Dinamika dan Penguatan Peran Pemda dalam Penyelenggaraan SVLK

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan pada tahun 2009 dan mulai diimplementasikan pada bulan September 2010, merupakan mekanisme verifikasi terhadap keabsahan kayu dan produk kayu yang diperdagangkan atau dipindahtangankan. SVLK menjadi sentral dalam perjanjian kemitraan antara Indonesia dan Uni Eropa karena dapat digunakan sebagai Sistem Jaminan Legalitas Kayu (Timber Legality Assurance System). Di bawah sistem ini, semua produk yang tercakup dalam perjanjian tersebut harus memiliki lisensi legal agar dapat memasuki pasar Uni Eropa.

Jaminan legalitas produk hasil hutan harus dibuktikan dengan adanya sistem yang dibangun dalam pergerakan hasil hutan (kayu) dari hulu, hilir sampai ke pasar. Hulu yaitu asal usul sumber kayunya, hilir yaitu industri pengolahan yang mengkonsumsi kayu kayu yang jelas sumber kayunya, dan pasar domestik dan internasional yang hanya memperdagangkan produk hasil hutan yang berasal dari sumber legal/lestari.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan instrumen untuk memperbaiki akses pasar bagi produk-produk dan tata kelola kehutanan Indonesia. Ini merupakan instrumen penjaminan legalitas kayu yang pertama di dunia yang sekaligus sejalan dengan asas-asas Lisensi Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Hutan (FLEGT), yang disepakati dalam persetujuan kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa (KLHK 2013). SVLK disebutkan dapat mendukung perbaikan tata kelola hutan dalam aspek penegakan hukum, akuntabilitas, partisipasi, transparansi, dan koordinasi (Miniarti dkk. 2018). Oleh karenanya, SVLK mendukung upaya Indonesia dalam memutus rantai pasok kayu ilegal dan membangun reputasi produk kayu yang lebih baik.

Implementasi sistem sertifikasi ini melibatkan peran aktif berbagai pihak, termasuk pemerintah (pusat dan daerah), organisasi masyarakat sipil, serta sektor swasta. Di dalam sistem ini, pengecekan serta validasi kebenaran data akan dilakukan pada setiap titik di dalam rantai pasokan. Kegiatan verifikasi di lapangan dan validasi data dilakukan oleh petugas dinas kehutanan di tingkat kabupaten dan provinsi, sedangkan lembaga sertifikasi independen melakukan audit terhadap unit usaha dan industri berbasis kayu disepanjang rantai pasok. Untuk pengawasan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah (daerah) dan lembaga penilai saja, namun pemantau independen juga berperan untuk melakukan fungsi check and balance untuk menjaga kredibilitas dari pelaksanaan SVLK di Indonesia.

Penerapan SVLK tidak hanya diwajibkan bagi usaha berskala besar saja tetapi juga pada usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Implementasi SVLK telah dicanangkan secara kebijakan mandatori yang berlaku bagi semua skala usaha di Indonesia. Kemajuan penerapan sertifikasi SVLK untuk perusahaan kehutanan besar cukup baik, berbeda dengan industri kecil menengah (IKM) dan petani hutan rakyat (HR) memiliki kesulitan tersendiri untuk memenuhi standar SVLK.

Sampai awal Desember 2020 tercatat sebanyak 3.071 perusahaan yang memiliki sertifikat legalitas kayu (LK). Walaupun informasi terperinci tentang komposisi pemegang lisensi FLEGT belum tersedia, diduga sebagian besar lisensi ini dimiliki oleh usaha berskala besar. Jumlah usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang tersertifikasi SVLK masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah UMKM sektor perkayuan yang tercatat di Indonesia. Laporan BPS (2020) menunjukkan terdapat sekitar 145 ribu usaha mebel dan 658 ribu unit usaha pada industri kayu dan barang dari kayu (tidak termasuk mebel) dalam kategori usaha mikro dan kecil. Jika angka ini dibandingkan dengan jumlah unit usaha yang ber-SVLK (3.071), maka terlihat bahwa jumlah usaha yang sudah ber-SVLK masih sangat sedikit.

Laporan kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengamanan Hutan (Dit. PPH), Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2019, menunjukan bahwa illegal logging tidak hanya terjadi di dalam konsesi HPH dan HTI, melainkan terjadi juga di kawasan yang belum dibebani izin dan masuk ke wilayah kelola Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pemantau independen juga menemukan indikasi terjadinya illegal logging di beberapa Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), diantaranya: Kapuas Hulu, Berau Barat (FWI, 2018-2019) dan KPHP Unit III Lalan Mangsang Mendis (JPIK, 2020).

Sebagai unit pengelola terkecil di tingkat tapak, maka KPH berfungsi melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan; melaksanakan pengawasan dan pengendalian atas kegiatan pengelolaan hutan; dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di wilayah kerjanya. Hal ini menjadikan keberadaan dan fungsi KPH menjadi salah satu aktor kunci dalam keberhasilan penerapan SVLK di tingkat daerah (tapak).

Kurangnya pemahaman di level masyarakat karena diduga masih kurang masifnya sosialiasi yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut Suryandari, E.Y, et al. (2017), faktor koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, menyebabkan informasi tidak diterima secara jelas oleh masyarakat. Ketidakjelasan tersebut cukup terasa di tingkat masyarakat pengelola hutan rakyat. Koordinasi antar para pemangku kepentingan (stakeholder) masih lemah hingga tidak adanya koordinasi dalam implementasi SVLK terhadap dinas kehutanan maupun dinas perindustrian dan perdagangan setelah pelaksananan verifikasi dan status sertifikasi industri/hutan rakyat.

Untuk tertibnya kebijakan Penjaminan Legalitas Hasil Hutan melalui instrumen SVLK, maka Menteri Lingkungan Hidup & Kehutanan dan Gubernur sesuai dengan kewenangan masing-masing akan melakukan pembinaan dan pengendalian (PermenLHK 8/2021). Sebagai kepala daerah, Gubernur menugaskan kepada DLHK/Dishut selaku unsur pelaksana pemerintah daerah, untuk melakukan koordinasi, konsultasi, supervisi, pembinaan, pengawasan, pengendalian, fasilitasi, identifikasi, sosialisasi, sampai melakukan audit kepatuhan.

Walaupun pemerintah (daerah) telah berupaya menjembatani agar pelaksanaan SVLK berjalan baik dengan kebijakan dan program yang relevan, namun faktanya masih ditemukan kesenjangan (gap), antara kebijakan dan rencana program dengan realitas pelaksanaannya. Kondisi ini tentunya membutuhkan upaya penguatan dan sinergi para pihak agar pelaksanaan kebijakan SVLK berjalan dengan baik. Di sisi lain, pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam mendukung dan memfasilitasi proses pelaksanaan SVLK. Melalui dukungan kebijakan secara langsung untuk penerapan SVLK maupun dukungan lainnya, misalnya penyediaan anggaran, pendampingan dan dukungan pelaksanaan komponen-komponen yang terkait SVLK.

Selengkapnya dapat dibaca dan diunduh pada tautan dibawah ini:
Dinamika dan Penguatan Peran Pemda dalam Penyelenggaraan SVLK
Published: Februari 10, 2022
Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top