Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan, yang terdiri dari 30 lembaga riset dan organisasi masyarakat sipil, mengevaluasi pemerintahan Prabowo-Gibran selama 100 hari pertama terhadap pencapaian delapan quick wins transisi energi yang telah direkomendasikan September 2024 lalu pada Timses Prabowo-Gibran. Rekomendasi yang diberikan bertujuan untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan inklusif melalui percepatan transisi energi untuk mewujudkan ekonomi hijau demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan, sesuai dengan visi misi Prabowo-Gibran dalam Asta Cita.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo – Gibran belum berhasil mencapai satupun dari langkah-langkah yang direkomendasikan. Bahkan pada beberapa bidang ditemukan kemunduran yang akan menghalangi proses transisi energi. Ringkasan dari hasil evaluasi untuk setiap langkah yang rekomendasikan serta saran untuk perbaikan dan tindak lanjut disajikan sebagai berikut;
Quick Win 1: Memastikan mekanisme pelibatan dan partisipasi bermakna dalam penyusunan dokumen kebijakan perencanaan strategis nasional dan dokumen turunannya
Evaluasi terhadap rekomendasi Quick Win pertama menunjukkan bahwa target belum tercapai dan BELUM ADA LANGKAH KONKRET untuk melibatkan masyarakat sipil secara bermakna dalam perencanaan strategis nasional.
Selama 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, prinsip pelibatan bermakna dalam penyusunan kebijakan strategis, khususnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), belum diterapkan. Masyarakat sipil tidak mendapat akses informasi atau undangan formal terkait proses perencanaan, meskipun Permen PPN No.5/2023 mewajibkan pelibatan mereka. Musrenbangnas pada 30 Desember 2024 – yang seharusnya menjadi forum partisipasi – justru minim transparansi dan lebih berfokus pada kehadiran pejabat daerah, sementara keterlibatan masyarakat masih samar dan tidak terverifikasi.
Sementara itu, dalam sektor energi tidak ada tindak lanjut atau informasi perkembangan terkait RUU EBET dan RPP Kebijakan Energi Nasional. Hal ini tentunya semakin menguatkan kesan bahwa pelibatan publik diabaikan dalam perumusan kebijakan selama 100 hari pertama pemerintahan.
Quick Win 2: Mengevaluasi kebijakan sektor energi, termasuk Kebijakan Energi Nasional dan RUU EBET, agar tidak memprioritaskan energi baru seperti nuklir, hilirisasi batu bara, teknologi CCUS, dan gas sebagai energi transisi
Evaluasi terhadap rekomendasi Quick Win kedua menunjukkan adanya KEMUNDURAN karena pemerintahan malah menjadikan energi nuklir, hilirisasi batu bara, teknologi CCUS dan gas sebagai bagian dari langkah strategis mereka.
Selama 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, energi baru seperti nuklir, hilirisasi batubara, CCUS, dan gas justru diprioritaskan, meskipun masyarakat sipil menuntut evaluasi kebijakan ini. Pemerintah semakin gencar mendorong pengembangan energi tersebut, terlihat dari berbagai langkah strategis yang diambil.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mendorong pengusaha batubara untuk terus berproduksi dan mendukung gasifikasi batubara menjadi DME sebagai substitusi impor LPG. Pemerintah juga meminta bank nasional membiayai proyek hilirisasi dan membentuk Satgas Hilirisasi untuk mempercepat investasi.
Meski berisiko tinggi, pengembangan energi nuklir tetap menjadi fokus, dengan rencana pembangunan 5 GW PLTN hingga 2040, dan rencana 29 lokasi PLTN yang diusulkan Dewan Energi Nasional. Di sektor gas, pemerintah berupaya mencapai swasembada energi dengan eksplorasi intensif, sementara proyek CCUS mendapat dukungan besar, seperti investasi $7 miliar dari British Petroleum untuk Proyek Tangguh Ubadari.
Fokus pemerintah pada energi ini menunjukkan kemunduran, karena alih-alih mengevaluasi kebijakan, mereka justru memperkuat agenda yang bertentangan dengan tuntutan transisi energi yang berkelanjutan.
Quick Win 3: Menindaklanjuti revisi Perpres 112/2022 dengan merumuskan draf peta jalan pensiun dini termasuk safeguard
Hasil evaluasi terhadap rekomendasi Quick Win ketiga menunjukkan bahwa TIDAK ADA PENCAPAIAN karena rencana pensiun dini PLTU belum dikonkretkan dan sampai saat ini belum ada pembahasan mengenai safeguard, sementara peta jalan yang sudah dimandatkan sejak tahun 2022 juga masih stagnan.
Selama 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, ketidakselarasan dalam pernyataan Menteri ESDM terkait target Nationally Determined Contribution (NDC) yang turun dari 23% menjadi 17–19% menimbulkan keraguan terhadap komitmen transisi energi. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Prabowo yang berjanji memensiunkan seluruh PLTU fosil sebelum 2040.
Evaluasi atas tindak lanjut Perpres 112/2022 menunjukkan stagnasi. Alih-alih menekankan penghentian total (phase-out), pemerintah kini beralih ke pengurangan bertahap emisi karbon (phase-down), yang berpotensi melemahkan komitmen transisi energi. Presiden perlu segera menerjemahkan komitmennya dalam aksi konkret melalui penyusunan peta jalan pensiun dini PLTU yang komprehensif dan berlandaskan safeguard.
Meski PLN telah menjamin tidak ada tender baru untuk PLTU, tidak adanya kepastian pendanaan untuk penutupan dini PLTU menimbulkan kekhawatiran terhadap gangguan kepentingan bisnis dan politik. Selain itu, diskusi mengenai safeguard sosial dan lingkungan masih absen, sementara dokumen strategis seperti Strategic Environmental and Social Assessment (SESA) dalam kerangka Energy Transition Mechanism (ETM) belum diintegrasikan ke dalam penyusunan peta jalan transisi.
Tanpa langkah tegas dan arah yang jelas, penyelarasan Perpres 112/2022 berisiko terhambat oleh tarik-menarik kepentingan yang berlawanan dengan semangat transisi energi berkeadilan, memperbesar risiko sosial dan lingkungan yang seharusnya menjadi prioritas.
Quick Win 4: Insentif pembiayaan untuk pengalihan ke energi terbarukan serta pemberdayaan dan peningkatan akses UMKM dan koperasi agar mendukung transisi energi berkeadilan
Hasil evaluasi terhadap rekomendasi Quick Win keempat menunjukkan bahwa TARGET BELUM TERCAPAI, meskipun terdapat indikasi ada kemajuan menuju perubahan. Sudah ada langkah-langkah positif namun masih perlu dukungan dari sisi kebijakan dan peraturan pemerintah.
Insentif pembiayaan untuk mendukung transisi energi berkeadilan, khususnya melalui pengalihan ke energi terbarukan serta pemberdayaan UMKM dan koperasi, belum menunjukkan kemajuan signifikan dalam 100 hari terakhir. Walaupun Kadin telah menyatakan komitmennya mendukung UMKM dan koperasi dalam pelaksanaan transisi energi, implementasi konkret masih jauh dari memadai.
Langkah positif terlihat dengan pembentukan posisi baru sekaligus pelantikan Direktur Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, yang menunjukkan keseriusan pemerintahan Prabowo untuk mengatasi kebuntuan operasionalisasi nilai ekonomi karbon (NEK). Pada sisi lain, kriteria Taksonomi Hijau dari OJK yang belum ketat menimbulkan kekhawatiran akan risiko greenwashing, terutama di tengah sorotan organisasi masyarakat sipil.
Selain itu, mekanisme insentif NEK yang masih belum transparan dan tanpa kejelasan – antara lain terkait dengan penerapan pajak karbon yang rencananya berjalan pada 2025 – setelah implementasinya dimundurkan dari rencana awal pada 2022. Sama halnya dengan Perpres 112/2022, aturan pelaksana maupun peta jalan pajak karbon masih belum tersusun. Hal ini kian menegaskan pentingnya langkah konkret dan terarah dari Presiden Prabowo untuk memastikan kebijakan ini benar-benar mendukung transisi energi yang inklusif, berkeadilan, dan bebas dari manipulasi kepentingan.
Quick Win 5: Menjadikan analisa ESG sebagai persyaratan mendapatkan perizinan investasi
Evaluasi terhadap rekomendasi Quick Win kelima menunjukkan bahwa TIDAK ADA PERUBAHAN KONKRET mengenai peningkatan implementasi analisa ESG (Environmental, Social, and Government). Meskipun ada ajakan presiden untuk lebih peduli ESG, namun hingga kini tidak ditemukan adanya implementasi riil baik dalam bentuk perubahan peraturan ataupun sosialisasi dan pelatihan yang berarti.
Peningkatan perhatian global terhadap perubahan iklim telah mendorong transformasi investasi menuju prinsip keberlanjutan, dengan analisa ESG sebagai syarat utama bagi investor global untuk memastikan proyek yang berkelanjutan dan minim dampak negatif. Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan mendorong agar prinsip ESG menjadi persyaratan dalam perizinan investasi di awal pemerintahan Prabowo. Integrasi ESG dianggap krusial untuk mendukung Asta Cita ke-5 dan Program Prioritas ke-15. Selain itu, prinsip ESG juga dapat membantu memastikan bahwa hilirisasi dan industrialisasi berjalan seiring dengan inklusi sosial dan perlindungan lingkungan – sesuai dengan program prioritas ke-10 dan ke-11 Presiden Prabowo. Selanjutnya, ESG juga seharusnya dipandang sebagai bagian dari sistem pertahanan negara terhadap risiko lingkungan dan sosial.
Presiden Prabowo telah meminta investor Amerika untuk menerapkan prinsip ESG, menegaskan pentingnya investasi yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi – tetapi juga berdampak positif bagi lingkungan dan masyarakat. Meski hal ini diapresiasi sebagai langkah awal yang positif, dalam 100 hari pemerintahan belum ditemukan adanya langkah konkret untuk merealisasikan perubahan tersebut. Fokus pemerintah yang lebih condong pada target pertumbuhan ekonomi 8% tanpa komitmen kuat terhadap ESG menunjukkan kurangnya sense of urgency dalam implementasi safeguard investasi berkelanjutan.
Quick Win 6: Mengkaji ulang kebijakan NEK agar memiliki safeguard yang kuat, mendukung pencapaian target NZE, serta mendorong transparansi & akuntabilitas dalam penerapan NEK
Evaluasi terhadap rekomendasi Quick Win keenam menunjukkan TIDAK ADA PENCAPAIAN mengenai NZE dan NEK karena pemerintah masih memberikan SPE-GRK (Sertifikat Pengurangan Emisi – Gas Rumah Kaca) bagi proyek-proyek bahan bakar fosil seperti PLTGU.
Dalam Asta Cita, percepatan target pembangunan berkelanjutan – termasuk Net Zero Emission (NZE) melalui penurunan jejak karbon – dijadikan prioritas utama. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan mendukung komitmen ini dengan menekankan aspek keadilan dan tata kelola yang baik. Presiden Prabowo juga dihimbau untuk meninjau ulang kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dengan safeguard yang kuat untuk transparansi dan akuntabilitas.
Dalam 100 hari pemerintahannya, Prabowo berusaha menunjukkan keterbukaan dalam melibatkan masyarakat dan dunia usaha dalam pasar karbon. Pemerintah berencana berpartisipasi dalam perdagangan karbon internasional pada 2025 dan mengembangkan pasar karbon dengan potensi pendanaan hijau hingga 1000 triliun rupiah. Namun demikian, belum ditemukan bukti pelibatan masyarakat yang terdampak langsung oleh proyek-proyek ini – hampir semua listing SPE-GRK dalam SRN MENLH (Sistem Registrasi Nasional Kementerian Lingkungan Hidup) diusung oleh perusahaan-perusahaan besar tanpa pelibatan masyarakat setempat.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil menilai masih banyak tantangan yang perlu diatasi, seperti memastikan proyek karbon benar-benar menurunkan emisi gas rumah kaca – bukan sekadar mencari keuntungan ekonomi. Banyaknya proyek energi fosil yang terverifikasi di SRN MENLH (Sistem Registri Nasional Kementerian Lingkungan Hidup) juga menimbulkan keraguan terhadap komitmen transisi energi berkeadilan. Selanjutnya, kebijakan yang lebih jelas mengenai cap and trade emisi maupun pajak karbon juga dibutuhkan agar mekanisme NEK di Indonesia dianggap serius oleh dunia internasional.
Kebijakan pemerintah yang inkonsisten – seperti perbedaan pernyataan antara Presiden Prabowo yang mendukung pensiun dini batu bara pada 2040 dan Menteri ESDM yang menyebutnya sebagai penurunan bertahap – menciptakan ketidakpastian bagi investor dan masyarakat. Bila pemerintah serius mengenai niatnya menggaet investor luar negeri maupun mendorong penerimaan dari NEK, maka pemerintah perlu menunjukkan keseriusannya dalam mengejar target NZE Indonesia maupun mendorong transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi dalam aplikasi NEK di Indonesia.
Quick Win 7: Meninjau ulang program biofuel, seperti biodiesel B50 dan campuran lebih tinggi serta bioetanol E10 agar tetap mempertimbangkan aspek keadilan sosial, daya dukung lingkungan, serta daya saing industri dalam negeri
Evaluasi terhadap rekomendasi Quick Win ketujuh menunjukkan KEMUNDURAN karena belum adanya peninjauan serius terkait biofuel – pemerintahan Prabowo-Gibran tampaknya malah mendorong terjadinya pembukaan lahan.
Dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, program biofuel seperti biodiesel B50 dan bioetanol E10 menunjukkan kemunduran karena kurangnya pertimbangan terhadap keadilan sosial, daya dukung lingkungan, maupun daya saing industri nasional. Program ini, yang seharusnya menjadi solusi holistik, justru menghadirkan risiko dampak negatif jangka panjang.
Alih-alih melakukan evaluasi berbasis data dan bukti ilmiah, pemerintah malah mendorong ekspansi lahan untuk pangan dan energi tanpa kajian yang memadai. Kebijakan ini berisiko meningkatkan deforestasi dan bertentangan dengan komitmen global Indonesia dalam pengurangan emisi karbon serta perlindungan keanekaragaman hayati.
Saat ini, luas tutupan sawit Indonesia diperkirakan hanya sekitar 17–18 juta hektar oleh pemerintah, padahal data Sawit Watch 2023 menunjukkan angka yang lebih besar – sekitar 22,3 juta hektar. Studi terbaru mengenai ambang batas sawit (CAP Sawit) menegaskan bahwa kapasitas optimal lingkungan untuk sawit adalah 18,15 juta hektar, dan ekspansi di atas ambang ini akan menyebabkan kerusakan ekosistem yang tidak dapat dipulihkan. Fakta ini menunjukkan bahwa perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai atau bahkan melampaui batas keberlanjutan – sehingga ekspansi lebih lanjut bukanlah solusi yang bertanggung jawab.
Quick Win 8: Mengevaluasi program cofiring untuk mendukung percepatan transisi energi yang berkeadilan
Evaluasi terhadap rekomendasi Quick Win kedelapan menunjukkan bahwa tidak ada perubahan dan belum ada evaluasi maupun perbaikan yang bisa menjadikan co-firing sebagai solusi yang dapat diterima untuk mencapai transisi energi yang berkeadilan.
Program co-firing, yang mengintegrasikan biomassa sebagai campuran bahan bakar di PLTU batubara, awalnya diusung sebagai solusi untuk mendukung transisi energi di Indonesia. Namun, hingga kini belum ada evaluasi serius terkait efektivitas maupun dampak lingkungan dan sosialnya. Absennya langkah strategis dari pemerintah mencerminkan lemahnya komitmen terhadap keberlanjutan dan keadilan energi.
Diperlukan banyak safeguards yang ketat dan roadmap yang transparan agar implementasi co-firing benar-benar berkontribusi pada target pengurangan emisi karbon. Tanpa kebijakan berbasis bukti dan keadilan sosial, co-firing hanya berisiko menjadi dalih untuk memperpanjang umur PLTU batubara yang justru menghambat transisi energi. Pemerintah perlu segera mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan ini bila benar-benar ingin mengusung co-firing sebagai solusi yang berkelanjutan dan relevan dengan tantangan transisi energi Indonesia saat ini.
Masih perlu banyak perbaikan
Hasil evaluasi dan berbagai temuan di atas menunjukkan bahwa masih banyak yang perlu dibenahi oleh pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan inklusif melalui percepatan transisi energi yang sejalan dengan visi misi Asta Cita.
- Koaksi Indonesia
- Forest Watch Indonesia
- CELIOS
- CERAH
- MADANI Berkelanjutan
- Humanis Foundation
- IPC
- PWYP Indonesia
- IESR
- Indonesia Indicator