Transparansi dan Potensi Korupsi Sektor Kehutanan Dari Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit

Pokok-Pokok Temuan:
  • Ekspansi dan penambahan luas sawit akan menyebabkan terjadinya deforestasi. Kedua hal itu bukan solusi bagi Indonesia untuk keluar dari tantangan krisis pangan, energi, dan air.
  • Transparansi menjadi kunci perbaikan tata kelola mengingat luas konsesi sawit telah mencapai 20,9 juta dan 3,8 juta diantaranya tumpang tindih dengan konsesi lain. Ketimpangan penguasaan lahan sangat tajam, di mana 92% lahan perkebunan dikuasai korporasi, sementara masyarakat hanya memperoleh 8%, hal ini menyebabkan ketidakadilan akses terhadap sumber daya alam.
  • Pemerintah telah memutihkan 1,7 juta hektare perkebunan sawit ilegal melalui Pasal 110 a dan 110 b UU Cipta Kerja. Tanpa transparansi dan pengawasan ketat, ekspansi dan penambahan luas sawit akan membuka peluang korupsi dan perusakan lingkungan yang lebih besar.
  • Korupsi dalam perizinan pelepasan kawasan hutan untuk sawit melibatkan pejabat eselon I dan II KLHK yang kasusnya ditangani oleh Kejaksaan Agung dengan lebih dari 1.000 perusahaan sawit telah mendapat pemutihan, termasuk yang memiliki keterkaitan dengan elite politik dan bisnis besar.
  • Konflik agraria akibat perkebunan sawit meningkat tajam, dengan 67% dari total konflik agraria di Indonesia pada 2024 disebabkan oleh ekspansi sawit, yang berdampak pada 127.281 hektare lahan dan 14.696 keluarga, serta memicu kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani.

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) RPJMN 2024-2029 di Gedung Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (30/12) menuai kritik publik. Dalam pidatonya Prabowo menyampaikan bahwa kelapa sawit tidak menyebabkan deforestasi dan oleh karena itu perlu ditambah.

“Saya kira ke depan kita juga harus tambah tanam kelapa sawit, enggak usah takut apa itu namanya membahayakan deforestation. Ya namanya kelapa sawit ya pohon Iya kan boleh nggak? Kelapa sawit itu pohon ada daunnya kan,” Prabowo Subianto.

Tidak berselang lama Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan pendapatnya usai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (30/12) bahwa telah mengidentifikasi 20 juta hektare lahan hutan cadangan untuk dimanfaatkan sebagai cadangan pangan, energi, dan air. Menhut Raja Juli Antoni mengungkapkan konsep baru ini akan menjadi dukungan langsung bagi program Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air,” Raja Juli Antoni.

Kedua pernyataan ini bertentangan dengan fakta. Ambisi Prabowo Subianto menjadikan Indonesia swasembada beras, dengan program Food Estate justru telah membawa Indonesia pada jurang-jurang kerusakan lingkungan dan deforestasi. Prabowo juga berambisi menjadikan Indonesia sebagai Raja Bioenergi melalui peningkatan biodiesel B50, hingga pemenuhan target produksi bioetanol melalui Energy Estate. Kedua program ini menggunakan pendekatan top down dan tidak dilakukan tanpa prosedur pemetaan lapangan yang memadai sehingga membuka celah kekeliruan dalam interpretasi dan implementasi di lapangan. Belum lagi persoalan tata kelola industri kelapa sawit yang rumit tak kunjung dibenahi. Penambahan dan perluasan tanaman sawit bukanlah solusi jika merujuk pada potret implementasinya saat ini.

Tambah Sawit, Tambah Timpang, Tambah Deforestasi

Rencana menambah luas perkebunan Sawit hingga 20 juta hektare yang digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto berpotensi memperburuk ketimpangan penguasaan lahan serta meningkatkan deforestasi di Indonesia. Berdasarkan data dari Auriga Nusantara dan Walhi (2022), saat ini distribusi lahan sangatlah timpang dimana 92% lahan dikuasai korporasi, sementara masyarakat hanya mendapatkan sisanya yakni sebesar 8%.

Dari total alokasi hutan/ penggunaan kawasan hutan yang ditetapkan pemerintah, sebanyak 19 Juta hektare diberikan pemerintah untuk konsesi logging, dimana 11,3 juta hektare diberikan untuk kebun kayu dan 6 juta hektare untuk perkebunan sawit. Sebaliknya wilayah kelola rakyat hanya mendapatkan 3,1 juta hektare yang mencakup hutan desa, hutan kemasyarakatan dan perhutanan sosial.

Ketimpangan penguasaan lahan ini terlihat sangat signifikan di beberapa wilayah seperti Kalimantan dan Sumatera. Kalimantan memiliki alokasi lahan korporasi seluas 24,7 Juta hektare sementara masyarakat kalimantan hanya mengelola 1,07 Juta hektare. Kondisi di Sumatera juga menunjukkan pola serupa dimana lahan di Sumatera seluas 11,9 juta hektare dikuasai oleh korporasi, sementara masyarakat di Sumatera hanya memperoleh 910 ribu hektare. Situasi di dua pulau besar ini menunjukkan dominasi korporasi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan akses terhadap sumber daya yang diberikan pemerintah untuk masyarakat.

Di sisi lingkungan, ekspansi perkebunan sawit telah menjadi penyebab utama deforestasi di Indonesia. Data Auriga Nusantara dan Walhi (2022) menyebutkan bahwa 2,9 juta hektare lahan perkebunan sawit berasal dari konversi hutan alam, dimana perkebunan skala besar menjadi faktor utama hilangnya tutupan hutan dibandingkan dengan kebun rakyat. Ekspansi ini juga telah memperparah konflik agraria serta degradasi lingkungan dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat yang bergantung pada hutan.

Merujuk pada data penguasaan hutan dan lahan Forest Watch Indonesia (2025), luas konsesi perkebunan kelapa sawit mencapai 17,1567 juta hektare , hanya terpaut sekitar 47 ribu hektare dibandingkan konsesi pemanfaatan hutan alam (PBPH-HA) yang berada di peringkat pertama dengan luas 17,2037 juta hektare. Namun angka ini akan lebih besar jika memasukan luas konsesi sawit yang tumpang tindih dengan konsesi lain, menjadi total 20,9 juta hektare. Dan 3,8 juta di antaranya tumpang tindih dengan konsesi lain seperti konsesi kehutanan dan pertambangan.

Pada kesimpulannya, konsesi sawit menjadi konsesi terluas dibanding dengan konsesi apapun seperti pemanfaatan hutan alam, pemanfaatan hutan tanaman, dan pertambangan. Luas konsesi  ini lebih dari 3 kali lipat luas Provinsi Bali. Atau bahkan lebih luas dari Pulau Jawa sekalipun sebagai pulau terluas ke-13 di dunia.

Penambahan luas tanaman sawit bukanlah langkah yang tepat bagi Indonesia menghadapi tiga masalah krisis global kedepan, yakni soal pangan, energi, dan air. Penambahan dan perluasan justru akan mempercepat laju kerusakan hutan yang memiliki fungsi sebagai sumber pangan, sumber energi, dan sumber air bagi masyarakatnya

Data FWI (2025) menunjukkan penambahan dan perluasan sawit menyebabkan deforestasi yang terus bertambah di Indonesia. Selama periode 2017 sampai 2023 deforestasi akibat perkebunan sawit mencapai 330,5 ribu hektare. Atau rata-rata laju deforestasi per tahunnya sebanyak 55.083 hektare yang diakibatkan penambahan dan ekspansi tanaman sawit. Catatan Auriga (2025) deforestasi di dalam konsesi sawit menyebutkan sebanyak 37.483 hektare pada tahun 2024.

Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan target capaian luas penanaman atau perluasan tanaman sawit selalu diiringi dengan pembabatan hutan alam Indonesia. Oleh karena itu, sawit merupakan komoditas yang menjadi driver of deforestation. Fakta ini sebagai bukti sekaligus menyangkal pernyataan penambahan tanaman sawit tidak akan menyebabkan deforestasi. Deforestasi sendiri dimaknai sebagai hilangnya hutan menjadi bukan hutan, yang kemudian tumbuhnya komoditas lain seperti perkebunan kelapa sawit.

Menurut data Ditjenbun (2019), luas tutupan kelapa sawit di Indonesia capai 16,38 jutahektare5. Angka ini menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dengan area  perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia, jauh melampaui Malaysia yang memiliki luas sekitar 5,87 juta hektare pada periode yang sama. Angka tersebut juga setara dengan sekitar 11% dari total luas daratan Indonesia. Betapa masifnya ekspansi sawit dalam beberapa dekade terakhir.

Transparansi Kunci Perbaikan Tata Kelola

Penting sekali membenahi tata kelola sawit ketimbang menambah luasan tanaman sawit. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa operasional izin sawit dilakukan secara berkelanjutan dan transparan.

Tantangan implementasi penertiban kawasan hutan seperti yang dijelaskan pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 adalah memperbaiki tata kelola dengan membuka data informasi mengenai hak guna usaha untuk perkebunan kelapa sawit. Pasalnya, luas pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit hingga tahun 2023 sudah mencapai 6,1 juta hektare. Sementara hanya 5,8 juta hektare izin perkebunan kelapa sawit yang mengantongi HGU. IUP tanpa HGU merupakan tindakan ilegal.

Catatan FWI (2025) luas HGU di tahun 2024 mencapai 9,26 juta hektare, dan seluas 795 ribu hektare berada di dalam kawasan hutan. Sekelumit tata kelola sawit yang berdampak tidak hanya pada merusak hutan alam Indonesia, tetapi juga berpotensi mendorong terjadinya korupsi yang lebih besar di sektor sumber daya alam. Sementara penertiban kawasan hutan sendiri dimaksudkan untuk optimalisasi penerimaan negara melalui denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, serta pemulihan aset di kawasan hutan, yang tidak akan terpenuhi tanpa menjalankan prinsip keterbukaan.

Keterbukaan informasi HGU seperti terkait lokasi spesifik, pemegang HGU, dan jenis komoditas yang dibuka ke publik diyakini dapat meminimalisir praktik-praktik ilegal seperti perambahan kawasan hutan dan korupsi dalam proses perizinan dan penertiban kawasan hutan.

Selama sembilan tahun lebih, Kementerian ATR/BPN terus menolak membuka informasi Hak Guna Usaha (HGU) ke publik meskipun berbagai putusan hukum yang telah inkracht. Permohonan informasi HGU dimulai pada 16 September 2015, diikuti pemeriksaan awal dan ajudikasi oleh Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Februari hingga April 2016. Dalam beberapa tahapan pada 2016, ATR/BPN sering kali absen dan abai selama proses mediasi dan sidang sengketa. Pada tanggal 22 Juli 2016 HGU diputus oleh KIP sebagai informasi terbuka. ATR/BPN mengajukan kasasi yang kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) pada 6 Maret 2017 melalui putusan nomor 121K/TUN/2017, kendati demikian ATR/BPN tetap enggan membuka data HGU. Pada 2017, FWI mengadukan ketidakpatuhan ATR/BPN ke Ombudsman RI, diikuti proses mediasi yang sangat panjang dan tidak terbuka hingga tahun 2019.

FWI bersama Koalisi melaporkan ATR/BPN ke Bareskrim tertanggal 25 Maret 2019. ATR/BPN merespon dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pertama pada 2019 dan PK kedua pada 2023. Kedua PK tersebut ditolak oleh MA. Ketidakpatuhan ATR/BPN terhadap putusan yang menyatakan bahwa data HGU adalah informasi yang terbuka dan sudah memiliki kekuatan hukum inkracht, merupakan bentuk pembangkangan terhadap hukum. ATR/BPN berdalih bahwa HGU merupakan informasi yang dikecualikan berdasarkan peraturan menteri ATR/BPN.

Sekelumit Pemutihan Sawit oleh KLHK

Pemutihan izin perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan merupakan langkah kontroversial dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Berdasarkan Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam (SK Datin I-XII), setidaknya sebanyak 1,7 juta hektare kebun sawit telah diputihkan meliputi sebanyak 1.679 izin kebun sawit. Kebijakan tersebut menjadi jalan terjadinya deforestasi, membuka celah korupsi, dan mengabaikan hak-hak masyarakat yang bergantung dengan hutan.

Kehadiran kebun sawit di kawasan hutan menjadi masalah besar dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2019, sekitar 3,37 juta hektare kebun sawit berada di dalam kawasan hutan. Aktivitas ilegal ini seharusnya mendapat penegakan hukum yang tegas untuk menghindari kerusakan lingkungan dan konversi hutan yang tidak terkendali. Namun, alih-alih menindak tegas, pemerintah justru mengeluarkan Pasal 110 A dan 110 B dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan jalan bagi kebun sawit ilegal untuk mendapatkan legalitas dengan memenuhi persyaratan administrasi tertentu, seperti izin pelepasan kawasan hutan.

Proses pemutihan kebun sawit melalui kedua pasal tersebut sangat tertutup dan kurang transparan. Data yang digunakan oleh KLHK dalam menghitung luas konsesi dan hutan yang diubah menjadi kebun sawit tidak jelas asal-usulnya, dan tidak ada kepastian mengenai verifikasi data dari laporan mandiri perusahaan. Kebijakan ini berpotensi memperburuk kerusakan lingkungan dan menciptakan ketimpangan akses bagi kebun rakyat. Oleh karena itu, pengawasan ketat dan keterbukaan informasi sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini mendukung tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan dan adil.

Korupsi Eselon 1 dan 2 KLHK dan Sawit Indonesia

Kasus korupsi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang melibatkan pejabat eselon I dan II dalam tata kelola perkebunan kelapa sawit bukan hal baru bagi publik yang selama ini telah mencurigai adanya praktik penyimpangan dalam sektor ini. Akar permasalahan ini dapat ditelusuri sejak lama, di mana kompleksitas birokrasi dalam pemberian izin pelepasan kawasan hutan sering kali menjadi celah bagi oknum untuk melakukan penyalahgunaan wewenang.

Dalam kasus ini Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan investigasi dugaan korupsi yang melibatkan pejabat eselon I dan II di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kasus ini terkait dengan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.7 Dugaan korupsi ini mencakup manipulasi data pelepasan kawasan hutan pemberian izin tanpa prosedur yang jelas dan penerimaan suap dalam proses pemutihan kebun sawit ilegal.

Investigasi yang dilakukan oleh Kejagung pada Oktober 2023 menemukan adanya inkonsistensi data dalam izin pelepasan kawasan hutan serta tumpang tindih konsesi dengan lahan milik masyarakat adat dan konservasi. Kasus ini bermula dari ditemukannya sejumlah perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa izin resmi, tetapi tetap mendapat perlindungan hukum melalui kebijakan pemutihan lahan yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Pejabat eselon I dan II di KLHK patut diduga terlibat dalam jaringan sistemik yang memperlancar proses perizinan pelepasan kawasan hutan kepada perusahaan-perusahaan sawit besar, dengan modus yang beragam, mulai dari manipulasi data tata ruang, pemalsuan dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL), hingga penerimaan suap dalam jumlah besar untuk mempercepat proses perizinan.

Dugaan ini semakin diperkuat dengan temuan bahwa beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mendapatkan izin pelepasan kawasan memiliki hubungan erat dengan pemilik manfaat/Beneficial Owners (BO) yang terafiliasi dengan politikus dan pejabat tinggi negara. Fakta bahwa lebih dari 6,1 juta hektare kawasan hutan telah dilepaskan hingga tahun 2023 untuk perkebunan sawit menunjukkan adanya penyalahgunaan wewenang yang masif dan sistematis.

Meskipun telah dilakukan penggeledahan dan penyitaan berbagai dokumen dan perangkat komputer di kantor KLHK sejak oktober 2024, hingga saat ini belum ada kejelasan proses hukumnya yang terus berlarut-larut, wajar jika publik mempertanyakan sejauh mana komitmen penegak hukum dalam menuntaskan praktik korupsi yang sudah mengakar. Terlebih penanganan kasus ini tergolong lamban, apalagi hingga saat ini Kejaksaan Agung masih merahasiakan identitas para tersangka. Ketiadaan informasi terkait tersangka menunjukkan adanya pola khas dalam penanganan kasus korupsi dalam sektor sumber daya alam dimana penyelidikan sering kali berlangsung di bawah radar sementara para aktor utama yang berada dibalik praktik korupsi berpotensi mendapat perlindungan melalui mekanisme hukum yang lamban dan tidak transparan.

Ribuan Perusahaan Dapatkan Pemutihan Sawit

Kebijakan pemutihan perkebunan sawit di kawasan hutan yang tidak memiliki izin kehutanan telah menimbulkan polemik besar dalam tata kelola Kelapa Sawit Indonesia. Berdasarkan 11 Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang kami peroleh, lebih dari 1.000 perkebunan sawit milik korporasi telah memperoleh legalisasi meskipun telah beroperasi secara ilegal selama bertahun-tahun sebelum diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja. Langkah ini memicu kekhawatiran terkait transparansi proses legalisasi tersebut, serta menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang sebenarnya memperoleh manfaat utama dari kebijakan ini.

Daftar perusahaan yang memperoleh pemutihan berdasarkan SK 1-11 menunjukkan dominasi kelompok bisnis besar dengan keterkaitan langsung dengan elite ekonomi dan politik. PT. Subur Mandiri Lestari di Riau, sebagai pemegang konsesi terbesar dengan luas 377.489 hektare, dikelola oleh Raja Kamarul Huda dan Ryan Sutiono Zhang. PT. Ex Agro Raya Gematrans di Riau menguasai 29.158,13 hektare dan berafiliasi dengan Tuan Tay Enoku serta Tuan Tjeng Eng Koen. Laporan Eyes on The Forest (2015) menyebutkan bahwa perusahaan ini terkait dengan kasus Pembakaran Hutan Seluas 100 hektare pada Agustus-September 2015, Indikasi kuat pembakaran bertujuan pembersihan lahan untuk pengembangan kebun sawit dan atau mengganti tanaman kelapa sawit yang tidak produktif. Selanjutnya, PT. Satria Perkasa Agung, yang menguasai 24.385,79 hektare, berhubungan dengan Sinarmas, sebuah konglomerasi besar di sektor kehutanan dan perkebunan sawit. Dari 25 daftar perusahaan yang mendapatkan pemutihan terbesar, 5 Perusahaan diantaranya terafiliasi dengan Sinarmas.

Konflik kepentingan semakin mencolok dalam kebijakan pemutihan ini, di mana banyak pemegang konsesi memiliki koneksi erat dengan politikus dan pejabat tinggi. PT. Damai Jaya Lestari (DJL) di Sulawesi Tenggara memiliki hubungan dengan Torganda Group serta tokoh politik seperti DL Sitorus, Luceria Siagian, dan Sihar Sitorus yang merupakan anggota DPR RI. Demikian pula, PT. Rea Kaltim Plantations dengan luas 14.008,3 hektare terafiliasi dengan Luke Michael Devereux Robinow. Perusahaan ini saham mayoritasnya dimiliki oleh Makassar Investment Limited yang bermarkas di British Virgin Island, sebuah tempat yang disebut-sebut sebagai negara surga penghindar pajak. Forest People Programme juga menyoroti bahwa PT REA Kaltim Plantations tidak sepenuhnya menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dalam operasinya. Meskipun perusahaan telah melakukan beberapa upaya untuk berinteraksi dengan masyarakat lokal, namun proses konsultasi dan negosiasi dengan masyarakat adat dan lokal tidak selalu dilakukan secara memadai. Akibatnya, hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya mereka seringkali terabaikan, akibatnya berujung pada konflik lahan dan ketidakpuasan di kalangan komunitas yang terdampak. Belum lagi sederet nama Beneficial Owner dan Politically Exposed Person dibalik perusahaan sawit yang mendapatkan pemutihan ini merupakan purnawirawan TNI dan Polri. Keterlibatan mantan pejabat dan deretan elite politik dalam bisnis sawit meningkatkan risiko korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam proses pemberian konsesi.

Selanjutnya, Kebijakan pemutihan perkebunan sawit memberikan keuntungan bagi sejumlah besar perusahaan yang sebelumnya beroperasi secara ilegal. Daftar perusahaan yang memperoleh pemutihan berdasarkan SK 1-11 menunjukkan dominasi perusahaan yang berafiliasi dengan kelompok bisnis besar dengan keterkaitan langsung dengan elite ekonomi dan politik.

Berikut adalah 24 perusahaan dengan konsesi terbesar yang telah memperoleh pemutihan berdasarkan SK I-II :

No Nama Perusahaan Luas Lahan Konsesi Beneficial Ownership & Peps
1
PT. Subur Mandiri Lestari (Riau)
377.489 Ha
  • Ryan Sutiono Zhang
  • Raja Kamarul Huda
2
PT. Agroraya Gematrans (Riau)
29.158,13 Ha
  • Tuan Tay Enoku
3
PT. Satria Perkasa Agung (Riau) Sinarmas
24.385,79 Ha
  • Oei Tjie Goan (Keluarga Widjaja)
  • Jakson Wijaya Limantara
4
PT. Damai Jaya Lestari (Sultra) Torganda Group
18.932 Ha
  • Darianus Lungguk Sitorus
  • Luceria Siagian
  • Sabar Ganda Leonardo Sitorus
  • Sihar Sitorus
5
PT. National Sago Prima (Riau) Sampoerna Agro
14.038,82 Ha
  • Putera Sampoerna
6
PT. Rea Kaltim Plantations (Kalimantan Timur) REA Group
14.008,3 Ha
  • Luke Michael Devereux Robinow
7
PT. Bersama Sejahtera Sakti (Kalimantan Selatan) Minamas Gemilang - SD Guthrie sebelumnya Sime Darby Plantation
12.640 Ha
  • Mohammad Helmy Bin Othman Basha
8
PT. Sedjahtera Indo Agro (Kalimantan Barat) – Minamas Gemilang - SD Guthrie sebelumnya Sime Darby Plantation
11.652 Ha
  • Mohammad Helmy Bin Othman Basha
9
PT. Satya Kisma Usaha (Sumut) – Sinarmas
10.812 Ha
  • Jesslyne Widjaja (Keluarga Widjaja)
  • Franciscus Costan
10
PT. Tapian Nadenggan (Kalsel) – Sinarmas
9.592 Ha
  • Jesslyne Widjaja (Keluarga Widjaja)
  • Jimmy Pramono
11
ContentPT. Swadaya Andika (Kalimantan Selatan) - Minamas Plantation - SD Guthrie sebelumnya Sime Darby Plantation
9.370,60 Ha
  • Mohamad Helmy Bin Othman Basha
12
PT. Tridaya Mandiri Utama (Riau)
9.007,51 Ha
  • Milly Maria Gandamustika
  • Ice Haryati
  • Misdy Marzuky
13
PT. Tunggal Perkasa (Riau) Astra Agro Lestari
8.818,95 Ha
  • Chiew Sin Cheok alias Santosa
  • Aridono Sukmanto
14
PT. Sinar Kencana Inti Perkasa (Papua) Sinarmas
8.523 Ha
  • Suedi Husein
  • Asia Palm Oil Invesment Pte Ltd (Singapura)
15
PT. Cahaya Inti Sawit (Sumut)
8.032 Ha
  • Halim Kusmanto
  • Kurdy Kusmanto
16
PT. Tri Bakti Sarimas (Riau)
7.079,04 Ha
  • Beyamin
17
PT. Buana Wiralestari Mas (Riau) – PT Ivomas Tunggal (Sinarmas)
6.326 Ha
  • Ivo Mas Tunggal
18
PT. Berkat Sawit Sejati (Sumatera Selatan) - Musim Mas
5.956 Ha
  • Bachtiar Karim
19
PT. Adhyaksa Daharmasatya (Kalteng) – Eagle High Plantations, Rajawali Capital
5.913 Ha
  • Peter Sondakh
20
PT. Tunggal Mitra Plantation (Riau) – Minamas Gemilang, SD Guthrie sebelumnya Sime Darby Plantation
5.881,17 Ha
  • Mohamad Helmy Bin Othman Basha
21
PT. Perkebunan Nusantara V (Riau)
5.282 Ha
  • Negara Republik Indonesia / Kementerian BUMN
22
PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (Kalimantan Tengah) - Bio Green Indonesia
4.769,52 Ha
  • Rendra Tjajadi
23
PT. Suryabumi Tunggal Perkasa (Kalimantan Selatan) - Eagle High Plantations
4.628 Ha
  • Peter Sondakh
24
PT. Wanayasa Kahuripan Indonesia (Kalteng) – Suryaduta Investama
4.588 Ha
  • Sigid Sumargo Wonowidjojo
  • Sumarto Wonowidjojo
  • Susilo Wonowidjojo

Selain daftar di atas, terdapat ratusan perusahaan lainnya yang memperoleh pemutihan, Hal ini menunjukkan pola sistematis di mana entitas besar mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini. Struktur kepemilikan saham dan jaringan bisnis di balik perusahaan-perusahaan ini seringkali melibatkan aktor politik yang berpengaruh dapat memungkinkan mereka mengamankan kepentingan dalam industri sawit dengan perlindungan hukum yang lebih kuat.

Selengkapnya dapat dilihat dan diunduh pada tautan dibawah ini:
Transparansi dan Potensi Korupsi Sektor Kehutanan Dari Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit
Published: Februari 6, 2025
Thank you for your vote!
Post rating: 4.9 from 5 (according 2 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top