RUU KSDAHE : Tak Boleh Ada Celah Destruktif Terhadap Lingkungan

Lemahnya komitmen penegakan hukum yang memberikan efek jera terhadap pelaku perusakan sumber daya alam mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan, hilangnya hutan alam, habitat satwa dan flora, serta depopulasi keystone species. Publik pun mendorong lahirnya Undang-Undang KSDAHE sebagai kebijakan yang memiliki kekuatan hukum di atas undang-undang lain. Bukan sekadar revisi.

Keanekaragaman hayati di Indonesia, kini, dihadapkan pada berbagai macam persoalan. Kerusakan lingkungan telah menyebabkan hilangnya habitat dan kepunahan spesies. Catatan Forest Watch Indonesia (FWI), selama kurun waktu 2017-2021, Indonesia harus kehilangan 10,16 juta hektare (Ha) hutan pada berbagai tipe ekosistem, yakni mangrove, karst, gambut, pesisir, pulau-pulau kecil, maupun hutan dataran.

Sebanyak 90 persen kerusakan sumber daya alam terjadi di luar kawasan konservasi, seperti pada fungsi hutan produksi dan fungsi hutan lindung. Potret tersebut menunjukkan lemahnya komitmen kebijakan dan para aktor dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem (KSDAHE).

Sayangnya, pembahasan RUU KSDAHE yang kini memasuki tahap pembahasan tingkat I dilakukan secara tertutup, sehingga menimbulkan persepsi negatif. Pembahasan RUU KSDAHE dilakukan oleh Panja di Komisi IV DPR RI dengan 588 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Oleh karena itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengundang perwakilan Anggota Tim Panja RUU KSDAHE Komisi IV DPR RI dan akademisi dengan menggelar diskusi publik bertajuk Dialektika Demokrasi: Kedaulatan Konservasi Indonesia.

Anggota Tim Panja RUU KSDAHE Komisi IV DPR RI, T.A Khalid menjelaskan bahwa selama ini UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE menjadi dasar hukum konservasi di Indonesia. “Dan, sudah 33 tahun berjalan, banyak permasalahan yang terjadi,” kata Khalid.

Lebih lanjut dia mengatakan, dengan adanya berbagai perubahan kebijakan dan wewenang di setiap level pemerintah, undang-undang konservasi ini perlu diperkuat. Dengan begitu, UU KSDAHE yang saat ini sedang dibahas dan akan disahkan nantinya bisa relevan dengan zaman dan kondisi saat ini.

Khalid menambahkan, per 27 November 2023, ada lebih kurang 588 DIM yang diusulkan oleh pemerintah. Ada beberapa pasal yang terus akan dikawal oleh Panja dan DPR untuk disahkan melalui rapat Paripurna dalam masa Persidangan III tahun 2023/2024.

“Ada sembilan poin substansi penting yang sedang dibahas berkaitan dengan kewajiban dan wewenang pelaksanaan kegiatan konservasi, perubahan nomenklatur pada ekosistem penting di luar kawasan konservasi, pengaturan peran serta masyarakat termasuk MHA (masyarakat hukum adat), pendanaan dan sanksi,” jelas Khalid dalam diskusi kerja sama FWI, Garda Animalia, IPC, YAPEKA, Sawit Watch dan Satya Bumi ini.

Undang-undang KSDAHE yang ada saat ini, yakni UU 5/1990 dinilai belum memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan satwa liar. Riset yang dilakukan oleh Garda Animalia mengungkap terdapat 1.367 perkara kejahatan terhadap satwa liar yang diputus oleh Mahkamah Agung selama periode 2011-2023. Dari putusan tersebut menghasilkan vonis rata-rata pidana penjara 11 bulan dan pidana denda Rp 30 juta.

Wildlife Conservationist and Criminologist dari Wildlife Conservation Society Dwi Nugroho Adhiasto mengatakan, dari beberapa kasus kejatahan satwa, hampir 100 persen pelaku lebih memilih ditambah masa pidana kurungannya dibandingkan membayar pidana denda. Masalah lainnya, hampir semua pelaku tingkat tinggi seperti eksportir, pendukung finansial, dan pelaku yang menyediakan rekening bersama, sulit dijerat dengan UU 5/1990 ini.

“Harusnya ada sebuah peluang dalam RUU yang sedang dibahas ini untuk dihubungkan dengan UU Pencucian Uang (TPPU),” ujar Dwi, dikutip dari laman FWI. 

Pada kesempatan sama, akademisi dari Universitas Indonesia Mia Siscawati menyampaikan, RUU KSDAHE ini diharapkan dapat mengombinasikan antara kepentingan konservasi dan kemanusiaan. Sehingga regulasi ini bisa menjadi upaya untuk merawat, melanjutkan, memperkuat langkah-langkah, atau aksi untuk konservasi yang lebih baik.

UU KSDAHE yang akan disahkan nanti, diharapkan dapat memberikan penghargaan pengetahuan kepada Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan kelompok masyarakat lokal yang sangat beragam. “Intinya adalah kita memiliki semangat yang seimbang bukan hanya pendekatan ekonomi dan SDA saja, tapi perlu dipikirkan mencari jalan yang terbaik agar tidak mudah mengkriminalisasi kelompok-kelompok masyarakat yang berasal dari kesejahteraan yang sangat kompleks, yang sudah ada disana sebelum adanya penetapan dan perubahan serta pengukuhan selesai dilakukan,” katanya.

Akademisi dari Unpatti, Prof. Agustinus Kastanya, juga menanggapi RUU KSDAHE yang belum fokus menyelesaikan permasalahan di pulau-pulau kecil. Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam proses penyempurnaan RUU KSDAHE.

Pertama, RUU ini harus bisa menjamin bahwa konservasi menjadi arus utama dalam pengelolaan sumber daya alam hayati dan tidak bisa dikalahkan oleh UU lain yang merusak seperti UU Cipta Kerja, UU Pertambangan, dan sebagainya. Kedua, terkait pesisir dan pulau-pulau kecil, pengelolaan saat ini yang bersifat sektoral dianggap sangat merusak.

“Padahal dengan karakteristik pulau-pulau kecil yang rentan, pengelolaannya harus menjadi satu kesatuan darat dan laut (Landscape-Seascape),” pungkasnya.

Sumber tulisan ini berasal dari JawaPos.com

Thank you for your vote!
Post rating: 4.5 from 5 (according 4 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top