- Penderitaan hidup masyarakat adat dampak kehadiran industri nikel dari tambang sampai kawasan industrinya di Halmahera, Maluku Utara, berelasi kuat dengan praktik-praktik koruptif dalam prosesnya.
- Dari beragam aksi korup ini, masyarakat dan alamlah yang menanggung dengan bencana eksosistem karena kerusakan alam, kemiskinan atau pemiskinan pedesaan, penghancuran sosial-budaya dan gender serta ancaman etnogesnosida masyarakat adat.
- Dari riset di Maluku Utara ini menunjukkan, terjadi beragam praktik korupsi mulai dari dalam registrasi dan sertifikasi tanah, klientelisme/patronase, arus keuangan gelap (illicit financial flow (IFF), revolving door (praktik keluar-masuk pintu), konflik kepentingan (conflict of interest), sampai politically-exposed persons (PEPs).
- Transparansi International Indonesia (TII) lakukan penelitian untuk membongkar ragam praktik korup rezim keruk tambang nikel dan dampak-dampak multidimensi bagi rakyat di sekitar.
Penderitaan hidup masyarakat adat dampak kehadiran industri nikel dari tambang sampai kawasan industrinya di Halmahera, Maluku Utara, berelasi kuat dengan praktik-praktik koruptif dalam prosesnya. Bagaimana ceritanya?
Hari itu, Maratana, perempuan adat Tobelo Dalam sedang duduk di tapalang (rumah kecil panggung) berukuran satu kali satu meter. Tapalang tempat Maratana tinggal berdekatan dengan Leani Supukie. Leani bikin tapalang bersama suaminya berdekatan dengan rumah mereka. Leani, perempuan adat di Desa Saolat, Kecamatan Wasile Selatan, Halmahera Timur.
Maratana merasa berutang budi dengan Leani yang berbaik hati memberikan tempat tinggal. Leani juga merawat Maratana. Selain keperluan pakaian dan makanan, Maratana juga dirawat seperti orang tua mereka. Usia sudah sekitar 80-an tahun hingga sering sakit-sakitan. Maratana cerita kondisi hutan komunitasnya dalam beberapa pepatah tua O Hongana Manyawa atau Orang Tobelo Dalam.
“Tempat dan hutan yang mereka diami, mereka adalah pemiliknya. Dimana, disana ada bekas rumah dan tanaman.”
“Saya punya, saya pemiliknya. Coba perhatikan saja kalau bukan saya yang tanam. Di sana ada bekas tempat rumah saya. Saya tidak izinkan mereka mengambilnya,” katanya dalam Bahasa Tobelo, yang diterjemahkan Leani.
Nama Maratana, nama asal dari hutan yang berarti tanah merah. Dia kerap disapa Meme Hairani oleh Masyarakat Tobelo Dalam yang tinggal di pesisir Halmahera. Meme diungsikan karena rumah tempat dia bersama komunitasnya di Tofublewen atau Maleo Ma bohuku tergusur pertambangan nikel. Tanaman pun tergusur hingga Meme tak ada sumber pangan hingga sempat kelaparan. Komunitasnya termasuk sang suami mencari tempat baru duluan karena hutan sudah habis. Hairani terpaksa tinggal karena kondisi tubuh lemah.
“Dia jelaskan, mereka (perusahaan) sudah sentuh hutannya. Wilayah itu sudah tercemar. Obat-obat yang di situ kalau sudah disentuh tidak lagi bisa diambil karena pamali.”
Meme, kata Leani, biasa gunakan akar-akar pohon untuk obat. Sekarang, tidak bisa lagi karena sudah rusak dan tercemar karena orang luar menginjakkan kaki di situ. Meme ditemukan warga ketika datangi bekas hutan Tofubewen. Di sana, Meme terbaring lemas. Dia juga kelaparan karena hutan sebagai sumber pangan sudah hilang. Warga menyelamatkan meme. Kini, Maratana hidup tergantung belas kasih warga.
Kehilangan ruang hidup juga menimpa masyarakat adat lain di Halmahera. Seperti di Weda, Halmahera Tengah, izin kawasan industri dari tambang nikel sampai pabrik pengolahan menyebabkan Masyarakat Adat Sawai kehilangan ruang hidup mereka. Setidaknya ada empat Komunitas Adat Sawai berada dalam konsesi PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yakni, Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai dan Gemaf, dan Desa Sagea.
Berbagai konflik lahan antara lahan terus terjadi, antara masyarakat dengan perusahaan yang dibekap aparat keamanan. Masyarakat adat bahkan tak dapat berbuat banyak, seperti dialami Librek, warga Desa Gemaf yang protes perusahaan. Perusahaan menggusur lahannya tanpa pembayaran.
“Tanpa melalui saya, dorang udah masuk gusur. Berarti itu penyerobotan dan pencurian. Sampai sekarang ini belum ada pembayaran,” kata Librek. Dia cerita beberapa kali protes perusahaan namun terabaikan, padahal mereka berjanji membayar lahan yang tergusur. “Perusahaan cuman janji janji saja, bilang nanti bayar nanti bayar sampai sekarang. Jadi, kalau boleh saya tu minta keadilan,” katanya.
Mama Mariama, warga Sagea, mengeluh perusahaan tambang di Weda membawa malapetaka dan kesengsaraan bagi petani. Berbagai tanaman pangan seperti sagu dan umbi-umbian terancam hilang karena lahan tergusur perusahaan tambang. Hutan yang sebelumnya jadi tempat mereka berlindung, sudah hilang, tergusur kala hujan datang, kebun banjir dan longsor.
“Dulu, belum ada perusahaan tidak begitu, sekarang, torang pigi torang Lia ke bawa itu kaya pecel begitu,” katanya. Mariama bilang, pengerukan tambang nikel juga memicu bencana banjir dan longsor. Material longsor, katanya, terbawa sampai sungai hingga air yang biasa mereka konsumsi tidak bisa lagi karena keruh. “Bagi masyarakat itu penting, kalau masyarakat lain minum air galon, dorang minum air ini. Sekarang, mereka mau minum juga dorang takut.” Warga protes perusahaan dan Pemerintah Halmahera Tengah. Air sungai yang jernih berubah jadi merah kecoklatan dan tak bisa untuk konsumsi lagi.
“Kami mencatat setidaknya empat kali terjadi, 4-15 Juli 2023, 28-29 Juli 2023, 1-4 Agustus 2023, dan 14-16 Agustus 2023,” kata Aziz Fardhani Jaya, peneliti Forest Watch Indonesia sekaligus anggota Indonesia Speleological Society (ISS).
FWI menelusuri pencemaran ini dengan membuat analisa melalui citra satelit. Dalam analisa itu mengindetifikasikan sumber (inlet) sungai bawah tanah ke gua Bokimoruru, pada citra kita akan melihat dua aliran sungai yang masuk dan hilang ke daerah karst di sekitar Bokimoruru yaitu, aliran Sungai Ake Sagea ke Gua Legaelol dan Sungai Sepo. Kedua sungai ini merupakan sungai permukaan di daerah non-karst.
Selain kedua perusahaan nikel tersebut, warga juga resah operasi PT First Pacific Mining di sekitar hutan Desa Sagea. Telaga Legalelol yang jernih dan bersih mulai terancam. Konsesi perusahaan dekat dengan perkampungan. Kalau eksploitasi tidak setop, bukan hanya kebun dan lahan warga rusak, Sungai Sageyan, Danau Legaelol dan Gua Boki Maruru di Desa Sagea dan Kiya, ikut terancam.
Manajemen IWIP mengklaim kalau IWIP dan seluruh tenan selalu taat seluruh aturan dan memiliki perizinan atas semua operasional mereka. Manajemen IWIP secara tertulis Februari lalu kepada Mongabay mengatakan, perusahaan memiliki mekanisme pencegahan dan monitoring rutin yang dipercaya bisa menekan dampak ke lingkungan.
Manajemen perusahaan ini mengklaim, dalam melaksanakan kegiatan, IWIP mengacu pada persetujuan analisis dampak lingkungan yang disetujui kementerian terkait. Sebagai pengelola kawasan industri, katanya, IWIP juga telah mengelola lingkungan dan pemantauan rutin setiap enam bulan pada aspek geofisik dan kimia dengan lebih 200 titik lokasi pemantauan. Hal ini, katanya, untuk memastikan setiap kegiatan IWIP dapat memenuhi baku mutu lingkungan yang ditetapkan pemerintah.
Kesengsaraan warga dan alam berelasi dengan korupsi
Kesusahan masyarakat adat yang kehilangan hutan, maupun kekhawatiran mereka kehilangan sumber air di Halmahera berelasi dengan dugaan korupsi yang terjadi dari level paling bawah sampai ke atas. Transparansi International Indonesia (TII) lakukan penelitian untuk membongkar ragam praktik korup rezim keruk tambang nikel dan dampak-dampak multidimensi bagi rakyat di sekitar.
“Riset ini, secara metodologis berusaha mengkombinasikan tradisi studi akademik dengan model investigasi jurnalistik, dengan metode kualitatif,” kata Eko Cahyono, tim peneliti juga sosiolog pedesaan dari IPB University.
Dari riset ini menunjukkan, penguatan atas beragam analisa dan riset sebelumnya tentang oligarki sumberdaya alam yang memuluskan praktik tambang nikel di Indonesia. Dia mengatakan, riset ini mengelompokkan dan menganalisis ulang perselingkungan elit politik penguasa dan oligarki nikel nasional ke lima lingkaran, yakni, lingkaran istana, para menteri, para jenderal sampai wakil presiden, konglomerat dan politisi, dan lingkaran pejabat daerah.
Dalam konteks Maluku Utara, katanya, dari riset ini menunjukkan, terjadi beragam praktik korupsi mulai dari dalam registrasi dan sertifikasi tanah, klientelisme/patronase, arus keuangan gelap (illicit financial flow (IFF), revolving door (praktik keluar-masuk pintu), konflik kepentingan (conflict of interest), sampai politically-exposed persons (PEPs).
Dari riset ini juga memperlihatkan temuan khusus dari desa-desa sekitar tambang di Halteng terjadi praktik tambang nikel yang menyebabkan, neo-kolonialisme di desa-desa sekitar tambang, perusakan ruang hidup rakyat dan masyarakat adat. Terjadi juga perampasan tanah rakyat, juga bencana dan konflik sosial- budaya.
Eko mengatakan, temuan lain soal praktik-praktik korupsi di tingkat tapak di desa-desa sekitar tambang nikel di Halteng ada empat bentuk, pertama, praktik koruptif dengan modus penggelapan kepemilikan izin perusahaan tambang nikel. Kedua, praktik koruptif bermodus manipulasi blangko kosong ganti rugi. Ketiga, praktik koruptif modus revolving door corruption dan abuse of power. Keempat, konflik kepentingan. Tak jauh beda kondisi di Haltim. Dari perampasan tanah dan penggusuran masyarakat adat maupun lokal, perusakan ekosistem dan konflik agraria. Juga, politik kapling mafia tanah.
“Ada aktor lokal, ada dikenal dengan ‘penjelajah hutan’. Ini masuk hutan untuk memastikan lahan yang akan dikapling,” katanya, saat rilis laporan di Jakarta, Februari lalu.
Kemudian, sang ‘penjelajah hutan’ mencari dukungan orang luar desa untuk dana dan bakcing politik.”Biasa buat beli cat—menandai pohon–, dan hidup di dalam hutan. Tergantung luasan yang akan dikapling,” ucap Eko. Singkat cerita, nanti mereka mencari legitimasi legal untuk membuat surat keterangan tanah abal-abal dari desa. “Lalu, lakukan negosiasi jumlah tebusan ke perusahaan dan para aktor pesta bagi-bagi uang.”
Dari beragam aksi korup ini, masyarakat dan alamlah yang menanggung dengan bencana eksosistem karena kerusakan alam, kemiskinan atau pemiskinan pedesaan, penghancuran sosial-budaya dan gender serta ancaman etnogesnosida masyarakat adat. Etnogenosida masyarakat adat, satu contoh dari Orang Tobelo Dalam yang kehilangan ruang hidup. Meme Hairani, misal, kehilangan hutan, kehilangan sumber kehidupan dari pangan, obat-obatan sampai tradisi.
Eko bilang, salah satu faktor kunci praktik korupsi subur dalam pertambangan nikel di Maluku Utara, adalah karena penyaderaan dan perusakan pilar dasar demokrasi. Hal ini dilakukan, katanya, dengan dua langkah serius, pertama, panaklukan kaum akademisi dan otoritas universitas di daerah maupun, kedua, pembungkaman masyarakat sipil dan jurnalisme kritis.
Sumber tulisan ini berasal dari Mongabay.co.id