Keresahan Pemuda Kasepuhan terhadap Ketidakpastian Hak Masyarakat Adat

Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat kembali masuk dalam prolegnas tahun 2025. Tepatnya nomor urut 31 prolegnas prioritas. Sejak tahun 2009, RUU Masyarakat Hukum Adat telah diusulkan dan masuk dalam prolegnas, namun tidak kunjung ada hilal pengesahannya. Badan Legislasi DPR RI optimis[1] bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat dapat disahkan pada tahun 2025.

RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi harapan bagi seluruh komunitas adat di seluruh Indonesia. Pasalnya, Masyarakat Adat telah berada dalam pusaran konflik tenurial bahkan mengalami eksklusi sejak Pemerintahan Kolonial Belanda hingga hari ini, pasca kemerdekaan Indonesia, termasuk yang dialami oleh Masyarakat Adat Kasepuhan di kawasan ekosistem Gunung Halimun-Salak.

Hal ini merupakan potret dari peniadaan institusi-institusi lokal yang mengatur akses dan kepemilikan hutan yang secara bertahap dihapuskan dari wacana hukum oleh Pemerintah Kolonial Belanda (Peluso, 1992)[2]. Peristiwa tersebut ditandai dengan penunjukkan sepihak kawasan hutan di Lebak khususnya pada Kawasan Ekosistem Halimun pada tahun 1924. Kebijakan tersebut telah menyebabkan konflik pengelolaan ruang dan kekayaan alam dengan Masyarakat Adat Kasepuhan.

Dampak dari kebijakan tersebut telah terangkum dalam dokumen Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan[3], diantaranya yaitu terhambatnya akses hutan untuk pemenuhan pangan, papan, maupun hak kesehatan warga Kasepuhan, pudarnya nilai-nilai Kasepuhan yang selaras dalam pengelolaan kekayaan alam, tingginya migrasi keluar Kasepuhan, serta munculnya beragam dimensi kemiskinan yang dialami dari generasi ke generasi Masyarakat Adat Kasepuhan.

Masyarakat Adat Kasepuhan terus dipersempit ruang hidupnya oleh kepentingan negara dan bisnis. Kepentingan konservasi ala negara melalui penguasaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), Perum Perhutani dengan kepentingan hutan produksi hingga perusahaan swasta untuk hutan produksi maupun pertambangan.

Praktis, kini wilayah adat dari setidaknya 522 Kasepuhan —yang diakui melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No.8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan— telah dikuasai oleh berbagai aktor kecuali Masyarakat Adat Kasepuhan itu sendiri.

Tidak heran, masyarakat memiliki kekhawatiran ketika hendak memanfaatkan sumber penghidupan dari hutan karena harus berhadapan dengan pemangku hutan yang diakui oleh negara. Pemuda adat Kasepuhan juga kerap mendengar cerita jaman baheula (jaman dahulu) dari orang tua perihal ketakutan masyarakat untuk menggarap lahan.

“Karena (status kawasan) taman nasional itu tidak boleh digarap, apalagi diambil kayu bakar (dari ranting pohon yang berjatuhan) atau yang lainnya. Jadi masyarakat itu ketakutan … untuk kerja atau menyangkul gitu (untuk menggarap lahan)”, terang Andri, salah satu pemuda adat Kasepuhan Jamrut (11/03/2025).

Dalam penelitian lain, Ina Marina dan Arya Hadi Dharmawan (2011)[4] juga mencatat bahwa Masyarakat Adat Kasepuhan ditakut-takuti akan diusir dari tempat tinggalnya. Masyarakat juga ditangkap ketika menggarap kebunnya karena dianggap melakukan perambahan hutan dan melakukan illegal logging. Tidak hanya itu, pihak Taman Nasional juga memasang plang pengumuman larangan memasuki kawasan konservasi baik di kebun maupun di depan rumah warga.

Dilema Sumber Penghidupan di Kampung

Dalam kacamata generasi muda di Kasepuhan, konflik-konflik di atas mereka rasakan setidaknya dalam dua hal. Pertama, keterbatasan sumber penghidupan di kampung.  Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang turut mempersempit garapan bagi generasi muda. Kedua, ketidakmampuan orang tua untuk menyekolahkan mereka secara optimal. Data yang dikumpulkan RMI pada 2019 menunjukkan bahwa 55% anggota masyarakat dari kelompok usia 17-40 tahun di Kasepuhan Cibarani dan Pasir Eurih merupakan lulusan SD dan hanya 9% yang merupakan lulusan SMA. Tiga tahun berselang, data dari empat Kasepuhan (Kasepuhan Cibarani, Pasir Eurih, Cirompang dan Cibedug) dan Baduy menyatakan bahwa dalam kelompok usia yang sama 53% merupakan lulusan SD, 10% lulusan SMA, dan hanya 3% lulusan Sarjana.

Keterbatasan akses lahan sebagai sumber mata pencaharian utama bagi keluarga Masyarakat Adat di Kasepuhan telah berdampak terhadap keberlangsungan jenjang pendidikan yang dapat ditempuh anak-anaknya.

“Saya berhenti SMA itu kelas 2 … Saya melihat kondisi ekonomi keluarga saya, karena tidak memungkinkan … Saya memutuskan berhenti sekolah”, ungkap Yadin, salah satu pemuda adat Kasepuhan Cirompang (11/03/2025).

Keterbatasan akses lahan juga telah membuat pemuda adat tidak memiliki banyak pilihan sumber penghidupan di kampungnya. Sebagian besar pemuda baik perempuan dan laki-laki akan bermigrasi ke kota untuk mencari berbagai jenis pekerjaan. Namun, dengan rendahnya jenjang pendidikan yang ditempuh membuat pemuda adat tidak bisa mengakses pekerjaan terampil sehingga hanya menjadi buruh murah di kota.

Biasanya perempuan akan bekerja sebagai pekerja rumah tangga atau pekerja garmen seperti busana maupun sandal/sepatu, dan laki-laki akan bekerja sebagai buruh peternakan, pekerja angkut sampah di komplek perumahan dan sebagainya. Dengan bekerja di kota, pemuda-pemuda adat tersebut biasanya diupah dalam kisaran Rp 700 ribu – Rp1,5 juta rupiah per bulan. Hal ini tidak sebanding dengan beban dan jam kerja yang harus ditempuh. Tidak jarang mereka bekerja lebih dari 8 jam tiap harinya.

“Jadi kita kerja di perumahan. Di satu sisi kita ada kerjanya di rumah (membersihkan rumah), ada kerja jaga anaknya kayak begitu, tapi kerja juga konveksi (pemilik rumah memiliki usaha konveksi sehingga diminta membantu mengerjakan salah satu komponen pekerjaan konveksi tersebut). Jadi kita itu dalam tiga pekerjaan, kita kerjakan semua”, jelas Jarsih, salah satu perempuan adat Kasepuhan Cibarani (11/03/2025).

Selain bermigrasi ke kota, pilihan lain bagi pemuda adat yaitu menjadi penambang emas ilegal atau gurandil dengan risiko yang sangat besar. Mereka akan masuk ke dalam lubang tambang dan mengambil material tanah yang mengandung emas lalu membawanya ke permukaan. Keterbatasan gerak tubuh dan kekurangan pasokan oksigen di dalam lubang tambang menjadi risiko yang harus ditanggung pekerja tambang, bahkan tidak sedikit juga yang tewas di dalam lubang tambang yang runtuh.

“Kalau nambang sih saya pernah ngalamin (karena hanya itu pilihannya)… tapi di dalam itu yang susah menurut saya, susah gerak dan cepat lemas pokoknya (karena kekurangan oksigen)”, tambah Andri.

Penghasilan dari aktivitas penambangan emas ilegal sangat bergantung terhadap jumlah emas yang didapatkan tiap bulannya. Belum lagi harus dibagi berdasarkan jumlah pekerja dan pemilik lubang tambang di lokasi tertentu.

Tantangan bagi Pemuda Adat di Kampung

Lokasi kasus dalam esai ini, diantaranya adalah Kasepuhan Cibarani dan Cirompang yang telah mendapatkan SK Hutan Adat, hanya Kasepuhan Jamrut yang masih dalam proses penetapan hak wilayah adatnya sebagai Hutan Adat yang saat ini masih berstatus Hutan Negara yang dikelola oleh TNGHS dan Perum Perhutani.

Pasca penetapan wilayah adat melalui SK Hutan Adat, masyarakat di Kasepuhan Cibarani dan Cirompang tidak lagi mengalami rasa was-was untuk menggarap dan memanfaatkan lahan garapannya. Masyarakat memiliki kebebasan untuk mengelola lahan sekaligus merasa bertanggung jawab untuk melestarikan hutan berdasarkan aturan adat yang berlaku. Teramati juga peningkatan minat para pemudanya untuk kembali ke kampung dan ikut serta dalam memanfaatkan tanah garapan.

Andri, Jarsih dan Yadin merupakan potret pemuda Kasepuhan yang kembali ke kampungnya. Mereka berperan aktif membangun komunitas baik bersama kelompok pemuda dan perempuan di kampungnya masing-masing.

Saat ini, Andri bersama kelompok pemuda di Kasepuhan Jamrut sedang melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif dalam rangka advokasi SK Hutan Adat[5]. Jarsih bersama kelompok perempuan di Kasepuhan Cibarani sedang mengembangkan produk olahan kue dan gula dari pohon aren. Adapula Yadin dan kelompok pemuda di Kasepuhan Cirompang juga berminat kembali menggarap lahan bersama orangtuanya.

“….sangat berminat sekarang. Dari segi pertanian itu sangat menguntungkan (jika dikelola dengan baik). Kita juga merasa memiliki kebebasan dalam mengelola … selagi itu bukan di area (sumber) mata air itu masih bisa dimanfaatkan … (dan) hutannya asal jangan alihfungsi aja”, ungkap Yadin.

Meskipun begitu, baik pemanfaatan lahan atau peningkatan nilai jual produk olahan pertanian tidak serta-merta cepat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kasepuhan. Keterbatasan ruang hidup akibat kebijakan tata batas lahan sejak Pemerintahan Kolonial Belanda hingga kini telah memiskinkan secara struktural. Artinya tidak hanya soal keterbatasan akses kekayaan alam sebagai sumber mata pencaharian, tetapi juga akses pengetahuan melalui pendidikan formal maupun non-formal dan fasilitas layanan dasar lain yang seharusnya dapat dinikmati merata sebagai warga negara Indonesia.

Salah satu bentuk akses pengetahuan yang diharapkan pemuda adat Kasepuhan adalah mengenai sistem pertanian terpadu dan pengembangan produk olahan pasca panen yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Tentu pengetahuan ini seharusnya dapat digali dari kearifan lokal atau sesuai dengan kontekstual sosial-budaya masyarakat.

“Jadi saya itu inginnya di masyarakat adat itu ada sistem pelatihan pertanian yang lebih menguntungkan (secara ekonomi). Misalkan pelatihan kayak pemeliharaan dan pemasarannya gimana. Saya berharap di Kasepuhan kita punya koperasi. Karena itu (jadi) lebih mudah. Warga bisa menjual ke kita, ke koperasi, hasil tani mereka. Terus kita yang jual ke luar”,  jelas Yadin kembali.

Namun harapan itu masih sekedar wacana, belum ada realisasi perencanaan apalagi implementasi menjadi program tertentu. Masyarakat masih terkendala faktor pendukung yang kurang memadai.

Harapan terhadap RUU Masyarakat Adat

Dalam buku Reforma Agraria untuk Pemula (Gunawan Wiradi, 2005)[6], kita akan memahami bahwa pembaruan agraria seharusnya tidak berhenti pada masalah redistribusi tanah saja. Redistribusi tanah harus menjadi satu paket dengan infrastruktur penunjang pembaruan secara keseluruhan seperti program perkreditan, penyuluhan, pendidikan dan pelatihan, teknologi, pemasaran dan lain-lain. Landreform plus program-program penyiapan infrastruktur itulah yang disebut reforma agraria.

Dengan pola yang sama, penetapan Hutan Adat seharusnya tidak hanya selesai pasca penetapan atau pemberian SK Hutan Adat saja. Harus ada infrastruktur penunjang berupa program-program untuk meningkatkan kesejahteraan Masyarakat Adat. Penetapan hak wilayah adat melalui SK Hutan Adat seharusnya hanya menjadi jembatan atau basis pembangunan bagi Masyarakat Adat.

Kemudian kembali masuknya RUU Masyarakat Adat dalam prolegnas menjadi harapan atas kepastian hak pemuda adat sebagai penerus generasi dalam komunitasnya. RUU Masyarakat Adat seharusnya menjadi titik mula pengakuan dan penetapan hak-hak Masyarakat Adat dalam pengelolaan kekayaan alam.

Tidak berhenti disitu, pengakuan dan penetapan hak juga harus disertakan program-program infrastruktur penunjang seperti yang disampaikan oleh Gunawan Wiradi sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat menuju kesejahteraan lahir-batin (well-being). Keresahan pemuda atas sumber penghidupan di kampung harus bisa diatasi  secara komprehensif melalui RUU Masyarakat Adat untuk keberlanjutan Masyarakat Adat sendiri serta kelestarian berbagai kekayaan alam di wilayah adatnya.

Penulis:
Bambang Tri Daxoko
Staf Pengelolaan Pengetahuan di RMI – Indonesian Institute for Forest and Environment
Tulisan dapat diunduh pada tautan dibawah ini:
Keresahan Pemuda Kasepuhan terhadap Ketidakpastian Hak Masyarakat Adat
Published: April 18, 2025
Thank you for your vote!
Post rating: 5 from 5 (according 1 vote)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top