Sesuai perannya sebagai sekretariat Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), pada tanggal 6 September 2012 lalu FWI menyelenggarakan sebuah diskusi terfokus (focus group discussion) seputar aktivitas pemantauan pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia. Acara ini diselenggarakan di Hotel Mirah, Bogor dan diikuti oleh 29 peserta yang merupakan perwakilan dari Kementerian Kehutanan, Komite Akreditasi Nasional, lembaga verifikasi, lembaga penilai, dan beberapa focal point JPIK dari wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Papua.
Acara ini menjadi penting bagi JPIK, karena jaringan masyarakat sipil ini berperan aktif sebagai “pemantau independen” dalam pelaksanaan SVLK. Keberadaannya dapat dianggap menjadi kunci untuk memastikan kredibilitas SVLK, terutama dalam memantau proses penilaian, hasil penilaian serta aktivitas perusahaan kehutanan di lapangan.
Diskusi terfokus ini mengungkap beberapa hal yang berperan penting dalam upaya menyempurnakan pelaksanaan SVLK di Indonesia. Salah satu hal yang mengemukan adalah soal ”keterbukaan informasi”. Terbatasnya informasi yang terkait dengan kehutanan selama ini selalu menjadi ganjalan dalam upaya perbaikan tata kelola kehutanan di negara kita. Para pihak yang berkompeten seperti jajaran Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan di daerah pada umumnya enggan membuka dan memberikan informasi kepada publik. Hal ini juga diisyaratkan oleh perwakilan dari Kementerian Kehutanan yang hadir dalam diskusi terfokus tersebut. Sebagian besar pejabat publik di Kehutanan masih menganggap bahwa semua data dan informasi kehutanan bukanlah data publik. Pemahaman yang masih rendah terhadap mandat dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) disinyalir menjadi penyebabnya. Padahal undang-undang tersebut telah berlaku sejak diterbitkannya pada tahun 2008.
Membuka informasi ini ternyata juga enggan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di sektor kehutanan. Keengganan ini kemudian berdampak pada tertutupnya informasi dari pihak lembaga verifikasi dan lembaga penilai.
Tentu saja kondisi ini sangat memprihatinkan bagi upaya pelestarian hutan di Indonesia. Bagaimana mungkin aktivitas penebangan hutan dapat diawasi dengan baik jika data dan informasi penting yang terkait dengan aktivitas usaha kehutanan tak dapat diakses oleh publik.
Para anggota JPIK juga mengungkapkan perihal lambannya respon, terutama dari pihak lembaga verifikasi dan penilai ketika disampaikan keluhan. Keluhan yang disampaikan adalah keluhan seputar pelaksanaan hasil penilaian SVLK maupun pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Jika penanganan keluhan ini lamban, tentunya akan berdampak negatif pada kredibilitas SVLK itu sendiri sebagai sebuah sistem.
Dua rekomendasi yang mengemuka dalam diskusi ini adalah:
- JPIK diharapkan memberikan masukan untuk perbaikan sistem keterbukaan informasi di Kementerian Kehutanan.
- Lembaga verifikasi dan penilai diminta untuk lebih memahami mekanisme penanganan keluhan, sebagaimana yang telah diatur dalam aturan SVLK.