International Webinar-Indonesia Journalist Reports
Transisi Energi: Deforestasi, Ekspor Illegal, Hak-Hak Masyarakat Adat, Praktik Culas, dan Gangguan Lingkungan
Transisi energi menjadi upaya prioritas dalam merespons krisis iklim global. Di Indonesia, salah satu strategi pemerintah untuk mengatasi krisis iklim, yakni dengan meningkatkan bauran energi terbarukan dengan memanfaatkan biomassa kayu sebagai bioenergi. Biomassa kayu akan menggantikan hingga 10% batubara di 52 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Ditaksir setidaknya butuh 8 hingga 14 juta ton wood pellet per tahunnya. Kementerian Kehutanan merespon dengan membangun proyek Hutan Tanaman Energi yang telah dibagi ke 31 konsesi di Indonesia dengan total luas 1,3 juta hektare. Sektor kehutanan bakal menjadi bancakan proyek bioenergi kedepan apalagi setelah pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni siap menyediakan tanah seluas 20 juta hektare untuk proyek swasembada pangan, energi, dan air yang berasal dari kawasan hutan negara.
Forest Watch Indonesia (FWI) bekerjasama dengan Mongabay Indonesia dan Jaringan Jurnalis Transisi Energi Watch (TEW) turut mengawal implementasi proyek bioenergi sepanjang tahun 2024 lalu, untuk memastikan transparansi dan partisipasi dalam mewujudkan transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Setidaknya 31 jurnalis yang tersebar di Provinsi Aceh, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Maluku Utara turun ke lapangan untuk melakukan liputan investigasi mengungkap fakta-fakta yang selama ini tidak dilaporkan ke publik.
Di Jambi, PT Hijau Artha Nusa (HAN) melakukan deforestasi hampir 4 ribu hektare tapi hanya menanam 64,5 hektare. Konsesinya dikuasai pembalak liar, kebun sawit, dan tambang ilegal. Kini PT HAN bangkrut dan meninggalkan dampak berupa kerusakan lingkungan serta janji kemitraan yang tak ditepati. Sementara itu, PT Rimba Palma Sejahtera Lestari (RPSL) pelaku industri biomassa di Jambi diduga memakai kayu ilegal dari kawasan konservasi untuk ekspor pelet kayu ke Korea Selatan, tanpa tercatat di sistem resmi. Kedua kasus ini menimbulkan kerugian negara besar dan memperparah deforestasi serta krisis iklim.
Di Aceh, PT Aceh Nusa Indrapuri (ANI) masuk pada daftar pencabutan izin oleh KLHK. Situasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum transisi energi di tapak. Sementara itu, praktik co-firing di PLTU 1&2 Nagan Raya Aceh menimbulkan dampak serius bagi warga. Asap putih kekuningan dan debu mencemari pemukiman. Meski warga telah direlokasi, dampak cofiring menyebabkan anak-anak menderita ISPA, batuk kronis, dan sesak napas. Teknologi penyaring emisi yang diklaim tersedia dinilai tidak efektif.
Di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, Sebanyak 12 perusahaan PBPH-HT akan kelola 505 ribu hektare hutan untuk bioenergi, padahal wilayah ini jadi target pengurangan deforestasi FoLU Net Sink 2030. Di Kalbar PLTBm yang dimiliki PT Rezeki Perkasa Sejahtera Lestari (RPSL) memanfaatkan kayu lokal untuk hasilkan listrik 15 MW, tapi permintaan yang tinggi picu risiko deforestasi dan konflik agraria. Pasokan biomassa untuk PLTU Teluk Balikpapan Kaltim juga terkendala kapasitas mesin, harga beli rendah, dan minimnya dukungan pemerintah daerah. Kebijakan biomassa yang top-down tanpa tata kelola inklusif berisiko timbulkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
Sementara di Gorontalo, dua perusahaan sawit yang izinnya diputihkan justru melakukan deforestasi untuk memenuhi kebutuhan produksi ekspor wood pellet ke Korea dan Jepang. Mereka memanfaatkan celah hukum untuk mendapat surat keputusan hutan hak dari Kementerian Kehutanan. Kedua perusahaan tergabung dalam Biomassa Jaya Abadi Group yang diduga melakukan ekspor ilegal dan merusak areal bernilai konservasi tinggi. Praktik ini merugikan negara, menghilangkan hak masyarakat, dan menunjukkan sisi gelap transisi energi yang justru jadi bentuk baru kolonialisme.
Di Jawa, kebun energi seluas 18.605 hektare milik Perhutani sejak 2020 belum dimanfaatkan PLTU, padahal ditargetkan panen 2022. PLN EPI justru memakai limbah, bukan dari kebun Perhutani. Proyek bioenergi mangkrak karena masalah keekonomian, tak adanya industri pengolahan, dan sistem hasil hutan yang rumit. Sementara itu, di PLTU Pelabuhan Ratu dan Indramayu, praktik curang pembakaran biomassa yang dibasahi menyebabkan polusi dan kerugian negara lebih dari Rp1 miliar per bulan, tapi tetap dibiarkan.
Di Halmahera, Maluku Utara proyek bioenergi dijalankan oleh PT Kirana Cakrawala (KC) yang dilakukan tanpa prinsip PADIATAPA. Diketahui konsesi KC menguasai wilayah Masyarakat Adat O’Hongana Manyawa yang sudah turun temurun tinggal di hutan Halmahera. Dari sejak awal Masyarakat Adat tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan dan penentuan lokasi proyek bioenergi. Masyarakat Adat kini terancam dieksklusi akibat operasionalisasi KC.
Di Pulau Buru, Maluku proyek bioenergi dilakukan oleh PT Inagro Cipta Nusantara (ICN), anak usaha dari PT Perhutani Alam Lestari (PAL) yang berada dalam naungan BUMN. ICN didanai oleh Danareksa untuk menanam tanaman gamal di Pulau Buru. ICN mengantongi izin konsesi seluas 19.000 hektare di wilayah hutan adat tanpa melibatkan warga dalam proses perizinan. Lahan pertanian masyarakat menjadi terancam tergusur. Perempuan adat menjadi kelompok paling terdampak karena hilangnya kebun untuk berladang. Tanpa PADIATAPA masyarakat tidak memahami sepenuhnya konsekuensi proyek. Situasi ini memperlihatkan pemaksaan dan dominasi negara melalui BUMN yang memperbesar konflik agraria dan kekerasan struktural.
Menimbang berbagai temuan tersebut, FWI, Mongabay Indonesia dan TEW menilai bahwa transparansi tata kelola hutan dan lahan adalah kunci dalam menyikapi ketimpangan informasi dan mencegah terulangnya praktik-praktik curang yang merusak hutan atas nama transisi energi. Dalam konteks ini, peran media menjadi sangat penting untuk menyuarakan fakta lapangan dan melaporkan yang selama ini ditutupi untuk mendorong akuntabilitas kebijakan.
Melalui kegiatan International Webinar- Indonesia Journalist Reports, Transisi Energi: Deforestasi, Ekspor Illegal, Hak-Hak Masyarakat Adat, Praktik Culas, dan Gangguan Lingkungan, kami ingin mengajak para jurnalis, masyarakat sipil, praktisi, dan pemangku kepentingan lainnya untuk bersama-sama mendalami dan mengkritisi paradoks transisi energi di Indonesia yang kian kompleks.
Selengkapnya dapat diunduh pada tautan dibawah ini: