Ekosistem Karst dan Sumber Air Kepulauan Aru Terancam Bila Masuk Peternakan Sapi Skala Besar[3]

oleh Tim Kolaborasi* di 12 October 2022

  • Selain hutan tropis, hutan mangrove dan savana, Kepulauan Aru di Maluku, ini punya ekosistem karst. Dalam seri tulisan ketiga ini tim kolaborasi akan mengulas mengenai bentang karst yang ekosistem penting yang bakal terancaman kalau sampai masuk peternakan sapi skala besar.  Tulisan seri pertama membahas soal keterancaman hutan dan savana termasuk masyarakat adat kalau sampai peternakan sapi skala besar. Seri kedua mengulas soal siapa empat perusahaan yang mendapatkan izin di Pulau Trangan, Kepulauan Aru, Maluku ini.  
  • Hasil kajian FWI dan Lawalata IPB pada 2016 mengidentifikasi ada sekitar 37 gua di Kepulauan Aru, belum mencakup seluruhnya. Saat eksplorasi di tiga desa yaitu Marfenfen, Lorang, dan Popjetur itu, ditemukan sekitar 14 mata air berupa sumur, telaga, dan mata air dari gua.
  • Lingkungan termasuk hutan dan mangrove pesisir Aru sangat penting, antara lain untuk menjaga ketersediaan sumber air bersih atau air tawar.  Saat ini saja, dalam kondisi lngkungan masih terjaga, hutan bertutupan rapat, sudah ada masyarakat sulit dapatkan air bersih.
  • Petrasa Wacana, peneliti yang konsern pada pengurangan risiko bencana dan pengelolaan kawasan karst yang berkomitmen pada konservasi lingkungan ini mengatakan, ekosistem karst memiliki sistem hidrologi unik. Kelestarian kondisi Ekosistem karst alami Kepulauan Aru, patut dijaga dari proses perubahan bentang lahan yang bisa berdampak pada hilangnya air. Dalam kasus ini, peternakan sapi skala besar, katanya, akan berisiko pada meningkatnya bakteri air yang didistribusikan dalam proses pelarutan. 

 


Lokasi Kepulauan Aru

Pulau Trangan, merupakan pulau terbesar di Kecamatan Aru Selatan dengan luas 2.300 kilometer persegi. Pulau ini  terbentuk dari batu gamping dan napal yang menunjukan bentukan bentang alam karst, dengan puncak tertinggi sekitar 10 mdpl.

Tim kolaborasi menelusuri bentang karst Aru Selatan bersama Aziz Fardhani Jaya , periset Forest Watch Indonesia juga penelusur dan peminat gua, anggota Indonesia Speleogical Society, serta Sammy Kamsy, tokoh agama Desa Popjetur.

Kami melihat  kolam Air Ilar Popjetur,  yang biasa digunakan warga sebagai sumber air minum, keperluan rumah tangga sampai buat mandi.

Air tawar ini begitu jernih dengan warga berkilau kebiru-biruan berasal dari resapan karang dan pohon sekitar.

Sammy bilang, kolam air Ilar ini satu-satunya sumber air bersih buat konsumsi warga selama ini. Rencana peternakan sapi skala besar, katanya, sangat mengkhawatirkan mereka karena rawan mengancam sumber air bersih ini.

Aziz mengatakan, karst merupakan suatu bentang alam khusus, berkembang pada batuan gamping yang mudah larut, karena ada proses pelarutan karstifikasi.

Batu gamping di Aru, katanya, merupakan hasil pengendapan material (fosil) hewan bercangkang dan mengandung kapur (CaCo3) yang terbentuk pada massa Miosen awal akhir atau sekitar 15-23 juta tahun lalu.

 


Sebaran mata air berdasarkan hasil riset Forest Watch Indonesia dan Lawalata IPB, 2016.

Dia bilang, dari hasil kajian FWI dan Lawalata IPB pada 2016 mengidentifikasi ada sekitar 37 gua di Kepulauan Aru. “Itupun belum mencakup seluruhnya, karena waktu eksplorasi terbatas dan akses sulit,” katanya.

Saat eksplorasi di tiga desa yaitu Marfenfen, Lorang, dan Popjetur itu, mereka temukan sekitar 14 mata air berupa sumur, telaga, dan mata air dari gua.

Di Popjetur, Pulau Trangan, misal, bentang karst dan gua memiliki keunikan tersendiri. Kalau dilihat dari peta citra satelit atau foto udara berupa savana, sebagian tertutup hutan rapat.

Gua Kokoyar, misal, di Pulau Kobror, Petuanan Desa Lorang. Dari pemantauan mereka, gua ini memiliki lorong berhias ornamen seperti stalaktit, stalakmit, sodarstraw, pilar, flowstone. Pada ornamen-ornamen ini masih meneteskan air.

Aziz bilang, tidak sedikit dari gua-gua itu memiliki aliran bawah tanah.

Di Pulau Trangan, dengan tutupan lahan dan padang savana, gua memiliki lorong panjang dan bercabang, dengan sedikit dijumpai ornamen dan lorong gua.

“Perbedaan ini mungkin dipengaruhi struktur batuan penyusun dan ekosistem di atasnya.”

Ada Gua Marfenfen. Gua ini berada di hulu sungai yang masih digenangi oleh pasang surut air. Lorong gua itu menurut Aziz hingga 300 meter panjangnya.

Bentang karst lagi di Telaga Karst Kongan, Desa Marfenfen. Telaga ini berada di tengah padang savana. Menurut Aziz, telaga ini terbentuk karena atap gua runtuh kemudian lorong gua tergenang air. Air pun pasang surut. Berarti, katanya, Ekosistem karst ini mempunyai keterikatan dengan hulu-hulu sungai sekitar.

“Jadi, memang karst itu adalah batuan berpori ibarat spons. Ia menyerap air. Kalau di sini air asin atau payau, sampai ke telaga sudah tawar.”

Baca juga: Nasib Hutan dan Savana Kalau Peternakan Sapi Masuk Kepulauan Aru

 


Selain sumber air penting, sungai di gua-gua di hulu sungai Marfenfen menjadi akses transportasi masyarakat. Foto/Dok: Forest Watch Indonesia

Proses terbentuknya karst, katanya,  bukan dalam waktu cepat karena perlu proses pelarutan air dan batuan.

Batuan karst dengan topografinya, kata Aziz, turut menjaga ketersediaan air tawar. Daerah tangkapan air yang tak luas dan jumlah simpanan lensa air tanah sedikit, katanya, jadikan tutupan hutan karst berperan penting dalam menyerap air dan menahan laju erosi hujan.

Sementara gua, berfungsi sebagai drainase alami guna membantu memanifestasikan air lewat tetesan perkolasi yang makin lama makin membesar membentuk aliran sungai bawah tanah. Lebih dari itu,  kata Aziz, fungsi karst sebagai tandon air alami karena sistem akuifer khas berperan penting dalam menjaga ketersediaan air.

Keberadaan karst dan gua, kata peneliti FWI ini memiliki nilai penting bagi masyarakat Aru. Jika itu hilang, sudah barang tentu dampak akan dirasakan masyarakat.

Lingkungan termasuk hutan dan mangrove pesisir Aru sangat penting, kata Aziz, antara lain untuk menjaga ketersediaan sumber air bersih atau air tawar.  Sumber Air ini, katanya, sangat krusial di Aru.

Saat ini saja, dalam kondisi lngkungan masih terjaga, hutan bertutupan rapat, sudah ada masyarakat sulit dapatkan air bersih. “Isu besar di Aru Selatan itu ketersediaan air,” kata Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI).

Baca juga: Kala Investor Mau Buka Peternakan Sapi Skala Besar di Kepulauan Aru

 


Foto aerial Telaga Kongan, Desa Marfenen yang terbentuk akibat runtuhnya atap gua dan lorong gua yang terendam air. Foto/Dok: Forest Watch Indonesia

Di kampung-kampung di Aru, katanya, ada beberapa sumber air bersih/tawar masyarakat, seperti dari sumber mata air, pakai sumur bahkan ada yang air tadah hujan.

“Sumur dan mata air sangat tergantung kondisi lingkungan,” kata Ode, sapaan akrabnya.

Kala lingkungan seperti hutan hilang maka rawan krisis air bersih.

“Saat ini saja, kalau musim kering, ya kering. Bagaimana kalau ditambah sampai terkonversi [dengan masuk peternakan sapi skala besar].”

Jadi, kata Ode, salah satu yang mengkhawatirkan kalau sampai peternakan sapi skala besar masuk, bakal mempengaruhi persediaan air bersih.

“Air ini sumber minum air kami. Untuk berbagai keperluan sehari-hari, bagaimana kalau sampai tercemar? Dari mana kami dapat air bersih lagi?” kata Sammy.

Penelitian-penelitian pun memperlihatkan betapa peternakan sapi bisa menyebabkan persoalan lingkungan maupun tercemarnya  sumber air bersih.  Sebuah kajian di sciencedirect.com, sama seperti  Kepulauan Aru, peternakan di ekosistem karst bisa  menyebabkan cemaran mikroba pada akuifer karst. Studi hampir sama pada 1991-1992 di ekosistem  karst di tenggara Virginia Barat untuk menentukan dampak pertanian terhadap kualitas air tanah.

Area itu  jadi tempat penggembalaan ternak musiman.  Hasilnya, mata air karst yang dipakai peternakan paling intensif terkontaminasi bakteri tinja.

Sebuah riset berjudul    Effects of providing clean water on the health and productivity of cattle,” menyatakan, di banyak area di dunia, ada kecenderungan pengembangan peternakan sapi di  area riparian (sempadan sungai)—bisa berdampak pada kualitas air.

Air bisa terkontaminasi nutrisi, patogen maupun sedimen.Dalam riset itu  menyebutkan,  kalau kotoran hewan merupakan sumber bakteri, nitrogen dan fosfor yang mempengaruhi kualitas air.

Johan Gonga, Bupati Aru tampaknya belum terlalu paham betapa pentingnya ekosistem karst ini. Dia katakan investasi masuk tak akan mengubah lingkungan karena merupakan savana.

“Paling lokasi tertentu yang mereka bangun, infrastruktur mereka seperti pabrik mungkin laboratorium yang berhubungan dengan budidaya peternakan,  tetapi lingkungan mereka tidak bisa ubah. Mereka sifatnya pemeliharaan bebas (sapi dilepas tanpa kandang),” katanya. Dia bilang, sebagai pemerintah daerah, juga akan mengawasi.

 


Telaga Kongan yang biasa dimanfaatkan warga untuk berenang dan sumber air. Foto/Dok: Forest Watch Indonesia

Karst, ekosistem penting

Karst merupakan ekosistem penting. Komisi yang berada di bawah International Union for Conservation of Nature (IUCN), World Commision Protected Area (WCPA),  pada 1997,  memasukkan  poin khusus untuk mendorong perlindungan ekosistem karst di dunia. Bahkan,  petunjuk perlindungan karst dan gua 1997, sudah ada pedoman khusus versi terbaru yang rilis 2022.

Dalam pedoman pertama menekankan, betapa penting Ekosistem karst sebagai habitat flora dan fauna langka, karst punya bentang alam unik, juga bagian penting kawasan prasejarah dan sejarah kebudayaan.

Kemudian, Ekosistem karst juga untuk penelitian berbagai disiplin ilmu pengetahuan, wilayah religi dan spiritual, kawasan kunci untuk mempelajari hidrologi kawasan dan sebagai tempat rekreasi maupun wisata.

Dalam pedoman pertama itu, perlindungan gua dan karst banyak menekankan pada geoheritage. Pada pedoman kedua ini lebih luas, juga mencakup isu-isu biologis.

Perlindungan ekosistem karst permukaan dan bawah tanah. Melindungi karst sebagai ‘bank air.’  Sekitar 10% populasi dunia memperoleh pasokan air dari karst, baik mata air yang berbeda atau dari air tanah karst.

Begitu juga fungsi penting bentang karst Kepulauan Aru.

 


Warga Desa Marfenfen melewati sungai di gua-gua untuk bisa mengakses kampung-kampungnya. Foto/Dok: Forest Watch Indonesia

Petrasa Wacana, peneliti yang konsern pada pengurangan risiko bencana dan pengelolaan kawasan karst yang berkomitmen pada konservasi lingkungan ini mengatakan, ekosistem karst memiliki sistem hidrologi unik.

Bentang alam karst,  berasal dari proses pelarutan air,  dimana air berperan besar dalam sistem pembentukan bentang alam karst.

Begitu juga, kata Petrasa,  Ekosistem karst Kepulauan Aru memiliki sistem hidrologi berupa sistem aliran yang melewati celah, rekahan atau lorong yang membentuk sistem perguaan dan terakumulasi pada zona-zona jenuh pada akuifer kars. Air dapat keluar sebagai mata air karena ada gua dengan sungai bawah tanah.

Kelestarian kondisi Ekosistem karst alami Kepulauan Aru, katanya, patut dijaga dari proses perubahan bentang lahan yang bisa berdampak pada hilangnya air. Dalam kasus ini, peternakan sapi skala besar, katanya, akan berisiko pada meningkatnya bakteri air yang didistribusikan dalam proses pelarutan.

Setiap air, katanya,  baik dari hujan, air permukaan akan mengalami proses pelarutan ke dalam sistem sungai bawah tanah.

“Apabila kotoran hewan pada peternakan sapi berskala besar terakumulasi dan terbawa air dan terlarutkan akan meningkatkan bakteri ecoli, dan lain-lain,” kata pria yang banyak menggeluti geologi kebencanaan dan karstologi terutama bidang speleologi ini.

 


Foto aerial pemukiman masyarakat di Marfenfen. Daratan kepulauan Aru berasal dari bentang alam karst yang naik ke permukaan. Foto/Dok: Forest Watch Indonesia

Tak hanya itu. Bentang karst ini, katanya, merupakan ruang hidup masyarakat adat Aru. Sebagai masyarakat pulau, sumber air bersih (air tawar) maha penting. “Kalau sumber air bersih, atau air tawar sampai rusak, sengsaralah mereka.”

Untuk menjaga sumber air agar tetap lestari, kata Petrasa,  harus mulai dengan menjaga keutuhan ekosistem karst tetap seperti asli. Kalau peternakan skala besar ini berjalan dengan buka lahan yang menyebabkan perubahan bentang lahan masif seperti penambangan, katanya, maka fungsi penyimpan air akan hilang,

Jadi, katanya, selama ekosistem karst terjaga alami, kebutuhan air akan terpenuhi. “Karena ekosistem karst adalah penyimpan air di masa yang akan datang.

Rafael Osok, ahli tanah dan air sungai, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon  mengatakan, walau Pulau Trangan di Aru Selatan, terkesan cukup luas tetapi harus memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Peternakan sapi, katanya, bisa berdampak pada kerusakan lingkungan  hidup sekitar. Pemenuhan pakan ternak sapi pun, katanya, memerlukan banyak air.

“Air di sana susah, jadi harus bikin ternak makan dan minum. Itu akan membutuhkan banyak air.” (Bersambung)

********

  • Liputan ini kolaborasi antara Mongabay Indonesia, Metro Maluku dan Titastory.id serta Forest Watch Indonesia. Tim liputan: Reporter: Chist Belseran, Della Syahni dan Indra Nugraha.  Editor: Sapariah Saturi.  Kurasi foto: Ridzki R Sigit. Liputan ini atas dukungan Earth Journalism Networks (EJN).
  • Liputan ini juga dimuat di Mongabay Indonesia

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top