Palu, 22 Oktober 2024 — Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Maluku Utara turut mengadakan diskusi menjelang pertemuan ke-16 Conference of the Parties (COP 16) Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (UNCBD) di Cali, Kolombia, 21 Oktober – 1 November 2024.
Organisasi masyarakat sipil ini mengadakan pertemuan jelang Konferensi Keanekaragaman Hayati yang berlangsung pada Jumat (11/10) di Palu. Pertemuan ini dihadiri oleh Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Selatan, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Forest Watch Indonesia (FWI), serta organisasi lokal seperti Yayasan Komiu, Perkumpulan Wallacea, Komunitas Fakawele, dan Koalisi Save Sagea. Dalam pertemuan ini, masyarakat sipil menekankan pentingnya pengelolaan keanekaragaman hayati di tengah tantangan transisi energi dan dampak yang ditimbulkan oleh ekspansi industri pertambangan mineral transisi, terutama nikel.
AEER mendesak pemerintah untuk mengurangi luas konsesi tambang nikel dan menghentikan kegiatan pertambangan yang merusak keanekaragaman hayati di pulau-pulau kecil seperti Pulau Obi, Halmahera, Gebe, dan Kepulauan Waigeo, yang rentan terhadap kerusakan ekosistem. Koordinator AEER, Pius Ginting, juga menekankan bahwa mineral transisi perlu mengurangi penggunaan batubara sebagai sumber energi karena batubara yang digunakan juga berkontribusi bagi penghilangan ekosistem spesies. Ia menyatakan, “Di Kalimantan, misalnya, tumpang tindih antara area tambang batubara dengan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBA) telah mencapai 1,8% dari 6,63 juta hektar total wilayah. Hal serupa juga terjadi pada tambang nikel di Sulawesi Tengah (5,4%) dan Maluku Utara (2,7%)… Transisi energi tidak bisa hanya berfokus pada target emisi rendah karbon tanpa memperhitungkan dampak ekologis. Kami melihat di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan industri nikel telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius di wilayah pesisir dan daratan, menghancurkan sumber penghidupan masyarakat lokal.”
Berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan AEER di Morowali pada Agustus 2024 dan hasil Focus Group Discussion (FGD) di Palu, setidaknya terdapat 21 spesies terancam yang berada di kawasan pertambangan nikel, termasuk anoa gunung (Bubalus quarlesi), rangkong (Rhyticeros cassidix), dan babirusa (Babyrousa babyrussa). Hal ini diperkuat oleh Yayasan Komiu (Kompas Peduli Hutan), yang turut menyoroti ancaman terhadap spesies langka akibat pertambangan nikel. Menurut Gifvents, Direktur Yayasan Komiu, kegiatan pertambangan yang memanfaatkan lahan pesisir juga memperburuk kerusakan ekosistem mangrove. Padahal ekosistem mangrove berperan penting dalam penyimpanan karbon.
Keterlibatan Masyarakat Lokal dan Adat dalam Proses Pengambilan Keputusan
Yayasan Tanah Merdeka menyerukan pentingnya keterlibatan lebih besar masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait pertambangan. Banyak masyarakat adat di Halmahera Tengah, Morowali, dan Morowali Utara yang lahannya tumpang tindih dengan area industri nikel, dan mereka sering kali mengalami kriminalisasi akibat memperjuangkan hak atas tanahnya. Berdasarkan Pasal 8 UU 32/2024, hutan milik masyarakat adat dapat dijadikan Areal Preservasi, dengan catatan bahwa kepemilikan dan pengelolaannya tetap menjadi milik masyarakat untuk melindungi hak-hak mereka.
Menurut Richard, Direktur Yayasan Tanah Merdeka, rusaknya ekosistem dapat berpengaruh bagi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar lingkungan itu. Kerusakan lingkungan ini juga dapat berpengaruh ke konflik manusia dan satwa liar. “Di Morowali, masyarakat Taa (Wana) telah menggunakan beragam jenis kayu, seperti kayu bitti (Vitex cofassus), damar (Agathis alba) dan kumea (Manilkara celebica) selama berabad-abad sebagai bagian dari kehidupan mereka. Namun, dampak pertambangan yang masif mengancam keberlanjutan sumber daya ini,” kata Richard.
Forest Watch Indonesia juga menelusuri adanya relasi antara penderitaan hidup masyarakat adat dengan kehadiran industri nikel dari tambang sampai kawasan industrinya di Halmahera, Maluku Utara, yang disertai dengan praktik-praktik koruptif dalam prosesnya. Berbagai konflik lahan antara lahan terus terjadi antara masyarakat dengan perusahaan yang dibantu aparat keamanan. Masyarakat adat bahkan tak dapat berbuat banyak, seperti yang dialami oleh Librek, warga Desa Gemaf yang protes kepada PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Perusahaan menggusur lahannya tanpa pembayaran.
Kehilangan ruang hidup juga menimpa masyarakat adat lain di Halmahera. Seperti di Weda, Halmahera Tengah, izin kawasan industri dari tambang nikel sampai pabrik pengolahan menyebabkan Masyarakat Adat Sawai kehilangan ruang hidup mereka. Setidaknya ada empat Komunitas Adat Sawai berada dalam konsesi PT IWIP, yakni di Desa Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai, Gemaf, dan Sagea. Juru Kampanye FWI, Anggi Prayoga, menyatakan, “Industri nikel, selain merusak hutan juga telah menghilangkan ruang hidup masyarakat adat. Praktik kotor ini tidak bisa dibenarkan dalam agenda perubahan iklim global.”
Langkah Konkret ke Depan
Yusman, Kepala Program Walhi Sulawesi Tengah, menyatakan, “Di wilayah Sulawesi Tengah, kerusakan ekosistem akibat tambang nikel sudah sangat memprihatinkan, terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika hal ini tidak segera dihentikan, kita akan kehilangan keanekaragaman hayati yang tak ternilai dan merusak ekosistem yang mendukung kehidupan ribuan masyarakat lokal.”
Walhi Sulawesi Selatan juga menekankan pentingnya mempertahankan kawasan konservasi dan keanekaragaman hayati di tengah tekanan industri. Menurut Direktur Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin, Indonesia dapat belajar dari pertambangan batu bara di Kalimantan Timur yang sangat merusak ekosistem di sana. ”…kehancuran Kalimantan Timur, akibat tambang batu bara itu seharusnya menjadi pembelajaran berharga bagi kita, bahwa memang supaya daya rusak itu tidak ditransisikan (dipindahkan) ke Sulawesi, (dan) ke Maluku Utara di area Wallacea. Memang perlu langkah konkret yang harus kita lakukan ke depan, termasuk memanfaatkan ruang-ruang negosiasi internasional, (untuk) berbicara tentang perlindungan biodiversitas, yang berada di kawasan Timur Indonesia.”
Jatam Kalimantan Timur juga menggarisbawahi tentang transisi energi yang riil dan jelas. Menurut Mareta, Direktur Jatam Kalimantan Timur, perlu ada tindakan nyata dari pemerintah, seperti penghentian model dan bentuk transisi energi palsu —yang tetap mengandalkan batu bara— sebagai sumber untuk industri berbahaya seperti nikel. Transisi palsu ini turut serta menghilangkan spesies penting bagi ekosistem di Kaltim sebagai penyuplai batu bara dan di Indonesia Timur sebagai tapak transisi industri. Forum ini juga dapat mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan produksi dan konsumsi dalam rantai transisi yang berkeadilan. “COP 16 UNCBD dapat (menjadi momentum tepat untuk) memberikan masukan penting terkait temuan dari Indonesia (dalam FGD) ini, untuk mendesak evaluasi dan audit pada sistem dan perusahaan yang terlibat.” terangnya.
Maka dari itu, organisasi masyarakat sipil menyoroti perlunya aktivitas pertambangan dan industri mineral transisi di Indonesia juga sejalan dengan sejumlah poin dari “Kesepakatan Global Keanekaragaman Hayati” (KM-GBF, Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework). Beberapa poin KM-GBF, seperti poin 2, 4, 7, 15, dan 18 akan menjadi poin perhatian penting yang dibawa oleh CSO Indonesia yang menghadiri COP 16. Adanya perhatian dan dukungan global dalam perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia diharapkan akan semakin mendorong pemerintah Indonesia maupun pelaku usaha asing pada sektor industri mineral transisi untuk konsisten dalam mengimplementasikan KM-GBF.