
Tahun ini, Geo for Good Summit kembali digelar di New York City. Selama empat hari, ratusan praktisi, peneliti, akademisi, aktivis, profesional, jurnalis, dan komunitas dari berbagai negara berkumpul untuk berbagi cerita, ide, dan inovasi terbaru di dunia geospasial. Suasananya jauh dari sekadar konferensi teknologi biasa—lebih seperti ruang belajar bersama, tempat data, pengalaman lapangan, dan semangat kolaborasi saling bertemu.
Bayangkan suasananya: di satu ruangan ada tim peneliti yang mempresentasikan model deteksi banjir dan kebakaran hutan, sementara di ruangan lain ada organisasi masyarakat sipil yang berbagi cerita tentang pemantauan hutan bersama komunitas lokal. Perpaduan antara sains dan pengalaman nyata membuat acara ini terasa hidup dan relevan.
Salah satu sorotan utama tahun ini adalah peluncuran fitur baru dari Google Earth dan Google Earth Engine. Yang paling menarik tentu saja Satellite Embedding—teknologi berbasis AI yang bisa “membaca” citra satelit dengan lebih cepat dan akurat untuk klasifikasi, deteksi perubahan, hingga eksplorasi spasial. Bagi peneliti maupun komunitas, ini berpotensi menjadi game-changer: analisis lebih singkat, hasil lebih tajam.

Selain itu, Earth Engine juga hadir dengan pembaruan besar: integrasi machine learning yang lebih sederhana, akses ke data resolusi tinggi yang lebih beragam, serta koneksi mulus dengan ekosistem cloud. Semua ini membuat proyek geospasial bisa dikerjakan bersama lintas tim dan lokasi dengan lebih mudah—mulai dari pemetaan keanekaragaman hayati hingga perencanaan adaptasi perubahan iklim.
Bagi Forest Watch Indonesia (FWI), salah satu momen penting adalah keterlibatan dalam panel diskusi Beyond the Basemap: Empowering Users in a Geospatial World. Panel ini menyoroti hal yang sering terlewat: bahwa dampak sesungguhnya dari geospasial ada pada orang-orang yang menggunakannya. Mulai dari bagaimana komunitas dilibatkan, hingga bagaimana wawasan lokal bisa membentuk data dan alat yang kita gunakan.

Dalam sesi ini, FWI berbagi pengalaman dari Kepulauan Aru. Masyarakat adat di sana memadukan analisis satelit dengan pengetahuan lokal untuk memantau hutan, memetakan wilayah adat, mengungkap praktik illegal logging, dan mendorong penegakan hukum. Pengalaman ini menunjukkan bahwa teknologi canggih sekalipun akan lebih kuat bila bisa dipahami dan digunakan langsung oleh komunitas di tingkat tapak.
Hari terakhir summit ditutup dengan jam session—diskusi kelompok kecil yang santai namun penuh ide. Salah satu topik menarik adalah bagaimana Satellite Embedding dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi kawasan konservasi, mendukung inisiatif global 30 by 30, yaitu
melindungi 30% daratan dan lautan dunia pada 2030. Diskusi ini menjadi pengingat bahwa inovasi teknologi sebaiknya selalu diarahkan untuk menjawab tantangan nyata, dari konservasi hingga keadilan lingkungan.
Bagi FWI, kesempatan hadir di forum ini penting bukan hanya untuk berbagi pengalaman dari Indonesia, tetapi juga untuk belajar dari berbagai inisiatif lain di seluruh dunia. Dari sesi resmi hingga obrolan di sela acara, semakin terasa jelas bahwa teknologi geospasial selalu menemukan makna sejatinya ketika dipadukan dengan cerita manusia.