- Indonesia dikenal sebagai negara biodiversity. Memiliki kekayaan yang melimpah, baik di daratan maupun di lautan.
- Kebijakan internasional tentang 30% wilyah bumi sebagai area perlindungan biodiversity
- Masyarakat sebagai aktor utama dalam melindungi biodiversity di dunia
Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversity (keanekaragaman hayati). Negara yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati di dalamnya. Bahkan jauh lebih kaya jika dibandingkan dengan negara lain. Ini karena letak geografis Indonesia yang berada dibawah garis khatulistiwa. Sehingga iklim tropis yang kita miliki dapat menghasilkan bentang alam khususnya hutan tropis yang sangat kaya dan beraneka ragam flora dan fauna. Tidak hanya itu, puluhan ribu pulau yang ada di Indonesia juga mempengaruhi seberapa kaya biodiversity yang kita punya. Sangat berbeda dengan negara-negara beriklim tropis lain pada umumnya yang berada dalam satu daratan besar.
Pulau-pulau yang terpisah satu sama lain membuat setiap wilayah memiliki ciri khas dari sisi biodiversity-nya, baik itu flora maupun fauna. Ini semua bisa kita lihat dengan adanya “maskot” atau identitas yang berbeda-beda pada tiap provinsi. Maskot-maskot tersebut dipilih berdasarkan flora dan fauna apa yang identik dengan profinsi tersebut. Sebagai contoh misalnya provinsi Bengkulu yang memiliki maskot bunga rafflesia arnoldi dan beruang madu, Jakarta dengan maskot salak condet dan elang bondol, juga Papua dengan maskot buah merah dan cendrawasih. Pada kenyataannya, masih sangat banyak flora dan fauna endemik yang ada di setiap daerah yang tidak mejadi maskot. Kadang itu menjadi simbol untuk kabupaten-kabupaten yang ada di bawahnya.
Pengantar singkat diatas memperlihatkan bahwa sebenarnya kita sangat bangga dengan kekayaan dan keragaman flora fauna yang kita punya. Lantas timbul pertanyaan, seberapa pentingkah keanekaramagan hayati ini di jaga? Dan sudah seberapa besar usaha kita untuk melindungi itu semua?
Pembahasan tentang biodiversity sebenarnya sudah dijelaskan sejak jenjang pendidikan setingkat SMP, SMA, bahkan sampai tingkat universitas. Namun Itu hanya sebatas mengenali seberapa kaya kita dengan biodiversity. Tidak membahas dan menganalisa secara dalam apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia jika biodiversity itu hilang. Biasanya, hanya meninggalkan pesan tentang “apakah kalian mau anak cucu kalian nantinya hanya bisa melihat flora-fauna khas tersebut di museum atau lewat foto dan video” karena sudah punahnya flora fauna yang selama ini dibanggakakn.
Tentu tidak ada yang salah dengan pesan diatas. Tetapi jika kita berbicara mengenai hilangnya biodiversity, masih banyak pesan-pesan penting lain yang harus disampaikan dan memaksa kita untuk tidak hanya berfikir apa yang akan terjadi esok hari. Menjaga biodiversity akan memaksa kita untuk berfikir tentang kehidupan yang lebih jauh di depan.
Pada mata ajaran sekolah, ada istilah “rantai makanan” dan juga “rantai ekosistem”. Hewan A dimakan hewan B, B dimakan C, C dimakan D, dan seterusnya sampai kembali lagi ke A. Begitu juga sama halnya dengan tumbuhan atau flora. Satu jenis tumbuhan bisa menjadi makanan hewan. Terkadang juga menjadi tempat tinggal suatu hewan. Hilangnya tumbuhan tersebut, membuat hewan yang biasa memanfaatkannya terganggu. Bisa berkurang populasinya atau bahkan punah.
Terganggunya polulasi flora atau fauna menyebabkan rantai makanan yang terganggu. Terganggunya rantai makanan menyebabkan gangguan bagi rantai ekosistem. Sehingga ekosistem mencoba untuk mencari titik keseimbangan agar rantai tersebut tidak terputus. Jika sudah seperti ini, kita tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa jadi hewan A yang tadinya dimakan hewan B langsung dimakan oleh hewan C karena punah atau berkurangnya populasi hewan B. atau bisa juga ada spesies baru yang muncul menggantikan posisi hewan B. Dengan makanan barunya, hewan C bisa terserang penyakit karena metabolisme tubuhnya yang belum sesuai. Penyakit yang didapat hewan C bisa menular ke hewan lainnya dan pada akhirnya menular ke manusia.
Pada dasarnya ekosistem akan mencari titik keseimbangan jika ada gangguan pada rantai makanan. Namun, untuk mencapai titik keseimbangan yang baru tersebut terkadang membutuhkan waktu yang lama dengan pengorbanan yang besar. Pengorbanan tersebut bisa dengan punahnya suatu spesies, munculnya spesies, bakteri, dan virus-virus baru, bahkan termasuk korban jiwa manusia. Fenomena-fenomena sosial dan lingkungan yang sering terjadi di bebagai belahan dunia merupakan usaha ekosistem untuk mencari titik keseimbangannya. Pertanyaannya, apakah pengorbanannya harus sebesar itu?
Laporan PBB dalam konvensi keanekaragaman hayati misalnya menyebutkan setiap tahunnya muncul 2-3 kali wabah penyakit baru. Wabah-wabah baru ini semakin cepat menular dan berpotensi besar memicu pandemi. Sebagian besar wabah-wabah ini muncul dari penyakit pada hewan yang pada akhirnya menyebar ke manusia. Seperti Covid-19 yang berasal dari kelelawar, ebola dan HIV yang berasal dari primata, flu burung yang berasal dari unggas, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Bahkan, wabah-wabah ini sudah ada 20 tahun sebelum munculnya pandemic covid-19.
Di Indonesia sendiri, fenomena-fenomena sosial dan lingkungan yang kerap terjadi mungkin saja tanpa kita sadari terjadi akibat adanya gangguan pada rantai makanan di ekosistem yang ada di Indonesia. Contohnya seperti busung lapar dan gizi buruk. Bisa jadi, ini terjadi karena keanekaragaman pangan-pangan lokal yang ada di suatu daerah sudah mulai hilang. Seperti sagu yang tergantikan dengan beras dan buah-buahan lokal yang tergantikan dengan buah-buah impor, protein dari hewan buruan yang semakin berkurang, dan lain sebagainya.
Rusaknya habitat (hutan, laut, mangrove, savana, dsb) terbukti mengakibatkan gangguan terhadap ekosistem yang ada. Selain itu, juga memiliki andil yang besar terhadap naiknya suhu bumi (global warming) yang menjadi faktor terjadinya perubahan iklim. Situasi ini membuat biodiversity mendapatkan tekanan dari berbagai sisi. Dan hilangnya biodiversity akan berdampak besar pada kehidupan manusia. Tentunya, asumsi ini memerlukan pembuktian melalui penelitian yang komprehensif. Sehingga penelitian-penelitian dengan analisa jauh kebelakang untuk mengungkap penyebab fenomena-fenomena ini sangat penting untuk dilakukan. Bukan untuk mencari tau siapa yang salah pada masa lalu, tetapi untuk mencari pembelajarannya agar kita tidak mengulangnya saat ini sehingga hal yang lebih mengerikan tidak terjadi dimasa depan.
Komitmen Perlindungan Biodiversity
Upaya untuk melindungi biodiversity di bumi menjadi topik yang hangat diperbincangan pada akhir tahun 2022. Pada tanggal 7-19 Desember 2022, Conference Of the Parties (COP) ke 15 tentang biodiversity (CBD) yang diselenggarakan di Montreal, Kanada, telah menyepakati perlindungan 30% wilayah bumi sebagai area perlindungan biodiversity. Setidaknya, ada 188 negara yang bersepakat untuk mewujudkan itu pada tahun 2030. Pertemuan tersebut menyepakati empat goal dengan 23 target di dalamnya. Hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat adat dan lokal, pendanaan, ancaman, dan bahkan sampai ke implementasinya juga menjadi bahasan dalam setiap target.
Di Indonesia sendiri, pembahasan dan pemberitaan tentang isu ini belum banyak di perbincangkan. Ini memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga keanekaragaman hayati belum terlalu tinggi. Walaupun, disadari atau tidak disadari, praktek-praktek melindungi keanekaragaman hayati sebenarnya sudah ada dan sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia, khususnya oleh masyarakat adat.
Hasil dari COP-15 ini juga memperlihatkan adanya concern yang cukup besar terhadap masyarakat adat dan lokal. Secara tersirat menunjukkan kesepemahaman tentang pengelolaan lingkungan yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat adat terbukti lebih baik dalam menjaga biodiversity dibandingkan pengelolaan yang dilakukan secara destruktif. Bahkan, tagline dalam CBD “Living in harmony with nature” merupakan konsep hidup yang selama ini melekat di masyarakat adat itu sendiri.
Walaupun tidak banyak diperbincangkan, di Indonesia sendiri hasil dari COP-15 ini menuai pro kontra. Ada anggapan bahwa kesepakatan ini merupakan ancaman dan cara baru dalam merampas wilayah masyarakat adat. Atau biasa di kenal dengan istilah “green grabbing”. Perampasan wilayah adat atas nama konservasi.
Ke-empat goal dan 23 target hasil dari CBD sebenarnya sudah mengakomodir hak-hak masyarakat adat. Bahkan membuka peluang yang sangat besar bagi masyarakat adat untuk mengambil peran penting dalam perlindungan biodiversity di dunia. Hal-hal seperti praktek-praktek pengelolaan biodiversity, benefit sharing, dan bahkan sampai ke hak kekayaan intelektual juga tidak lepas dari peran serta masyarakat adat itu sendiri. Bagaimana tidak, pada kenyataannya hampir semua target yang diperbincangkan implementasinya telah dilakukan oleh masyarakat adat. Artinya, pengakuan dan perlindungan wilayah adat tetap menjadi prasyarat dalam mewujudkan 30% wilayah bumi sebagai area perlindungan keanekaragaman hayati. Justru yang menjadi tantangan adalah apakah implementasi perlindungan biodiversity nantinya sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan.
Adanya pro kontra dalam menyikapi kesepakatan ini memang tidak dapat dihindari. Di Indonesia sendiri misalnya, praktek pengelolaan kawasan konservasi masih menjadi momok menakutkan yang mengancam perampasan hak-hak masyarakat adat. Historis masa lalu tentang pengelolaan taman nasional misalnya menjadi cerita yang masih membekas dikalangan sebagian aktivis. Bagaimana praktek pengelolaan taman nasional menyingkirkan masyarakat adat dan lokal. Padahal mereka sudah ada jauh sebelum taman nasional tersebut terbentuk. Bahkan, praktek-praktek pengelolaan kawasan konservasi yang menutup akses masyarakat misalnya masih terjadi hingga saat ini dan menjadi problem dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Indonesia sendiri telah mengclaim keberhasil berbagai target konservasi. Wakil Menteri LHK Alue Dohang dalam pidatonya di Montreal menyampaikan bahwa sampai dengan tahun 2020 lebih dari 54% Kawasan hutan sudah menjadi kawasan lindung. Sementara di perairan, Indonesia mengclaim 8,7% Kawasan penting laut sudah dilindungi. 54% Kawasan hutan merupakan wilayah yang sangat luas. Jika luas kawasan hutan saja seluas 125 juta ha, makan 54% dari luas tersebut adalah 67,5 juta ha. Angka ini sepertinya terdiri dari kawasan konservasi seluas 21,9 juta ha, hutan lindung seluas 29,6 juta ha, dan kawasan lindung bersadarkan RTRW seluas 15,5 juta ha.
Klaim dan angka yang diungkapkan wakil menteri LHK ini sebenarnya sangat mungkin untuk diperdebatkan. Ini karena potret tumpang tindih yang masih terjadi di wilayah-wilayah itu. Namun, yang menjadi titik tekan penting lain adalah apakah area seluas 67,5 juta ha itu sudah terkelola dengan baik?, apakah hak-hak masyarakat adat diakui di dalamnya? Apakah praktek-praktek konservasi yang dilakukan oleh masyarakat adat menjadi bagian dari capaian tersebut?. Padahal dari total 23 target yang ditetapkan, terdapat kata “Indigenous Peoples” pada 7 target yang juga menjadi pembahasan serius.
Masyarakat Adat Sebagai Penjaga Biodiversity
Seperti yang sudah diketahui semua orang, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17 ribu pulau. Situasi ini membuat tidak hanya flora faunanya saja yang beragam, termasuk budaya dan kekhasan dari masyarakat yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Termasuk di dalamnya kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam yang berbeda-beda disetiap wilayah. Dengan ini, maka sudah sewajarnya pengelolaan biodiversity memposisikan masyarakat adat ataupun lokal sebagai bagian yang paling penting. Karena sejatinya masyarakat adat yang masih memegang teguh pengelolaan lingkungan yang arif merupakan bagian dari biodiversity itu sendiri.
Contohnya, Komunitas masyarakat adat kasepuhan Karang di provinsi Banten. Mereka membagi wilayahnya kedalam beberapa zona, termasuk zona konservasi yang dalam bahasa lokal disebut “leuwung kolot” atau “paniisan”. Istilah-istilah lain seperti tana ulen yang melindungi wilayah masyarakat adat di Kalimantan, Sasi di wilayah Maluku, awig-awig di Lombok dan Bali, borong karamaka dan borong batasayya di Sulawesi, dan masih banyak istilah-istilah lainnya yang tersebar di komunitas-komunitas masyarakat adat.
Usaha-usaha untuk terus menjaga kearifan lokal masyarakat adat dalam mengelola lingkungan secara arif juga terus dilakukan. Kelompok kerja ICCA (Indigenous and Community Conserved Areas) untuk Indonesia (WGII) telah mulai mendokumentasikan praktek-praktek konservasi yang dilakukan oleh komunitas masyarakat adat. Sejak tahun 2011 sudah ada 111 lokasi yang berada di 50 komunitas masyarakat adat masih mempraktekan prinsip-prinsip konservasi sesuai dengan budayanya masing-masing dalam mengelola wilayah. Jumlah ini tentu akan terus bertambah karena masih ada 14,4 juta ha hutan pada wilayah adat yang sudah terpetakan.
Jika tagline “living in harmony with nature” menjadi tujuan utama dalam mewujudkan cita-cita perlindungan biodiversity, maka pilihan kembali ke sistem pengelolaan masyarakat adat adalah jalan terbaik untuk mencapai hal tersebut. Tentu ini perlu diperkuat dengan menjaga kearifan lokal masyarakat adat yang masih eksis dan memunculkan kembali kearifan-kearifan lokal yang sudah mulai hilang.
Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, pilihan hidup selaras dengan alam di Indonesia masih belum terlambat. Hal ini karena masih ada komunitas-komunitas masyarakat adat di Indonesia yang identik dengan pengelolaan wilayah yang arif. Data yang dikumpulkan BRWA misalnya, mencatat sampai dengan tahun 2022 sudah ada 20,7 juta ha wilayah adat berhasil dipetakan secara partisipatif oleh masyarakat adat itu sendiri. Luas tersebut setara dengan 10% luas daratan di Indonesia, dan ini semua masih jauh dari potensi yang ada. Karena berdasarkan studi yang dilakukan FWI pada tahun 2015 menunjukkan 54% atau sekitar 70 juta ha daratan di Indonesia terindikasi sebagai wilayah adat. Ini bahkan belum termasuk wilayah masyarakat adat yang berada di perairan dan laut.
Kondisi diatas sebenarnya memperlihatkan bahwa peran serta masyarakat dalam mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan memetakan praktek-praktek pengelolaan ruang oleh masyarakat adat sudah sangat besar. Tentunya, untuk mewujudkan angan-angan perlindungan keanekaragaman hayati berbasis lokal, dukungan dari pemerintah juga sangat diperlukan. Baik itu pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Sebagai contoh misalnya, bagaimana proses legal pengakuan wilayah adat seharusnya dipermudah. Upaya untuk mendapatkan pengakuan harus ditempuh dengan biaya yang mahal, birokrasi yang panjang, dan waktu yang tidak sebentar. Kondisi ini sangat berbeda jika ada suatu izin korporasi yang hedak mengajukan izin pemanfaatan. Bahkan saat ini lebih dipercepat dengan sistem perizinan satu pintu (one single submission (OSS)) yang didukung juga oleh UU Cipta Kerja.