Overview Urgensi Transisi Energi Berkeadilan Untuk Pencegahan Deforestasi
Bogor, Kamis 31 Agustus 2023. Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik, IPB University bekerjasama dengan Forest Watch Indonesia, CFES Dan Para Praktisi lembaga Swadaya Masyarakat mengadakan focus group discussion (FGD) untuk yang keempat. Tema yang diangkat, yakni “Urgensi Transisi Energi Berkeadilan Untuk Pencegahan Kerusakan Sumber Daya Alam dan Deforestasi (Land Based) : Perspektif Pendanaan Berkelanjutan” yang dilaksanakan di ruang sidang Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3), Kampus IPB University Baranangsiang. Kegiatan ini dibuka oleh Prof. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi dan Pengembangan Masyarakat Agromaritim. Pemantik diskusi terdiri dari Forest Watch Indonesia, Trend Asia, dan PUSHEP. Selain itu menghadirkan juga penangap diskusi yang berasal dari Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), CFES, dan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University.
Komitmen Indonesia dalam penanganan Gas Rumah Kaca yang diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement, memandatkan untuk menurunkan emisi yang sesuai pada dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia mengajukan “Enhanced NDC” kepada Sekretariat UNFCCC dengan target penurunan emisi yang meningkat dari 29 persen di NDC pertama dan NDC yang diperbarui menjadu 31,89 persen tanpa syarat (BAU) dan dari 41 persen di NDC pertama, kemudian diperbarui menjadi 43,20 persen bantuan internasional pada 2030. NDC yang ditingkatkan ini adalah transisi menuju NDC kedua Indonesia yang akan diselaraskan dengan Long Term Carbon and Climate Resilience Strategy (LTS-LCCR). Dalam dokumen NDC telah menetapkan target mitigasi ambisius untuk sektor hutan & penggunaan lahan dan energi yang menyumbang sekitar 97 persen dari total komitmen nasional. Beberapa isu dan fakta penting dalam proses transisi energi Indonesia terutama yang memiliki konsekuensi terhadap hutan dan lahan (land based).
Upaya meningkatkan bauran energi baru terbarukan sebanyak 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada 2050 adalah sebagai upaya pengurangan emisi, yang memiliki konsekuensi signifikan terhadap sektor hutan dan lahan. Percepatan bauran energi baru terbarukan salah satunya dapat dilakukan melalui Substitusi Energi Primer/Final, dengan tetap menggunakan eksisting teknologi, yaitu program B30, B50, dan cofiring. Sumber energi yang dimaksud berupa biomassa kayu dan bahan bakar nabati (BBN/Biofuel/Biodiesel). Keduanya sangat erat dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya hutan dan lahan.
Pemenuhan pengadaan tanah dan lahan untuk memenuhi target bauran energi, dapat berasal dari perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, dan pemanfaatan hutan. Dalam pemenuhan pengadaan tanah dan lahan untuk memenuhi target produksi biomassa kayu, KLHK telah mengalokasikan 1,29 juta hektar Hutan Tanaman Energi pada konsesi perusahaan pemegang IUPHHK-HT alias Hutan Tanaman Industri dan menargetkan pembangunan 31 HTE di Indonesia. Perum Perhutani juga berkomitmen dengan mengalokasikan sebesar 120 ribu Ha untuk energi.
Sudah ada 13 perusahaan pemegang izin IUPHHK-HT (HTI-Hutan Tanaman Industri) yang sudah mengajukan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan bahkan sudah melakukan pembangunan Hutan Tanaman Energi pada areal izin/ konsesinya. Ke-13 perusahaan HTI tersebut telah mengalokasikan areal untuk energi seluas 142.172 Ha dengan realisasi tanaman sampai 2020 adalah sebesar 8.848 Ha. Jika mengacu pada dokumen Rencana Operasional FoLU Net Sink 2030, pengembangan HTE termasuk pada rehabilitasi rotasi.
Sayangnya, dari data FWI menunjukan, telah terjadi deforestasi sebesar 55,54 ribu Ha selama kurun waktu 2017 sampai 2021 dari 13 perusahaan HTI sebagai implementor Hutan Tanaman Energi. Jika dihitung pada sisa hutan alam tersisa di dalam 31 konsesi HTE[1] maka seluas 420 ribu hektar hutan alam tersisa di dalam konsesi tersebut dalam status deforestasi yang direncanakan[2]. Untuk memenuhi target pengembangan HTE masih berasal dari hutan alam atau dengan merusak hutan.
“Kalau memang ini yang dinamakan transisi energi maka yang pertama harus dilakukan adalah memastikan hutan alam terselamatkan. Jangan sampai dalam konteks transisi energi ini justru malah menjadi masalah baru yang berujung pada driver kerusakan hutan alam. Sayangnya dari hasil temuan kami, dari 13 Perusahaan HTI yang melakukan penanaman energi atau HTE, justru ditemukan 55 ribu Ha hutan alam yang telah rusak. Dan kemudian dengan komitmen pada 31 perusahaan HTE di Indonesia, ada sekitar 420 ribu hektar hutan alam yang di rencanakan untuk dirusak. Dan ini memang untuk memenuhi target produksi biomassa dalam kebutuhan bauran bioenergi. Sehingga saya pikir ini seharusanya dibicarakan betul-betul ,diputuskan betul-betul mempertimbangkan banyak hal terutama dalam konteks penyelamatan hutan alam apakah transisi energi ini solusi bagi permasalahan perlindungan hutan atau justru malah dia menimbullkan masalah baru.”
Anggi, Manager Kampanye dan Intervensi Kebijakan, Forest Watch Indonesia
Dr. Ir. Bahruni, MS. Dosen Dapartemen Manajemen Hutan, IPB University yang menjadi penanggap secara online dalam FGD tersebut turut memberikan pandangannya. Pentingnya keterbukaan informasi dan peran serta publik dalam melakukan check and balance terhadap proses penentuan areal-areal HTE di Indonesia. HTE seharusnya dibangun diatas areal yang tidak berhutan sehingga dapat mencegah terjadinya deforestasi. Selain itu juga tidak dipengaruhi oleh isu-isu politik apalagi korupsi.
“perbaikan tata kelola lahan untuk HTE, perlu keterbukaan informasi dan kontrol publik untuk calon-calon areal HTE (spt. PIAPS). Areal HTE (dialokasikan) areal tidak berhutan yang mencapai kurang lebih 26 juta hektar, mencegah deforestasi dan isu soal-soal politik dan korupsi dll.”
Dr. Ir. Bahruni, MS. Dosen Dapartemen Manajemen Hutan, IPB University.
Proyek transisi energi ini diharapkan menjadi salah satu strategi atau solusi untuk menghadapi krisis iklim bukan malah justru menjadi driver terhadap kerusakan hutan. Strategi pemenuhan target bauran energi melalui program cofiring dinilai sangat tidak tepat karena malah justru memperpanjang usia Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). PLTU-PLTU yang seharusnya dipensiunkan justru menjadi langgeng dengan melakukan pembakaran bersama antara batubara dengan biomassa.
“Agenda transisi energi seharusnya menjadi salah satu strategi untuk menghadapi krisis iklim, dalam artian tujuannya adalah menghadapi Krisis iklim itu atau mengatasi kirisis iklim. Jadi Ketika ngomong soal pendaanaan terkait transisi energi harusnya pendanaan -pendanaan terkait transisi energi tidak kemudian lari untuk membiayai solusi solusi palsu seperti, co firing biomassa, gasifikasi batubara, likuifaksi batubara. Seharusnya tidak lari kesana yang justru akan memperparah Krisis iklim jadi sebenernya pemerintah seharusnya membuka atau bersikap transparan terkait pendanaan transisi energi. Dana ini larinya kemana ke proyek apa saja sehingga CSO maupun Masyarakat bisa melakukan pengawasan terhadap transisi energi ini, jangan sampai kemudian Masyarakat yang selama ini sudah “menikmati” dampak akibat Krisis iklim kemudian harus membayar hutang akibat pendanaan transisi energi yang lari ke solusi palsu.”
Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia.
Dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT), biomassa kayu termasuk salah satu energi final yang didorong masuk kedalam bioenergi. Biomassa kayu akan menggantikan sebagian batubara di PLTU dan mungkin secara penuh akan dimanfaatkan pada proses pembakaran di PLTBm (pembangkit listrik tenaga biomassa). Masifnya produksi biomassa kayu yang berkonsekuensi terhadap kerusakan sumber daya hutan seharusnya dapat diperhitungkan. Lemahnya riset serta kajian untuk mengukur dampak pengembangan biomassa melalui HTE ini menunjukan ketimpangan informasi.
“Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini, itu sangat baik untuk menunjang, untuk mendukung juga terkait dengan kajian-kajian, riset-riset, transisi energi terus juga bagaimana seharusnya fungsi hutan itu ditegakan tidak hanya untuk sesaat investasi, tapi yang utama adalah bagaimana fungsi alamiah dari hutan itu untuk penyimpanan karbon dan keanekaragaman hayati di Indonesia tetap terjaga dan terpelihara, dan itu menjadi suatu kekayaan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh negara lain.”
Tutup Akmaluddin Rachim, S.H., M.H Manajer Riset Pusat Studi Hukum Energi Dan Pertambangan (PUSHEP)