Peningkatan ekspor wood pellet dari Indonesia telah menjadi sorotan dalam beberapa bulan terakhir, terutama pasca penangkapan kapal asing MV Lakas oleh Badan Keamanan Laut RI (Bakamla RI) pada tanggal 16 Agustus 2024 yang memuat wood pellet dari Gorontalo. Produksi wood pellet telah menyebabkan deforestasi, degradasi lahan, dan pelepasan emisi karbon yang tinggi. Keberadaan industri wood pellet berpotensi mendorong ketidakadilan sosial. Dominasi korporasi besar dalam industri wood pellet semakin memperparah situasi dengan hanya mengejar keuntungan ekonomi daripada memperhatikan dampak lingkungan dan sosial.
Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Biomassa Trend Asia, mengatakan permintaan global terhadap wood pallet semakin meningkat. Pada tahun 2017, permintaan mencapai 14 juta ton. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia, termasuk di Uni Eropa (EU), Korea Selatan, dan Jepang. EU, misalnya, mengategorikan biomassa sebagai sumber energi terbarukan dalam energy directive mereka. Sementara itu, Korea Selatan dan Jepang memberikan subsidi bagi penggunaan biomassa dalam energi mereka.
Dari perspektif produksi, negara-negara seperti Inggris, khususnya dengan pembangkit biomassa DREX, memanfaatkan wood pallet secara signifikan. DREX bahkan menjajaki kemungkinan kerjasama dengan Indonesia untuk mengembangkan wood pallet sebagai sumber bioenergi. Permintaan terbesar saat ini berasal dari Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa, terutama terkait dengan regulasi seperti EU Deforestation Regulation (EUDR) yang mengatur komoditas biomassa.
Kolonialisme Iklim Lewat Ekspor Wood Pellet
Indonesia baru saja merilis peraturan pemerintah yang mendorong pengembangan biomassa sebagai sumber energi terbarukan hingga tahun 2040, diharapkan dapat meningkatkan produksi biomassa lebih besar daripada sumber energi terbarukan lainnya. Diproyeksikan permintaan biomassa, termasuk wood pallet, akan meningkat, dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen utama biomassa.
Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks untuk Indonesia, walaupun wood pallet mirip dengan batubara dalam hal transportasi dan distribusi, emisi yang dihasilkan dari pembakaran biomassa masih perlu dicermati. Kasus DREX di Inggris menunjukkan bahwa meskipun biomassa dianggap sebagai energi bersih, praktik operasionalnya dapat menyebabkan deforestasi dan emisi yang signifikan.
Amalya memberikan contoh permasalahan dari Enviva, produsen biomassa terbesar di AS yang mengalami kebangkrutan meski mendapat subsidi. Mereka awalnya mengklaim menggunakan limbah untuk produksi wood pallet, tetapi sebenarnya banyak menggunakan kayu dari hutan alam. Hal ini menciptakan risiko yang sama bagi Indonesia jika tidak hati-hati dalam pengelolaan sumber daya alamnya.
Pemanfaatan biomassa di pembangkit listrik yang kemudian diklaim sebagai pemanfaatan sumber energi dari limbah, padahal pada kenyataannya menggunakan bahan baku kayu dari hutan alam, jelas ada perbedaan hitungan pada biaya operasionalnya. Hal ini berpengaruh terhadap harga yang ditawarkan. Di Indonesia, harga pembelian kayu dari PLN berkisar antara 450 ribu hingga 600 ribu rupiah per tahun. Sementara itu, di luar negeri, terutama di Korea Selatan, harga bisa mencapai tiga kali lipat. Hal ini mengkhawatirkan, karena Indonesia berisiko jatuh ke dalam kesalahan yang sama seperti yang dialami di Inggris dan Amerika Serikat.
Perkembangan bioenergi global menunjukkan bahwa bukan hanya Indonesia yang mengembangkan bioenergi, seluruh dunia juga aktif dalam pengembangan ini. Bioenergi menyuplai 55% energi terbarukan dunia dan menyumbang 6% dari total suplai energi global. Bioenergi mendominasi karena sumbernya bukan hanya biomassa, tetapi juga biofuel. Misalnya, peraturan terkait bioetanol yang melibatkan 2 juta hektare di Merauke juga termasuk dalam kategori bioenergi. Ini adalah hal yang perlu dicermati seksama, terutama ketika sumber energi terbarukan yang dikembangkan berasal dari industri yang rakus lahan. Dampak yang dihasilkan tidak hanya terbatas pada deforestasi, tetapi juga berkaitan dengan pengusiran masyarakat.
Data Trend Asia mengungkapkan pengimpor terbesar biomassa dari tahun 2012 hingga 2022 adalah Polandia, Korea Selatan, dan Italia. Indonesia menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu tujuan ekspor karena kebutuhan mereka yang tinggi, meskipun pengimpor terbesar wood pallet ke Korea Selatan adalah Vietnam. Data ekspor juga mengungkapkan Ukraina muncul sebagai pengekspor terbesar wood pallet, diikuti oleh Rusia dan Vietnam, dengan Indonesia menempati posisi ketujuh.
Amalya menekankan kemungkinan dalam beberapa tahun ke depan, kita akan melihat peningkatan posisi Indonesia di pasar ekspor ini. Sebagai contoh, terdapat 31 HTI yang berkomitmen untuk multi-usaha dengan HTE, menyediakan 200 ribu hektare lahan untuk produksi wood pallet. Seiring waktu, jumlah ini meningkat menjadi 43 HTE, dimana perusahaan-perusahaan yang terlibat sebelumnya berbisnis di sektor tambang.
Bahkan, ekspor wood pellet dari Indonesia terus meningkat, didorong oleh visi presiden terpilih untuk menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia. Namun, perlu diingat dampak yang terjadi di Merauke dan wilayah lain, dimana masyarakat lokal sering kali terpinggirkan oleh proyek-proyek besar ini.
Penting untuk memastikan bahwa saat kawasan hutan dimanfaatkan, kesejahteraan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Namun, realitas yang kita hadapi adalah bahwa kebijakan seringkali lebih menguntungkan korporasi daripada masyarakat. Ada tantangan besar untuk mengembangkan energi terbarukan yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga adil bagi masyarakat. Dalam konteks ini, keadilan prosedural, distributif, rekognitif, dan korektif menjadi bagian integral dari setiap kebijakan yang diambil.
Catatan ini bersumber dari diskusi Roundtable CSO dan Media yang diselenggarakan atas kerjasama FWI dan AJI Jakarta pada tanggal 26 September 2024 di Jakarta.
Narahubung: Media FWI (0857-2034-6154)