Sengketa informasi antara Forest Watch Indonesia (FWI) dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berlanjut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Kali ini KLHK menjadi pihak penggugat karena keberatan atas putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 8 Mei 2015 lalu yang memenangkan FWI (baca: https://fwi.or.id/waktunya-mengeksekusi/).
Dalam objek keberatannya, KLHK mempersoalkan muatan yang dikecualikan dalam dokumen-dokumen yang sudah diputus terbuka oleh KIP. Mereka mempersoalkan muatan yang dikecualikan dalam dokumen Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK), seharusnya dikecualikan juga dalam dokumen lainnya. Tak hanya itu, mereka juga menambahkan beberapa bab lain serta peta-peta yang menjadi satu kesatuan dokumen untuk dikecualikan. Bagi FWI, argumentasi keberatan tersebut bertentangan dengan tiga unsur yang seharusnya dipenuhi dalam pengecualian informasi berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Setidaknya ada tiga hal dimana KLHK tidak memahami secara utuh soal asas utama dalam mengecualikan informasi “maximum access, limited exemptions”. Pertama, argumentasi yang disusun KLHK terlalu banyak menggunakan landasan hukum yang bersifat sektoral dan tidak melihat kepada isu sebenarnya terkait keterbukaan informasi publik.
Kedua, argumentasi yang dibangun sejak sengketa di KIP hanya mengedepankan satu unsur yaitu keselarasan dengan UU sektoral, seperti UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Rahasia Dagang, UU Intelejen Negara, dll.
Ketiga, KLHK meletakkan konteks pengecualian informasi sebagai bagian dari monopoli informasi. Kepentingan yang hanya diperhatikan adalah kepentingan korporasi. Hal ini terlihat jelas dalam argumentasi yang dibangun diatas kerangka persaingan usaha tidak sehat dan pengungkapan kekayaan alam Indonesia. Namun kepentingan publik untuk mendapatkan sebuah pertanggung-gugatan melalui penyelenggaraan kehutanan yang transparan sama sekali tidak dijadikan pertimbangan.
Sidang sengketa informasi pada 5 Agustus 2015 merupakan sidang kedua yang digelar oleh PTUN Jakarta. Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan ahli yang dibawa KLHK. Bapak Gusti Ardyansyah, Dekan Fakultas Kehutanan Univ Tanjung Pura memaparkan keahliannya soal politik kebijakan kehutanan. Menariknya, 50 persen apa yang dipaparkan ahli menerangkan bahwa sengketa terjadi karena belum adanya mekanisme pelayanan informasi yang jelas di KLHK. Sehingga revisi Permenhut terkait keterbukaan informasi menjadi wajib.
Sidang yang berlangsung selama dua jam akhirnya ditunda hingga 26 Agustus 2015 dengan agenda mendengarkan putusan PTUN Jakarta. Diakhir penutupan sidang, hakim menyampaikan pendapatnya bahwa sidang sengaja ditunda hingga tiga minggu kedepan karena berharap selama rentang waktu tersebut KLHK dan FWI bisa bermediasi dan mencabut banding. Karena menurut hakim apa yang menjadi konsern KLHK sama halnya dengan FWI, yaitu ingin mendorong pengelolaan hutan yang lestari.
1 Comments