INTIP HUTAN “Cogito Ergo Sum” [Maret 2017]

KIRIM KARYAMU!

Kami mengundang kawan-kawan untuk ikut berkarya dalam majalah Intip Hutan Edisi Maret 2017. Intip Hutan adalah majalah tiga bulanan Forest Watch Indonesia. Kami percaya, karya adalah proses menuangkan pikiran. Dan ketika kita berpikir, berarti kita ada (Cogito ergo sum-Decartes). Buktikan kalau kalian eksis!

KETENTUAN

  • Karya belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun (cetak atau digital).
  • Tema Tulisan untuk INTIP HUTAN Maret : Tanah Untuk Hutan
  • Karya tetap menjadi hak milik kontributor.
  • Kontributor yang karyanya dimuat di Majalah Intip Hutan akan mendapat pemberitahuan dari redaksi.
  • Karya kontributor yang dimuat akan mendapatkan merchandise menarik dan akan dikirim bersama dengan majalah Intip Hutan edisi Maret 2017
  • Kontributor yang karyanya sudah dimuat di Majalah Intip Hutan, boleh menerbitkan ulang karyanya di tempat atau media lain, minimal 1 bulan setelah penerbitan majalah Intip Hutan.
  • Format penulisan naskah Times New Roman, 1.5 spasi, (margin 4 atas, 3 bawah, 4 kiri, 3 kanan).
  • Panjang naskah Opini & Cerita Perjalanan minimal 2 halaman dan maksimal 4 halaman. Khusus naskah cerita, disertai minimal 1 foto.
  • Panjang naskah Resensi Buku, Ulas Film dan karya Komik cukup 1 halaman.
  • Foto dapat diambil dengan kamera SLR, DSLR, mirrorless atau smartphone dalam format jpeg dan 300 dpi, disertai 2 kalimat penjelasan foto.
  • Redaksi berhak menyunting karya tulisan dari kontributor.
  • Tulisan dikirim ke email: amalyareza@fwi.or.id dengan subjek sesuai dengan jenis naskah (OPINI/CERITA/RESENSI BUKU/ULAS FILM/KOMIK/FOTO).
  • Sertakan data diri; nama, alamat lengkap (untuk pengiriman merchandise), akun media sosial, foto pribadi, dan keterangan lain yang dirasa perlu (data diri diletakkan di halaman terakhir karyamu). Badan email biarkan kosong.
  • Karya ditunggu paling lambat 20 Februari 2017

 

PENGANTAR

Bagi negara-negara agraris, masalah tanah pada hakikatnya adalah masalah fundamental. Sepanjang sejarah, sejak manusia berburu di hutan atau mengumpulkan hasil hutan, kemudian bertani mengembara sampai kepada bercocok tanam secara menetap, penguasaan dan pemanfaatan tanah seringkali menimbulkan sengketa. Kalau kita melihat kembali pada sejarah, maka tampak bahwa sengketa-sengketa itu terjadi karena tanah-tanah yang subur semakin dikuasai oleh segolongan kecil pemilik-pemilik tanah yang biasanya memiliki kekuatan politik, atau kaum ‘raja uang’ yang merampas tanah-tanah petani bagi pengembangan industrinya. (Gunawan Wiradi dalam Reforma Agraria)

Indonesia, sebagai negara agraris, bagi masyarakatnya, tanah adalah hak untuk hidup. Pada tatanan masyarakat kota, dengan luas tanah kosong yang makin lama makin berkurang, setiap orang tetap bermimpi memiliki rumah sendiri di tengah kepadatan kota tersebut. Atau kita pasti pernah menemui satu atau dua teman kita, punya atau setidaknya bermimpi memiliki halaman di rumahnya, untuk dibuat kebun. Sementara di kehidupan masyarakat adat atau masyarakat pedesaan, tanah menjadi sumber penghidupan. Dari tanah mereka memiliki tempat tinggal, mewariskan hartanya, bertani, berkebun, menggembalakan ternak, dan masih banyak kegiatan lainnya.

Namun bagi skala industri, tanah adalah tempat mengeruk keuntungan. Tanah yang luas dimiliki satu perusahaan untuk ditanami tanaman tertentu berskala industri. Misal perusahaan HTI atau perkebunan sawit. Dari sini, tanah diperebutkan?memakai sebutan Gunawan Wiradi?antara ‘raja uang’ dan rakyat kecil. Sengketa tanah dimana-mana. Rakyat kecil mulai kehilangan hak atas tanahnya. Tanah menjadi barang langka, bukan lagi sebagai kekayaan alam yang dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Bila tanah bagi manusia saja sudah langka, bagaimana dengan tanah untuk hutan? Ketika izin-izin industri diberikan di tanah-tanah yang di atasnya masih terdapat hutan, hutan terpaksa digusur. Bila hutan menghalangi pembangunan infrastruktur, hutan dibabat. Apabila kebakaran merajalela, hutan hilang dari atas tanah. Hutan, sedikit demi sedikit mulai kehilangan tempatnya di tanah Indonesia. Atau, masih adakah tanah untuk Hutan?

 

Tanya-tanya ke:

Amel (085782419992) atau  amalyareza@fwi.or.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top