BIOMASSA PLTU: Hutan Alam Ditebang, Utang Karbon Datang

Pemanfaatan biomassa dengan cara dibakar, termasuk untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang dipenuhi dari pembangunan kebun kayu atau hutan tanaman energi (HTE) hanya akan menghasilkan hutang emisi karbon dioksida. Sebab, biomassa yang diproduksi berasal dari kerusakan hutan alam.

Manajer Komunikasi, Kerjasama, dan Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, mengatakan hutan alam adalah salah satu ekosistem yang paling banyak menyimpan karbon dibanding hutan tanaman. Diketahui, setiap hektare hutan alam dapat menyimpan karbon sebanyak 254 ton. Sedangkan hutan tanaman dapat menyimpan karbon hanya 107,86 ton karbon per hektare.

“Artinya, konversi 1 hektare hutan alam menjadi hutan tanaman melalui land clearing hanya akan menghasilkan hutang emisi karbon sebesar 146,14 ton karbon-C per hektare. Belum lagi emisi yang dihasilkan dari pembakaran di pembangkit listrik,” kata Anggi, dalam sebuah rilis, 31 Juli 2024.

Biomass Action Network, kata Anggi, memperingatkan berbagai dampak pemanfaatan biomassa hutan untuk energi. Emisi dari pembangkit listrik tenaga biomassa diperkirakan menghasilkan emisi yang sama besarnya dengan PLTU, sehingga biomassa tidak bisa digolongkan sebagai neutral carbon.

Penggiat lingkungan membentangkan poster yang mendesak berhentinya PLTU batu bara, termasuk dengan campuran biomassa, program pemerintah yang dikhawatirkan dapat memicu deforestasi. Dok Trend Asia
Penggiat lingkungan membentangkan poster yang mendesak berhentinya PLTU batu bara, termasuk dengan campuran biomassa, program pemerintah yang dikhawatirkan dapat memicu deforestasi. Dok Trend Asia

“Belum lagi jika menghitung emisi dengan penggunaan pupuk kimia dan pembukaan hutan secara masif atau perhitungan hulu-hilir tidak memisahkan antara sektor energi dan sektor hutan lahan,” kata Anggi.

Anggi melanjutkan, nya pemanfaatan biomassa yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan akan memicu konversi hutan dan lahan secara besar-besaran. Proyek biomassa hanya akan meningkatkan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia semakin tinggi dan mendorong terjadinya deforestasi secara terencana atas label hijau terbarukan.

Aktor-aktor perusahaan yang selama ini bercokol di kehutanan, pertanian, dan pertambangan akan memanfaatkan berbagai skema kemudahan perizinan untuk turut andil dalam bisnis biomassa. Indonesia, katanya, sebagai salah satu pewaris hutan hujan tropis terbesar di dunia, telah lama berjuang melawan deforestasi. Lahirnya revisi kebijakan energi dengan mendorong biomassa sebagai sumber energi terbarukan, dikhawatirkan akan meningkatkan laju deforestasi.

“Dengan demikian, ini langkah keliru yang hanya akan menjauhkan Indonesia dari capaian target bauran energi dan target capaian pengurangan emisi dari sektor hutan dan penggunaan lahan (Forest and Other Land Use/FoLU) dan sektor energi,” ucapnya.

Anggi menjelaskan, biomassa terutama yang berasal dari kernel sawit dan kayu akan mendorong terjadinya deforestasi melalui pembukaan hutan dan lahan baru di Indonesia. Biomassa dengan dijadikan sebagai bahan baku untuk energi listrik merupakan bisnis baru terutama bagi pelaku usaha di Indonesia yang basisnya hutan, lahan, dan kebun. Oleh karena itu, bisnis ini tidak akan mengubah preferensi usaha yang sudah berjalan bahkan mengubah rantai pasok komoditas.

Bisnis ini, menurut Anggi, justru akan membuka hutan dan lahan baru untuk memenuhi kebutuhan pasar baik domestik maupun ekspor. Misalnya dengan perhitungan luas tanaman dengan konsesi HTI yang diberikan ke perusahaan berkisar pada 30 sampai 50 persen, dimana lahan tersebut untuk memenuhi pasar bubur kertas dan kayu pertukangan saja.

Maka untuk memenuhi kebutuhan biomassa, dibutuhkan lahan baru untuk membangun hutan tanaman energi. Diproyeksikan deforestasi dari bisnis biomassa kayu dapat mencapai 4,65 juta hektar dengan diberlakukannya kebijakan multiusaha tanaman energi. “Angka tersebut dihitung dari aksesibilitas perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dan Perhutanan Sosial (PS) ke lokasi PLTU co-firing di Indonesia,” ujarnya.

Biomassa Mempertajam Ketimpangan Penguasaan Hutan dan Lahan

Anggi menjelaskan, demand (permintaan) baru terhadap komoditas biomassa terbilang tinggi terutama bagi pasar ekspor. Dorongan biomassa sebagai sumber energi terbarukan di kebijakan energi nasional ditambah kemudahan perizinan dari sektor kehutanan, melahirkan terbitnya izin-izin baru berbasis tanaman energi. “Hingga saat ini bisnis biomassa dijalankan oleh korporasi yang terafiliasi dengan grup-grup besar dengan sebagian berupa PMA (penanaman modal asing),” tutur Anggi.

Lebih lanjut Anggi menguraikan, lahirnya izin baru untuk mengembangkan bisnis biomassa dapat berasal dari beberapa pintu. Pertama, aktivasi izin pada areal eks Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pada izin-Izin HPH sepanjang 1998 sampai 2005, FWI (2024) mencatat izin-izin yang sudah tidak aktif (berupa eks HPH) dan belum dibebani izin dapat mencapai 35,8 juta hektar di seluruh Indonesia. “Kami mendalami kasus ini di Provinsi Gorontalo, di mana lahirnya izin-izin baru berasal dari areal eks HPH,” katanya.

Saat ini, imbuh Anggi, setidaknya terdapat 6 izin baru yang akan terbit dan sudah komitmen mengusahakan hutan tanaman energi, antara lain PT Hutani Cipta, PT Keia Lestari Indonesia 1, PT Lumintu Ageng Joyo, PT Keia Lestari Indonesia 2, PT Nawa Waskita Utama, dan PT Sorbu Argo Energi. Semua izin tersebut berupa HTE yang dibebankan di atas fungsi kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas di Kabupaten Boalemo, Pohuwato, dan Gorontalo Utara dengan total luas sekitar 180.600 hektare.

Yang kedua, izin yang diberikan langsung dari arahan pemanfaatan hutan produksi KLHK. FWI, kata Anggi, mencatat luas areal yang disasar terbitnya izin baru yang berasal dari peta arahan menteri LHK tahun 2021 mencapai 13.594.912 hektare. Di mana 1.376.746 hektarenya merupakan berasal dari arahan pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (HHK-HT) atau HTI dan HTE.

Yang ketiga, izin yang berasal dari areal pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit (eks perkebunan sawit) dari KLHK. Dari catatan FWI, KLHK sampai data terkompilasi hingga 2021 telah melakukan pelepasan kawasan hutan dengan total 5,9 juta hektare. Yang mana 5,5 juta hektarenya untuk perkebunan sawit. “Kami mendalami kasus ini di Gorontalo. Terjadi transformasi izin-izin perkebunan kelapa sawit yang mendapatkan amnesti dari KLHK,” ucap Anggi.

Pada 2020, sambung Anggi, KLHK menerbitkan izin berupa penetapan pemanfaatan hutan hak bagi 2 perusahaan eks perkebunan sawit di Gorontalo, yakni PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL), dengan luas masing-masing 15.493,42 hektare dan 11.860,10 hektare. Dua perusahaan ini memanfaatkan kayu hutan alam dengan cara land clearing atau mendeforestasi hutan di dalam konsesi mereka untuk dijadikan bahan baku wood pellet di perusahaan PT Biomassa Jaya Abadi (BJA).

Diketahui pula, dua perusahaan tersebut telah berkomitmen untuk mendeforestasi hutan alam agar dapat memenuhi kebutuhan produksi PT BJA ekspor wood pellet ke Korea Selatan dan Jepang melalui perusahaan Hanwa co. Di Korea Selatan dan Jepang, biomassa wood pellet diklaim sebagai sumber energi terbarukan karena dianggap netral karbon. Padahal sesungguhnya tidak, karena berasal dari deforestasi hutan alam.

“Penerbitan izin-izin baru untuk pemanfaatan biomassa hanya akan memperpanjang konflik agraria dan penguasaan hutan lahan oleh korporasi. Serta izin hanya akan diberikan kepada korporasi sehingga hanya akan memperluas areal yang dikuasai korporasi dan mempersempit ruang hidup masyarakat dan masyarakat adat,” kata Anggi.

Sumber tulisan ini berasal dari Betahita.id

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top