Silang Sengkarut atau Buruknya pengelolaan hutan adalah masalah mendasar bagi kehutanan Indonesia. Maka tak heran hutan selalu menjadi korban, setelah secara agresif pemerintah justru memberikan pengelolaan dan pemanfaatan hutan kepada industri-industri berskala besar. Jumlah dan luasan izin-izinnya pun sangat tidak timpang dibandingkan dengan hak pengelolaan hutan dan lahan yang diberikan Pemerintah kepada masyarakat.
Tidak hanya soal ketimpangan penguasaan, persoalan pengelolaan hutan yang buruk juga terlihat dari tumpang tindih antar perizinan dan klaim dengan wilayah kelola masyarakat. Seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi; pulau-pulau yang menyimpan banyak sumber daya hutan pun tidak terlepas dari ke silang-sengkarutan perizinan. Inilah yang terjadi di 8 (delapan) provinsi 3 (tiga) pulau besar tersebut: Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah. Dimana pada 8 provinsi tersebut, rata-rata tutupan hutannya 39 % dari luas daratannya.
Kajian Forest Watch Indonesia (FWI) di 8 Provinsi tersebut, menemukan pada periode 2013-2016, terdapat 8,9 juta hektare areal penggunaan lahan yang tumpang tindih, antara HPH (IUPHHK-HA), HTI (IUPHHK-HT), perkebunan kelapa sawit, dan pertambangan. Seluas 1.5 juta hektare wilayah adat yang tumpang tindih dengan konsesi-konsesi tersebut. Dari segi dampak, di areal tumpang tindih tersebut telah kehilangan 355,9 ribu hektare hutan alam, dan selama rentang 2013-2017 sudah terjadi 1.084 kasus konflik.
Temuan selanjutnya di 8 provinsi, terdapat 1,44 juta hektare wilayah konsesi perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Seluas 8,6 juta hektare konsesi pertambangan yang berada dalam kawasan hutan, dimana sekitar 10 % atau 0,9 juta hektare diantaranya merupakan izin pertambangan yang berada dalam tahapan operasi produksi. Berkaitan dengan syarat bahwa pembangunan pertambangan dalam kawasan hutan harus memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sampai 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan IPPKH untuk pertambangan dalam tahap operasi produksi seluas 0,2 juta hektare. Hal ini menunjukan bahwa luas konsesi tambang yang sudah menjalankan tahapan operasi produksi di dalam kawasan hutan dan sudah memiliki IPPKH hanya mencapai 37 %, sementara sisanya terindikasi beroperasi dengan melanggar aturan kehutanan.
Potret silang sengkarut penggunaan hutan dan lahan merupakan akibat dari tata kelola (governance) yang lemah, dan berdampak pada (1) Meningkatnya laju deforestasi, yaitu menghilangnya luasan hutan alam. Beberapa kasus yang ditampilkan hanyalah sebagian dari banyak contoh lain di nusantara ini yang dengan modus sejenis yang terkait dengan silang-sengkarut/tumpang tindih lahan menjadi penyebab dari deforestasi; (2) Konflik agraria. Semua kasus dalam studi ini menunjukkan bahwa dampak langsung dari silang sengkarut pengelolaan hutan dan lahan adalah konflik berbasis tanah dan sumber daya alam, baik yang bersifat vertikal, horizontal maupun kombinasi keduanya; (3) Dampak-dampak lanjutan lainnya.
Dampak lanjutan dari deforestasi dan konflik akibat silang sengkarut pengelolaan hutan dan lahan tersebut di antaranya adalah beragam krisis sosialekologis pedesaan, kriminalisasi, kekerasan, pelanggaran HAM, marjinalisasi, dan pengusiran paksa masyarakat dari ruang hidupnya sendiri.
Laporan ini disusun untuk menyediakan sumber informasi yang komprehensif tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan serta lahan di 8 (delapan) provinsi studi, yang kemudian diharapkan berguna sebagai sebuah potret rujukan untuk perubahan dan perbaikan pengelolaan hutan dan lahan di masa depan. Secara khusus laporan ini hendak menunjukkan bahwa potret silang sengkarut penggunaan hutan dan lahan merupakan akibat dari tata kelola (governance) yang lemah, dan berdampak pada hilangnya tutupan hutan alam serta meningkatnya konflik tenurial
Untuk mengawal agar upaya penyelesaian tumpang tindih perizinan dapat berjalan, maka keterlibatan dan peran aktif para pihak (stakeholder) harus dapat ditingkatkan. Termasuk bagaimana organisasi masyarakat sipil bisa memainkan peranannya melalui penggalangan aksi bersama dalam melakukan monitoring dan evaluasi atas implementasi rencana aksi; melakukan identifikasi dan profiling terhadap aktor (termasuk faktor) yang menghambat proses pelaksanaan kegiatan aksi; serta melakukan kampanye dan advokasi untuk mempercepatkan pelaksanaan aksi penyelesaian silang sengkarut perizinan sumber daya hutan dan lahan seperti yang telah dirumuskan di atas.
Kami mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca untuk menyempurnakan kajian ini, dan semoga kajian ini dapat menjadi referensi dalam rangka perbaikan pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia.