Jakarta, 7 Februari 2024 – Organisasi masyarakat sipil Link-AR Borneo bekerjasama dengan Trend Asia dan Forest Watch Indonesia menggelar Diskusi dan Media Briefing mengenai Transisi Energi dengan tema “Masa Depan Hutan Alam KALBAR” di Pontianak, Rabu (31/01/2024) pagi. Mitigasi perlindungan hutan sebagai upaya pengurangan emisi dari sektor hutan lahan dan sektor energi yang penting dikonsolidasikan di tingkat tapak antar CSO dan jejaring media. Sesuai dokumen FoLu Net Sink 2030, Kalbar salah satu provinsi dengan target mitigasi deforestasi hutan alam terluas dengan total 917 ribu hektare.
Bioenergi yang berasal dari biomassa kayu akan dipenuhi melalui pembangunan hutan tanaman energi. Kebutuhan biomassa kayu oleh PT PLN setidaknya tercatat 8 juta ton dari 10,2 juta ton biomassa (sampah) untuk co-firing di PLTU, sehingga dibutuhkan 2,3 juta hektar lahan baru untuk co-firing 5 sampai 10 persen.
Amalya Reza Oktaviani, Program Manager Bioenergi, Trend Asia, menjelaskan bahwa pemanfaatan biomassa dalam co-firing hanya akan memperpanjang usia PLTU. Meskipun usia PLTU sudah mencapai 30 tahun, namun program co-firing diklaim telah mengurangi penggunaan batubara di PLTU. Kedua menguntungkan para pengusaha batubara karena mereka masih dapat men-supply batubara ke PLTU. Ketiga menguntungkan korporasi sawit dan kayu karena adanya bisnis baru Hutan Tanaman Energi (HTE) atau Kebun Energi. Di sisi lain biomassa merupakan komoditas ekspor yang memiliki disparitas harga yang tinggi.
Implikasi Bioenergi
Pemanfaatan biomassa diklaim sebagai alternatif untuk mengurangi emisi karbon yang perlu diuji dengan prinsip-prinsip keadilan dan berkelanjutan. Praktik-praktik budidaya kehutanan dan perkebunan perlu memperhitungkan dampak lingkungan dan sosial secara menyeluruh. Pemanfaatan biomassa yang tidak bijaksana dapat berujung pada peningkatan tekanan terhadap ekosistem, memperburuk masalah seperti kehilangan keanekaragaman hayati dan kerusakan hutan serta hilangnya ruang hidup masyarakat-masyarakat adat di Kalbar.
Anggi Putra Prayoga mengungkapkan bahwa bisnis kayu di Indonesia sedang mengalami stagnasi. Usaha baru berupa pembangunan hutan tanaman energi yang dibuka melalui multi-usaha kehutanan untuk memenuhi kebutuhan biomassa kayu co-firing, dimanfaatkan konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI hanya untuk mengamankan bisnis. Konsesi kehutanan menjadi lebih leluasa untuk memanfaatkan hutan alam dengan dalih transisi energi pemenuhan bahan baku biomassa kayu. Hal ini yang justru mempertajam ketimpangan penguasaan lahan dan memperburuk situasi kehidupan masyarakat adat di Kalbar.
Amalya Reza, menjelaskan bahwa pemanfaatan biomassa untuk menghasilkan energi listrik bagi masyarakat adat itu adalah hanya akal-akalan saja. Biodiversitas yang hilang seiring hutan alam yang dirusak untuk memenuhi kebutuhan pembangunan hutan tanaman energi tidak pantas untuk dikorbankan. Pembakaran biomassa kayu yang digadang-gadang dapat mengurangi emisi nyatanya akan tetap mengalami hutang emisi selama masih melalui proses “bakar-bakar”.
Selanjutnya, Ahmad Syukri mengatakan biomassa yang diprioritaskan Pemerintah Provinsi Kalbar adalah Kayu yang dihasilkan dari perkebunan skala besar, yang akan merampas lebih luas tanah-tanah milik petani dan masyarakat adat. Sama halnya yang bersumber dari jangkos, cangkang sawit maupun batang sawit. Semakin banyak hutan alam yang akan dibuka untuk kepentingan pembangunan perkebunan kayu untuk kepentingan penyediaan biomassa (Hutan Tanaman Energi), semakin hilang kemampuan serap emisi karbon. Terlebih di Kawasan gambut. Penggunaan Biomassa sebagai sumber energi terbarukan mempercepat perubahaan iklim, karena pada esensinya adalah pembakaran pellet kayu, cangkang sawit, jangkos dan biomassa lainnya yang akan melahirkan emisi yang lebih besar, jelas Ahmad Syukri.
Kesimpulan
Biomassa sebagai strategi pengurangan emisi dalam penanganan perubahan iklim memiliki konsekuensi terhadap kompleksitas tantangan yang dihadapi dalam upaya mitigasi perubahan iklim kedepan. Praktik pemanfaatan biomassa yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan, ketika menggunakan bahan-bahan seperti kayu, cangkang sawit, jangkos, batang sawit, tempurung kelapa, dan sabut kelapa, memiliki implikasi lingkungan dan sosial yang lebih luas.
Konteks ini juga menyebabkan Perampasan tanah dan konflik agraria dengan masyarakat adat juga lokal. Pembakaran biomassa menghasilkan polusi udara yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Dalam hal ini, perlu pengembangan lebih lanjut dalam strategi pengelolaan sumber daya alam, dengan memperhitungkan aspek-aspek seperti dampak lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat lokal. Dengan demikian, evaluasi yang cermat dan integrasi solusi lintas sektor akan menjadi kunci dalam menjawab tantangan perubahan iklim secara kolektif.
Media Forest Watch Indonesia (0857-2034-6154)