensi Kebijakan dan Media FWI menilai pemberian izin industri ekstraktif sumber daya alam di Indonesia dilakukan secara sektoral yang menciptakan kerusakan lingkungan dan perizinan yang saling tumpang tindih. FWI mencatat (2023) bahwa total konsesi perizinan di Indonesia yang mengalami tumpang tindih sebesar 5,78 juta hektare yang terdiri atas konsesi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan kehutanan. Tanpa adanya semangat transparansi pada setiap badan publik maka prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sulit diwujudkan dan hanya memunculkan sentimen negatif publik terhadap kinerja badan publik.
Transparansi informasi Hak Guna Usaha (HGU) di Kementerian ATR/BPN adalah salah satu kunci tata kelola yang baik di pemerintahan selanjutnya. Adanya kepatuhan terhadap hukum pada badan publik dipercaya dapat mengurai berbagai permasalahan konflik agraria, perlindungan hutan dan sumber daya alam, kepastian hukum investasi dan perizinan, serta keberlanjutan usaha, tutup Anggi.
Media Forest Watch Indonesia (0857-2034-6154)