Mendorong Penyelesaian Permasalahan Tata Kelola Hutan di Indonesia
Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat problem paradigmatik permasalahan hutan dan sumber daya alam masih dominannya perspektif pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi dan ekstraktif atas sumber daya alam. Sumber daya alam diposisikan sebagai aset ekonomi dan layanan komoditas untuk pasar. Pemikiran mengenai hubungan manusia dengan tanah dan sumber daya alamnya yang bersifat kompleks dan berlapis (sosial, budaya, ekonomi, ekologi, dan spiritual) bisa jadi ada dalam benak ataupun komitmen kebijakan Penyelenggara Negara. Namun dalam prakteknya seringkali disederhanakan hanya pada satu dimensi saja. Ini semua tidak lepas dari situasi buruknya tata kelola dari masa ke masa dan belum sepenuhnya terejawantahkan prinsip tata kelola yang baik, yaitu transparan, partisipatif, akuntabel dan koordinasi yang baik.
Belum terbukanya seluruh tahapan dalam proses pengelolaan mulai dari proses perizinan, implementasi, pengawasan berikut dengan evaluasinya menjadi penyebab tidak langsung sengkarutnya pengelolaan hutan. Ruang-ruang aspirasi dibangun atas dasar “partisipatifadministrasi” atau sekedar pemenuhan kebutuhan administrasi sehingga tidak sepenuhnya menampung substansi yang disampaikan oleh publik. Tumpang tindih perizinan jamak terjadi.
Deforestasi masif masih terus terjadi, begitupun dengan konflik sosial yang berkaitan dengan pengelolaan hutan di Indonesia. Kata “deforestasi” tidak lagi menjadi tabu, bahkan kecenderungannya dianggap sebagai konsekuensi logis yang mengatasnamakan pembangunan. Dampak nyata dari kerusakan alam adalah semakin kerap terjadinya bencana-bencana ekologis seperti banjir, longsor, kekeringan dan lain sebagainya. Daya dukung wilayah semakin berkurang karena pemanfaatannya melebihi daya tampung. Bahkan ekspansi industri ekstraktif kini juga menyasar ekosistem yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki daya tampung jauh lebih terbatas. Wilayah-wilayah yang seharusnya melindungi daerah sekitarnya mulai dikonversi areal produksi untuk komoditas-komoditas yang mengusung jargon pembangunan tanpa mempertimbangkan kemampuan lingkungan.
Dalam tataran model pengelolaan, konsep pengelolaan hutan di tingkat tapak pun kembali dimunculkan dan “digembar-gemborkan” sebagai masa depan pengelolaan hutan di Indonesia. Konseptual Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang juga mempertimbangkan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai wilayahnya dipercaya mampu untuk lebih efisien dan efektif dalam mengelola areal berdasarkan fungsinya. Namun, pembangunannya pun harus terus dikawal dan diawasi. Apakah dalam prakteknya dapat menyelesaikan pelbagai macam permasalahan yang ada seperti kerusakan lingkungan, deforestasi ataupun konflik sosial dengan masyarakat lokal/adat.
Memasuki tahun politik, janji-janji perbaikan tata kelola hutan senantiasa di gembar-gemborkan.
Namun penyelesaian permasalahan lingkungan selalu samar pada setiap era pemerintahan.
Meskipun demikian, FWI tidak akan bosan-bosan selalu memberikan catatan permasalahan utama
dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Dengan harapan agar poin-poin yang disampaikan dapat
menjadi pertimbangan bagi siapapun pengemban amanat kekuasaan dalam menentukan visi dan
program kedepannya. Berikut ini adalah beberapa catatan yang dihimpun berdasarkan ruang
lingkup kerja FWI.
Keterbukaan Informasi, “ Tanda Tanya ”
Presiden Jokowi dalam pidatonya secara tegas mengatakan “keterbukaan informasi dalam setiap
aspek penyelenggaraan negara akan mampu mendorong partisipasi rakyat dalam pembangunan.
Hanya dengan pemerintahan yang terbuka maka akan terbangun legitimasi dan kepercayaan
publik. Untuk mewujudkannya, Presiden menegaskan, harus ada perubahan karakter, mindset dan
reformasi pola kerja yang efektif dan efisien”.