Tinggalkan Bioenergi Berbasis Hutan untuk Transisi Energi, Paslon Mana yang Berani?

Indonesia berada di urutan ke-8 negara penyumbang gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia. Tren ini perlu dibuat melandai dengan segera beralih ke energi rendah karbon. Penurunan emisi karbon ini, sebagaimana diketahui, juga menjadi konsensus banyak negara peserta COP 28, di Dubai, Uni Emirat Arab, tahun lalu.

“Oleh karena itu, kita harus segera transisi ke energi rendah karbon. Saya sebut energi rendah karbon, karena tidak semua energi baru terbarukan itu rendah karbon,” kata Direktur Eksekutif Traction Energy Asia, Tommy Pratama, dalam diskusi Meneropong Bioenergi di Tangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029, beberapa waktu lalu.

Tommy menyampaikan bahwa potensi energi bersih di Indonesia, berdasarkan data Dewan Energi Nasional, mencapai 3.687,4 GW. Itu terdiri dari energi surya 3.294,4 GW, angin 155 GW, hidro 95 GW, arus laut 63 GW, bioenergi 57 GW, dan panas bumi 23 GW.

Adapun sebaran wilayah potensialnya yaitu: surya (NTT, Riau, Sumatera Selatan); angin (Maluku dan Papua); hidro (Papua dan Kalimantan Utara); arus laut (Bali, Maluku, NTB); bioenergi (Riau dan Jawa Barat); serta panas bumi (Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Lampung).

Saat ini, pemerintah tengah menggalakkan penggunaan bioenergi dalam upaya transisi energi. Sebut saja, mendorong peningkatan biofuel untuk B30 menjadi B40, dan seterusnya. Serta, penggunaan biomassa untuk co-firing PLTU.

Namun, Tommy mengingatkan bahwa bioenergi ini merupakan isu yang kompleks, karena berpotensi mengganggu ketahanan pangan dan lahan. Mengutip data GAPKI 2022, konsumsi CPO untuk kebutuhan pangan pada 2017 sebesar 8,15 juta ton. Pada periode sama konsumsi CPO untuk kebutuhan biodiesel hanya 2,22 juta ton.

Sedangkan pada 2022, konsumsi CPO untuk kebutuhan pangan sebesar 9,6 juta ton (outlook). Pada periode sama, konsumsi CPO untuk biodiesel meningkat pesat tembus 8,8 juta ton (outlook).

“2022 hampir menyamai, atau malah lebih kalau baurannya ditingkatkan dari B35 jadi B40. Karena makin tinggi kandungannya, maka akan semakin banyak kelapa sawit yang dibutuhkan, semakin sedikit pula kelapa sawit yang bisa digunakan untuk makanan,” sebut Tommy.

Selain itu, penggunaan bioenergi nyatanya tidak benar-benar rendah emisi. Hasil kajian Traction Energy Asia pada 2022, rentang emisi yang dihasilkan dalam produksi biofuel CPO berkisar antara 0,56 ton CO2eq/ton CPO hingga 16,04 ton CO2eq/ton CPO.

“Ketika kita menghitung emisi yang dimunculkan biofuel, atau biodiesel yang paling besar di Indonesia, itu tidak boleh hanya dihitung dari combustion-nya. Tetapi, harus dihitung berdasarkan daur hidupnya, mulai dari pembukaan lahan hutan, pengelolaan kelapa sawit termasuk pabrik kelapa sawitnya, refinery, sampai dia dibakar di mesin atau PLTD,” terang Tommy.

Dalam kesempatan sama, Manager Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani mengatakan, bioenergi bukanlah solusi bagi transisi energi. Trend Asia memperhitungkan dibutuhkan setidaknya 10,2 juta ton biomassa untuk menyuplai 10 persen biomassa untuk co-firing 52 PLTU.

“Perhitungan kami, akan ada deforestasi 1 juta hektare (Ha) untuk pengadaan biomassa untuk 52 PLTU co-firing,” katanya. “Apakah paslon-paslon berani menggagalkan deforestasi terencana yang memang sudah ada di program pemerintah sekarang?” lanjut Amalya.

Di sisi lain, co-firing 52 PLTU dengan biomassa justru menghasilkan surplus 26,48 juta ton emisi karbon. Dampak ekologi lainnya yaitu hilangnya keanekaragaman hayati serta terjadinya krisis pangan dan hilangnya kedaulatan pangan terutama pangan lokal.

Adapun dampak sosial yang timbul antara lain perampasan lahan, penyingkiran masyarakat dari wilayah kelolaannya, perubahan status masyarakat dari pengelola lahan menjadi sekadar buruh, dan hilangnya kearifan lokal. Sementara itu dampak ekonominya berupa kerusakan lingkungan di sekitar PLTU yang menyebabkan produktivitas petani dan nelayan menurun, sehingga pendapatan mereka pun berkurang.

Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga menambahkan, tata kelola hutan yang berkeadilan harus memenuhi syarat transparansi, partisipasi, akuntabilitas, juga penegakan hukum. Anggi mendorong ketiga paslon untuk mengkaji kembali apakah bioenergi berbasis hutan perlu dimanfaatkan untuk transisi energi. Pasalnya, FWI sendiri memproyeksikan deforestasi hutan alam untuk memenuhi kebutuhan transisi energi mencapai 4,65 juta Ha.

Anggi juga menyoroti hutan alam di pulau-pulau kecil. Menurutnya, banyak kebijakan di sektor hutan, energi, pangan, pertanian, masih bias darat dan pulau besar. Hasil inventarisasi FWI menunjukkan jumlah pulau-pulau kecil di Indonesia mencapai 19.108 pulau, dengan luas hutan alam mencapai 3,45 juta Ha atau separo dari luas wilayah pulau-pulau kecil.

“Mencapai target (EBT) 23 persen pada 2023 harus dimunculkan dari tingkat tapak. Tidak bisa dimunculkan dari nasional, dari meja menteri. Pendekatannya pun tidak bisa menyamakan pulau kecil dengan pulau besar, tidak bisa menyamakan pulau kecil satu dengan lainnya,” pungkasnya.

Sumber tulisan ini berasal dari jawapos.com

Thank you for your vote!
Post rating: 0 from 5 (according 0 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top