Sisi Lain Cerita Mengenai Papua: Alex Waisimon dan Upaya Menyelamatkan Hutan Papua

Dalam beberapa waktu terakhir ini, isu mengenai Papua kembali terangkat ke publik. Lewat momentum kematian George Floyd, warga Amerika Serikat keturunan Afrika. Tagar #Blacklivematters dianggap membangkitkan kesadaran untuk menghentikan rasisme terhadap orang kulit hitam, termasuk juga yang terjadi pada Orang Asli Papua. Bagi siapapun yang mengikuti perkembangan Papua saat ini, tentu peristiwa-peristiwa tersebut dinilai tidak berdiri sendiri.

Mungkin peristiwa pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019 lalu yang kemudian berbuntut pada aksi-aksi demonstrasi oleh Orang Asli Papua (OAP) adalah salah satu puncaknya. Tapi tidak bisa dibilang sebagai inti masalah. Ada permasalahan yang lebih komplek dan berulang bermulai sejak awal integrasi, diperparah pada masa orde baru dan sampai rezim Jokowi saat ini belum tuntas. Lebih lanjut hasil penelitian LIPI tahun 2009 yang bertajuk Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future merupakan dokumen yang cukup komprehensif membahas permasalahan di Papua[1].

Dalam tulisan ini, penulis tidak akan mengupas soal permasalahan yang sementara sedang ramai kembali. Bagi penulis, hal tersebut sudah sangat jelas disampaikan LIPI dalam rekomendasi hasil studinya mengenai permasalahan di Papua. Tinggal pemerintah memilih apakah mau mempertimbangkan rekomendasi atau mengabaikannya. Penulis menyadari ada hal yang juga penting untuk diangkat ke publik mengenai cerita perjuangan Orang Asli Papua (OAP) yang sedang mempertahankan ruang hidupnya karena digerogoti oleh aktivitas penebangan hutan secara masif dan digempur konsesi perkebunan kelapa sawit. Ya, Cerita mengenai Pak Alex Waisimon dan upayanya menyelamatkan hutan Papua.

Mimpi buruk itu benar terjadi. Belum lama sekitar akhir tahun 2018 lalu kami bertemu di tempatnya di Rephang Muaif. Pak Alex menceritakan bahwa hutan sekitar tempat tinggal Beliau sedang mendapatkan tekanan besar dari para penebang hutan dan rencana perkebunan kelapa sawit. Walaupun mendapat tekanan besar, Pak Alex tetap optimis dengan upaya yang Beliau lakukan untuk penyelamatan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Satu dari banyak harapannya, Beliau sangat ingin sekali menunjukan khususnya pada pemerintah bahwa ada karya anak negeri yaitu Orang Asli Papua (OAP) yang mampu mengelola hutan dan lingkungannya agar tetap lestari juga tetap menghasilkan nilai ekonomi tanpa harus merusak hutan maupun menghadirkan kapital dengan investasi rakus ruangnya.

Sosok Alex Waisimon dengan mata yang berkaca-kaca dalam sebuah wawancara
(Foto: Forest Watch Indonesia 2018)

Mengenal Alex Waisimon

Siapa yang tak kenal dengan Alex Waisimon, laki-laki berumur 61 tahun asal Nimbokrang Papua yang mahir berbicara berbahasa Jawa. Awal pertemuan kami, Ia dengan sangat percaya diri membuka obrolan menggunakan bahasa Jawa dengan logatnya yang khas. Sudah banyak media yang memberitakan Pak Alex Waisimon dan kegiatannya, bahkan dunia sudah mulai meliriknya. Penghargaan nasional dan internasional telah diraih Pak Alex dari mulai penghargaan Kalpataru pada tahun 2017 dari KLHK sampai dengan mendapat gelar pahlawan keragaman hayati ASEAN dari Asean Center for Biodiversity (ACB).

Sosok Pak Alex Waisimon saat ini, tentu tidak luput dari berbagai upaya yang telah Ia lalui semasa hidupnya. Dari semasa muda merantau ke Jawa untuk kuliah (namun tak selesai) sampai harus bekerja sebagai tour guide dan bergabung dengan International Labour Organization (ILO) yang kemudian mengantarkan dirinya keliling dunia. Tidak heran selain mahir berbahasa lokal Papua bahkan Jawa, Beliau sangat pasih berbahasa Inggris. Itulah yang kemudian menjadi modalnya untuk pulang kampung dan membangun kampung dengan membuat tempat ekowisata.

Gagasan itu Berupa Ekowisata

Keprihatinan Pak Alex Waisimon terhadap kondisi kampung halaman membawa dirinya pulang kembali ke kampung halamannya di Papua tepatnya di Kampung Yenggu, Distrik Nimbokrang, Jayapura. Ditambah lagi, Beliau telah komitmen untuk menggenapi janji yang diberikan oleh ayahnya, untuk pulang dan membangun kampung. Waktu itu sekitar tahun 2014, Pak Alex kembali lagi ke kampung halaman setelah hampir 30 tahun merantau keluar Papua.

Pertunjukan Burung Cendrawasih antena 12 (Twelve Wire Bird of Paradise) di lokasi Birdwatching Isyo Hill (Foto : Forest Watch Indonesia 2018)

Selain itu, Pak Alex juga mengungkapkan keprihatinannya pada pemerintah yang selalu tidak berpihak kepada masyarakat, terutama Orang Asli Papua (OAP). Pemerintah lebih memilih melancarkan jalan para pengusaha kapital sehingga banyak hal yang tidak sewajarnya dilakukan, tetapi mereka (pemerintah) lakukan seperti pembukaan perkebunan kelapa sawit dan penebangan kayu. Padahal belum tentu itu dibutuhkan dan dimengerti oleh orang-orang Papua. Mereka (orang Papua) seakan telah ditipu, karena mereka (orang papua) punya hasil hutan habis tetapi mereka tetap miskin tidak mempunyai apa-apa.

Berangkat dari hal tersebut Pak Alex menggagas ide untuk melakukan penyelamatan hutan daerahnya. Gagasan itu dimunculkan dalam bentuk ekowisata. Jalan ekowisata dipilih karena ingin membuat suatu alternatif ekonomi untuk OAP sehingga tidak perlu menjual hutannya kepada para penggesek kayu (pengusaha)[2].

Pak Alex menyadari kalau orang asli Papua (OAP) tidak mempunyai apa-apa, tidak mempunyai kompetensi untuk berbisnis baik pengelolan ekonomi toko maupun bidang lainnya. Pak Alex juga menegaskan bahwa mereka bukan tertinggal, tetapi memang tidak memiliki itu semua. Karakteristik masyarakatnya yang masih ada corak subsisten (berburu dan meramu) sehingga hutan lah yang menjadi ketergantungan hidup orang Papua (OAP) dan mereka sudah turun-temurun hidup dari hutan. Bisa dikatakan hutan telah menjadi ruang hidup bagi orang Papua.

Ekowisata Birdwatching menjadi pilihan karena potensi wilayah sekitar Lembah Grime yang banyak dihuni berbagai jenis burung. Sejak tahun 90-an, wilayah ini (tempat yang menjadi lokasi birdwatching) memang sudah menjadi destinasi para ekspeditor yang mencari keberadaan burung cendrawasih paruh sabit (Sicklebill bird of paradise). Lebih lanjut dukungan latar belakang Pak Alex yang banyak memiliki pengalaman bekerja di bidang pariwisata ketika lama merantau.

Box. Cerita Awal Kepulangan Pak Alex Waisimon ke Kampung Halaman
Pada awal kepulangannya ke kampung Pak Alex mencoba mengajak keluarga dan saudara-saudaranya untuk tidak lagi menebang hutan. Namun, gagasannya malah mendapat respon yang negatif. Pak Alex malah diusir dan dianggap sudah menjadi gila oleh keluarganya sendiri. Sehingga kedatangannya waktu itu hanya bertahan selama 4 bulan di kampung, beliau tidak kuat dan kembali ke Denpasar Bali. Karena sudah menjadi komitmen, Pak Alex memutuskan kembali pulang ke Jayapura tetapi bukan ke kampung halamannya, melainkan di kampung sebelah tempat kakak iparnya tinggal yaitu Rephang Muaif.

Perjuangan Pak Alex membangun ekowisata birdwatching dan mengajak masyarakat untuk melestarikan hutan dimulai dari dianggap sebagai orang gila oleh keluarganya sendiri. Menurut penuturannya, Beliau sengaja bersembunyi dibalik orang gila untuk mengamankan dirinya, sehingga apa yang dilakukannya tidak pernah diperhatikan serius oleh orang-orang. Sampai satu setengah tahun lamanya Pak Alex bersembunyi di balik orang gila. Tentu dalam perjalanan satu setengah tahun itu banyak yang telah Beliau lakukan seperti mengumpulkan kayu sisa-sisa penebangan dari dalam hutan untuk kemudian membuat bangunan, mengeksplorasi titik-titik pengamatan burung, sampai belajar bersama orang yang ahli.

Hujan Batu Mulai Berganti Emas

Setelah melewati masa-masa sulit sampai harus bersembunyi sebagai orang gila, akhirnya Pak Alex menikmati buah hasil kerja keras yang telah dilakukan untuk membangun Ekowisata Birdwatching. Di tahun 2015, Pak Alex telah mempunyai tempat wisata yang diberi nama Isyo Hill Birdwatching. Sekarang, tempat tersebut menjadi sangat terkenal. Setiap tahunnya hampir lebih dari ratusan orang[3] yang terdiri dari wisatawan, peneliti, photographer dan mahasiswa dari berbagai negara di dunia datang untuk melihat burung-burung endemik di tempatnya. Terakhir, kawasan ekowisata birdwatching isyo hill sedang diajukan sebagai destinasi wisata pada skala nasional oleh Kementerian Pariwisata Indonesia.

Dari mulai hanya sebuah bangunan kecil berukuran 3×4 meter yang menjadi tempat tinggalnya, kini secara perlahan fasilitas demi fasilitas telah Beliau bangun untuk menopang kegiatan wisatanya. Di Isyo Hill Birdwatching telah tersedia fasilitas akomodasi berupa cottage (pondok penginapan). Terakhir, ada sekitar tiga bangunan cottage dan satu aula besar. Total ada sekitar 18 kamar dengan daya tampung dua orang setiap kamar. Selain akomodasi, fasilitas wisata pun telah dibangun. Di beberapa lokasi pengamatan burung telah berdiri beberapa menara pengamatan setinggi 15-20 meter. Rencana membuat sekolah alam juga mulai berangsur dikerjakan. Kondisi terakhir, bangunan sekolah alam sedang dalam proses pembangunan.

Misi Pak Alex untuk menyelamatkan hutan sekitar tempat tinggalnya mulai mendapat titik terang. Pada tahun 2018, kawasan ekowisata Isyo Hill Birdwatching telah ditetapkan sebagai hutan adat oleh Bupati Jayapura lewat Surat Keputusan Bupati Jayapura Nomor 188.4/150 Tahun 2018. Luas wilayah yang ditetapkan seluas 19.000 hektar atas nama masyarakat hukum adat Yawadatum. Menurutnya, memakai skema hutan adat untuk menyelamatkan hutan dianggap cara yang cukup sesuai dengan karakteristik OAP.

Selain itu, hasil studi WWF Indonesia mengungkapkan bahwa di lokasi birdwatching Isyo hills dan sekitarnya terdapat 78 Famili burung. Sebanyak 64 Jenis dengan konservasi tertentu dan 49 jenis penyebarannya terbatas hanya di New Guinea. Sedikitnya ada empat jenis cendrawasih yang terdapat di Nimbokrang. Daerah ini juga masuk dalam kriteria sebagai daerah penting burung (DPB). Itu artinya seharusnya daerah Nimbokrang dan sekitarnya menjadi sorotan sebagai daerah prioritas konservasi. Tapi kenyataannya, keberadaan burung-burung endemik itu sedang terancam akibat alih fungsi hutan[4].

Bukan lagi Mengancam Burung Endemik, Tapi lebih dari Itu Ruang Hidup Orang Asli Papua Sedang Terancam

Kondisi hutan di Lembah Grime Distrik Nimbokrang dan sekitarnya memang telah mengalami kerusakan. Penebangan hutan secara masif terjadi terang-terangan dan dilakukan oleh para pengusaha kayu atas/tanpa persetujuan pemilik hutan (Orang Asli Papua). Ditambah lagi, investasi industri perkebunan kelapa sawit seluas 32.000 hektare akan memberikan tekanan lebih besar terhadap hutan di Nimbokrang dan sekitarnya. Pada akhirnya akan menambah kerusakan ekologis dan kehilangan lebih besar terhadap keanekaragaman hayati dan sumber penghidupan orang asli Papua.

Dampak aktivitas penebangan hutan di daerah birdwatching
(Foto: Forest Watch Indonesia 2018)

Pembelajaran dari banyak kasus serupa di lokasi lain, ekspansi perkebunan kelapa sawit oleh Kapital yang mengabaikan kondisi sosial-ekologis setempat telah menimbulkan konflik dan krisis sosial ekologis di masyarakat tempatan[5]. Untuk kasus ini, sedikitnya ada dua argumen yang menguatkan hal tersebut;

Pertama, alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit akan menghilangkan keanekaragaman hayati khususnya habitat dari burung-burung endemik.  Dimana, lokasi rencana konsesi sawit tersebut di dalamnya terdapat spot-spot burung endemik Papua yang biasanya digunakan oleh Pak Alex Waisimon untuk membawa para wisatawan melakukan pengamatan. Sehingga secara tidak langsung kehadiran konsesi tersebut akan menghilangkan sumber ekonomi masyarakat yang berasal dari inisiatif lokal (ekowisata birdwatching).

Kedua, lebih dari itu ruang hidup dan sumber-sumber penghidupan orang asli Papua terancam rusak dan hilang. Hubungan masyarakat asli Papua dengan sumber-sumber agraria khususnya lahan dan hutan memiliki keterikatan yang sangat kuat. Bagi orang Papua, lahan telah dianggap sebagai ibu karena memiliki nilai historis dan memberikan sumber penghidupan (air, pangan, dan papan) baginya. Yang kemudian itu telah mengakar menjadi budaya di masyarakat. Hubungan keterikatan tersebut dituangkan dalam laku aktivitas kehidupan masyarakat yang masih bercorak subsisten serta tradisi-tradisi lokal dalam mengelola sumberdaya alam setempatnya. Sehingga ketika hutan dirusak dan dialih fungsikan lewat kegiatan penebangan kayu secara masif ataupun pembukaan untuk perkebunan maka sumber-sumber penghidupan orang asli Papua rusak. Lebih parah, budaya dan keterikatan spiritual antara orang papua dengan tanahnya hilang.

Singkatnya, penulis ingin menyampaikan bahwa upaya yang dilakukan oleh Pak Alex Waisimon dalam membuat alternatif ekonomi masyarakat dan melakukan penyelamatan hutan lewat ekowisata birdwatching sangat penting untuk didukung. Lebih lanjut lewat karyanya dapat mengubah stigma mengenai Papua yang sampai saat ini selalu dianggap buruk. Terakhir dan berulang, Pak Alex Waisimon ingin menunjukan khususnya pada pemerintah bahwa ada karya anak negeri yaitu Orang Asli Papua (OAP) yang mampu mengelola hutan dan lingkungannya agar tetap lestari juga tetap menghasilkan nilai ekonomi tanpa harus merusak hutan. Sederhana harapannya, melihat tempatnya (Isyo Hill) dapat menjadi contoh untuk anak bangsa apapun sukunya.

Penulis,

Aziz Fardhani Jaya





[1] Muridan S. Widjojo. 2009. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future. LIPI: Jakarta

[2] Kondisi terakhir sekitar tahun 2018, banyak OAP yang menggadaikan hutannya untuk ditebangi oleh para penebang kayu demi mendapatkan sejumlah uang tunai

[3] Jumlah kunjungan wisatawan ekowisata Bird watching Isyo Hill 2014-2018 dalam Dokumen presentasi Alex Waisimon dalam acara ICBE pada Maret 2018 di Manokwari, Papua Barat

[4] https://www.mongabay.co.id/2019/07/11/rumah-burung-endemik-papua-di-nimbokrang-terancam-ekspansi-sawit/

[5] https://sawitwatch.or.id/2018/01/10/catatan-kritis-ancaman-ekspansi-kelapa-sawit-di-papua-terhadap-keberadaan-masyarakat-adat/

Thank you for your vote!
Post rating: 4.5 from 5 (according 2 votes)

Add Comment

Dapatkan berita terbaru melalui email

Good Forest Governance Needs Good Forest Information.

Using and sharing site content | RSS / Web Feeds

Photos and graphics © FWI or used with permission. Text available under a Creative Commons licence.

© Copyright 2020 FWI.
All Rights Reserved.

to top