Bencana banjir menjadi penghias wajah Indonesia di awal tahun 2021. Salah satu yang paling ramai diperbincangkan ialah Banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan pada bulan Januari 2021. Simpang siur penyebab terjadinya banjir ramai diperbincangkan, baik dari lembaga pemerintah, akademisi, sampai dengan aktivis-aktivis lingkungan.
Lapan dan Menteri LHK menyebutkan banjir tersebut terjadi akibat curah hujan yang tinggi. Sementara itu para aktivis menyoroti jika banjir terjadi akibat hutan di Kalimantan Selatan yang semakin berkurang. Ulasan mengenai hubungan banjir dan tutupan hutan sebenarnya telah dibahas dalam laporan Potret Keadaan Hutan Indonesia Tahun 2013-2017. Berikut adalah ulasan mengenai hal tersebut:
Relasi Tutupan Hutan dengan Bencana Banjir (BAB III, Halaman 96, Portet Keadaan Hutan Indonesia)
Menurut penelitian Lisnawati pada tahun 2012, hutan alam yang belum terganggu akan memiliki neraca hidrologi yang lebih baik jika dibandingkan hutan yang sudah terganggu. Hutan alam yang tidak terganggu mampu menyerap air dari curah hujan (infiltrasi) dalam jumlah besar jika dibandingkan dengan hutan yang terganggu. Hal ini disebabkan oleh morfologi tanah di kawasan hutan alam masih terjaga.
Ekosistem hutan alam mampu mengintersep atau menahan air hujan kaya hara pada bagian kanopinya yang berlapis, air hasil intersep ini akan membentuk aliran batang (streamflow) dan aliran lolosan (throughfall) yang akan berpotensi menyumbang hara ke dalam tanah karena minimnya erosi akibat perakaran tan serasah yang ada pada hutan alam.
Pengetahuan tentang penyebab banjir akibat tutupan hutan yang semakin berkurang, harus ditanamkan sejak dini. Pemahaman dan logika sederhana tersebut masih jarang tertuang dalam kebijakan, terlebih pada kebijakan-kebijakan dalam penanggulangan dan mitigasi banjir. Curah hujan yang tinggi kerap dijadikan “tumbal” penyebab banjir di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini mengakibatkan kebijakankebijakan terkait mitigasi banjir tidak pernah tepat sasaran pada permasalahan utama.
Kebijakan mitigasi banjir selama ini masih fokus pada pengendalian wilayah sungai (in-stream) seperti pembangunan pengendali banjir, sedangkan tata guna lahan wilayah dataran banjir (off-stream) kerap dikesampingkan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya peraturan perundang-undangan terhadap mitigasi banjir di daerah dan minimnya pendanaan penanggulangan bencana masih sangat tergantung pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Hasil analisis FWI terhadap data curah hujan yang bersumber dari NOAA sejak tahun 2000-2017 (Gambar di bawah) memperlihat bahwa curah hujan di Indonesia dalam rentang waktu tersebut cenderung stabil dengan koefisien determinasi sebesar 0,0015 dan nilai kemiringan (slope) sebesar 0,00003. Peningkatan curah hujan pada musim penghujan pun memperlihatkan angka yang stabil, sehingga menjadi tidak relevan jika bencana banjir yang terjadi di Indonesia selalu dikaitkan dengan curah hujan yang tinggi.
Kebijakan-kebijakan dalam mitigasi banjir seakan tidak pernah melihat bahwa tutupan yang semakin berkurang adalah penyebab utama bencana tersebut. Hasil analisis yang dilakukan FWI antara tutupan hutan tahun 2017 yang disandingkan dengan data risiko banjir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperlihatkan kecenderungan yang sama di mana semakin rendahnya rasio tutupan hutan di suatu wilayah mengakibatkan semakin tingginya potensi banjir yang terjadi. Begitu juga sebaliknya, wilayah-wilayah yang memiliki rasio tutupan hutan tinggi memiliki nilai risiko banjir yang rendah.
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa nilai risiko banjir akan semakin naik dan nilai rasio tutupan hutan akan semakin turun. Terlihat juga bahwa terdapat pola yang berhubungan dari masa ke masa antara rasio tutupan hutan dengan risiko banjir. Pulau Jawa dapat dibilang menjadi contoh tingginya risiko banjir akibat akumulasi hilangnya hutan. Wilayah Sumatera dan Bali Nusa sudah hampir mendekati kondisi seperti di Pulau Jawa.
Sedangkan Kalimantan dan Sulawesi baru akan memulai mengarah ke kondisi tersebut. Untuk Maluku dan Papua, secara umum kondisi wilayahnya dapat dikatakan masih kecil dari risiko banjir, walaupun di beberapa wilayah sudah mulai terjadi. Risiko banjir ini diprediksi akan terus meningkat dan terakumulasi seiring dengan masifnya investasi berbasis lahan yang mengurangi tutupan hutan di Maluku dan Papua.
Dari gambar di atas, terlihat provinsi-provinsi yang memiliki potensi banjir tinggi. Namun ada catatan khusus untuk wilayah Provinsi Aceh, pada tahun 2017, data BNPB menunjukkan Provinsi Aceh menempati posisi 4 bila dilihat dari jumlah bencana banjir yang mencapai 89 kejadian. Provinsi Aceh memiliki risiko banjir yang cukup tinggi walaupun dengan rasio tutupan hutan yang tinggi pula. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan daya dukung dan daya tampung ekosistem di provinsi ini. Hutannya semakin berkurang, praktis risiko banjir yang terjadi di provinsi tersebut akan terus bertambah.
Potensi yang sama juga dapat dilihat pada wilayah-wilayah yang berada di Pulau Sulawesi. Salah satu bukti nyata yang terjadi adalah kejadian banjir yang menerjang dua desa di Kabupaten Maros Januari 2019. Jika merujuk data di atas, Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang memiliki resiko banjir yang tinggi dengan rasio tutupan hutan sangat rendah. Kejadian banjir di Sulawesi akan semakin melonjak tinggi jika hutan alam di pulau tersebut semakin berkurang.
Hubungan antara pengurangan tutupan hutan dan kejadian banjir ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, penelitian global yang dilakukan oleh Bardshaw pada tahun 2007, menyatakan bahwa ada hubungan positif antara luas deforestasi hutan dan kejadian banjir di Dunia dalam periode 1990-2000. Kehilangan 12 km2 hutan alam akan bertanggung jawab terhadap meningkatkan peluang kejadian banjir sebesar 0,19 kali.
Selain tiga contoh kasus di atas, masih banyak lagi contoh-contoh kasus lainnya terkait pembangunan di wilayah hulu yang tidak lagi mempertimbangkan dampaknya terhadap wilayah hilir. Praktik seperti ini memperlihatkan bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan yang ada saat ini tidak pernah melihat dampak yang jelas-jelas sudah terjadi dan tidak pernah terselesaikan, bahkan seakan melupakan bahwa air mengalir dari hulu ke hilir.
Dilupakannya nilai-nilai ini menjadi penyebab tidak pernah dipandangnya hutan alam sebagai bagian penting ekosistem yang dapat mencegah atau mengurangi terjadinya bencana di Indonesia. Penyebab utama datangnya rutinitas banjir dan longsor ini kerap diabaikan bahkan dilupakan. Faktor cuaca sering kali dijadikan “kambing hitam” penyebab terjadinya banjir. Bahkan pembangunan-pembangunan skala besar seperti hotel, resort, vila, dan lain sebagainya masih saja terus dilakukan di wilayah hulu daerah aliran sungai.
Sumber: FWI 2019, Potret Keadaan Hutan Indonesia Tahun 2013-2017.
Info Lebih lengkap mengenai kondisi hutan Indonesia silahkan kunjungan halaman ini