- PLTU Jambi-1 walau sempat mangkrak masih tetap masuk dalam agenda pembangunan pembangkit listrik pemerintah. Bahkan, PLTU mulut tambang ini bakal gunakan campuran biomassa dan batubara atau model co-firing, yang pemerintah ‘kampanyekan’ lebih ramah lingkungan.
- Dengan bangun PLTU mulut tambang di Jambi, akan menambah beban lingkungan dan masyarakat. Saat ini, tambang-tambang batubara, sudah menyebabkan pencemaran air sungai hingga sumber air warga terganggu dan biota sungai seperti ikan-ikan tak lagi bisa warga manfaatkan. Apalagi kalau ada pembangunan PLTU di dekat situ?
- Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI mengatakan, upaya pemerintah menekan emisi dari pembangkit batubara justru mengancam hutan alam tersisa. Data FWI 2023 menunjukkan, pembangunan HTE mengakibatkan penggundulan hutan 55.000 hektar dan mengancam 420.000 hektar hutan alam di 31 konsesi. Pembangunan HTE akan menjadi pendorong deforestasi baru hutan alam Indonesia.
- Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia mengatakan, PLTU co-firing biomassa hanyalah solusi palsu pemerintah. Klaim PLN bahwa co-firing biomassa pelet kayu sebagai solusi mengurangi emisi gas rumah kaca dan transisi energi nyatanya tidak terbukti.
Sungai Pemusiran di Sorolangun, Jambi, dulu menopang kehidupan warga desa, kini terlihat hitam. Saban hari ratusan truk hilir-mudik mengangkut batubara melewati jalan tanah bergelombang. ‘Emas hitam’ berceceran, hanyut terbawa hujan ke sungai. “Dulu masak, mandi, nyuci, semua butuh air sungai. Sekarang airnyo sudah ndak biso lagi dipakai,” kata Usman., warga Desa Pemusiran, Kecamatan Mandiangain, Sarolangun. Warga tak hanya kehilangan sumber air bersih, juga pangan seperti ikan dampak kampung terkepung tambang batubara. “Dulu, ikan baung, lampam banyak. Kalau najur, kadang biso dapat sampai 10 kg, sekarang sudah ndak ado lagi. Lah habis,” ujar lelaki 73 tahun itu.
Sungai Pemusiran berada di sekitar tambang batubara PT Jambi Prima Coal, perusahaan BUMN, PT Surya Global Makmur dan PT Dinar Kalimantan Coal. Tiga perusahaan ini bakal jadi pemasok batubara ke PLTU mulut tambang Jambi-1. .Proyek ini bagian dari ambisi Presiden Joko Widodo membangun pembangkit listrik 35.000 Megawatt. PT Jambi Power, perusahaan patungan bentukan PT PLN Indonesia Power dengan PT Sumber Segara Primadya (SSP)—yang bertanggung jawab membangun pembangkit listrik berkapasitas 600 MW itu, sudah mengantongi izin lingkungan Nomor 75/2019 dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sarolangun.
Setelah groundbreaking pada 2018, proyek ini mangkrak. Perusahaan konsorsium asal Tiongkok yang bakal mendanai proyek PLTU dikabarkan bubar. Meski begitu PLTU Jambi-1 tetap masuk dalam RUPTL PLN 2021-2030, dan target beroperasi pada 2027. PLTU Jambi-1 bakal gunakan campuran biomassa dan batubara yang pemerintah ‘kampanyekan’ lebih ramah lingkungan.
Pada 2022, Indonesia Power menjalin kerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jambi sampai 2025, untuk membangun demplot tanaman energi dengan menanam pohon gamal dan kaliandra pada lahan 70 hektar di PLTU. Islah Hayati, dari LPPM Universitas Jambi, juga ketua program pembangunan demplot menolak berkomentar. “Kami tidak diizinkan Indonesia Power untuk publikasi apapun,” jawabnya saat dihubungi via WhatsApp, 16 Agustus lalu.
Laporan Walhi Jambi menyebutkan, pembangkit Jambi-1 memerlukan pasokan batubara 3,7 juta ton per tahun atau setara 10.200 ton per hari. Berarti, PLTU akan membakar 425 ton batubara setiap jam.
Hasil riset Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang rilis Januari 2022 menemukan fakta lebih buruk, bahwa standar emisi udara PLTU MT Jambi-1 masih mengacu pada aturan usang, Permen No18/2008. Seharusnya, standar emisi mengacu pada peraturan terbaru sesuai Permen LHK Nomor 15/2019 karena analisis mengenai dampak lingkungan hidup PLTU Jambi-1 diserahkan pada 2019. Dalam dokumen amdal juga tak mengidentifikasi dan menghitung dampak kesehatan dari emisi polutan udara. Bahkan, tidak menyebutkan emisi dari merkuri dan logam berat beracun lain, meski pembangkit batubara sebagai sumber utama emisi beracun ini.
Warga Pemusiran, berada dua kilometer dari pembangunan PLTU bakal terancam. Usman khawatir, terjadi dampak lebih buruk kalau proyek listrik itu tetap lanjut. “Sekarang kalau panas, debu batubara itu nyebar kemano-kemano. Apolagi kalau PLTU jadi, tambah parah.”
Laporan CREA dan IESR berjudul “Manfaat Kesehatan dari Transisi Energi Berkeadilan dan Penghentian Bertahap Batubara di Indonesia” rilis Juli 2023, menjelaskan, penghentian penggunaan batubara lebih cepat pada 2040, sejalan dengan target Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu 1,5 derajat celsius. Penghentian PLTU batubara dan akan menghindarkan 182.000 kematian karena polusi udara serta biaya kesehatan US$130 miliar sampai akhir masa pakai semua pembangkit listrik. Dalam laporan itu, Jambi masuk dalam 10 provinsi paling terdampak emisi PLTU batubara, dan bertanggung jawab atas kematian 187 orang per tahun. Meski demikian, pemerintah tetap berambisi membangun dua pembangkit batubara di Jambi dengan kapasitas 1.200 MW.
Trend Asia menyebut, Jambi yang tergabung dalam jaringan Sumatera saat ini kelebihan pasokan listrik sampai 34%. Angka ini diperkirakan terus tumbuh sampai 52.2% per 2025 dan bertahan di atas 39% pada 2030. Sebetulnya, katanya, Sumatera kelebihan daya 40 % dari total daya terpasang.
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memperkirakan, setiap 1 Gigawatt listrik tidak terpakai, PLN membayar setidaknya US$3,16 miliar pada 2007. Sedangkan, pada 2021, PLN diperkirakan membayar sekitar Rp103 triliun kepada IPP melalui skema take-or-pay (TOP). Skema inilah yang membuat PLN terus merugi. Mongabay berusaha menghubungi PLN Indonesia Power, tetapi tak mendapatkan respons.
Co-firing, solusi palsu, ancaman bagi hutan Jambi
Dalam komitmen Indonesia tekan emisi, PLTU co-firing—dengan menambahkan biomassa sebagai bahan bakar ke dalam boiler batubara—diklaim lebih ramah lingkungan dan akan meningkatkan bauran energi terbarukan 1,8%. Sampai 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menargetkan 52 PLTU—dengan 107 mesin pembangkit—gunakan co-firing.
Forest Watch Indonesia (FWI) memperkirakan, kebutuhan biomassa untuk PLTU co-firing dengan kapasitas 18.664 MW itu mencapai 8-14 juta ton per tahun. Bahan baku biomassa ini akan disokong dari hutan tanaman energi (HTE), limbah pertanian atau perkebunan, limbah industri kayu, dan sampah rumah tangga. Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI mengatakan, upaya pemerintah menekan emisi dari pembangkit batubara justru mengancam hutan alam tersisa. Data FWI 2023 menunjukkan, pembangunan HTE mengakibatkan penggundulan hutan 55.000 hektar dan mengancam 420.000 hektar hutan alam di 31 konsesi. Pembangunan HTE akan menjadi pendorong deforestasi baru hutan alam Indonesia.
Anggi bilang, proyek pembangunan HTE untuk biomassa PLTU co-firing akan merusak 4,65 juta hektar hutan alam dari konsesi HPH, HTI dan perhutanan sosial yang turut mengusahakan HTE. Luas kerusakan hutan akan terus bertambah, karena pada 2024 ini ada 37 pemegang izin konsesi HTE. FWI bilang, pada 2025 izin HTE bakal bertambah jadi 43. “HTE akan menjadi alat para pemegang izin PBPH untuk memperpanjang cengkeraman mereka atas sumber daya hutan dan lahan,” katanya.
Dari 37 perusahaan pemegang izin konsesi HTE, PT Hijau Artha Nusa (HAN) menjadi satu-satunya perusahaan HTE di Jambi. Dalam profil perusahaan di Direktorat Jenderal Adaministrasi Hukum Umum pada 5 Agustus 2024, Mohamad Sukri, sebagai komisaris pun saham 5.025 lembar, Rp502,5 juta. Selanjutnya, Han Man Seong, menjabat sebagai direktur mengantongi 30.475 lembar saham, Rp3,047 miliar.
Pemegang saham mayoritas HAN adalah Woorim Energy Co., Ltd, berbasis di Goejeong-ro 166beon-gil, Seo-gu, Daejeon, Korea Selatan. Perusahaan yang bergerak di bisnis pembangkit listrik tanaga surya dan energi terbarukan itu menguasai 142.000 lembar saham Rp14,2 miliar. Perusahaan modal asing ini mendapatkan izin konsesi seluas 32.620 hektar sampai 2073 di Kabupaten Merangin dan Sarolangun, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan Nomor SK 183/Menhut-II/2013 diteken Zulkifli Hasan 25 Maret 2013. Perusahaan asal Korea Selatan itu hanya beroperasi tiga tahun, mulai 2019-2021. Laporan Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah IV Jambi menyebutkan, perusahaan resmi berhenti beroperasi pada April 2023, setelah membabat ribuan hektar hutan dan menjual ribuan kubik kayu.
Walhi Jambi menyebut, selama perusahaan beroperasi luas tutupan hutan hilang mencapai 990 hektar. Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi mengatakan, seharusnya perusahaan memulihkan hutan dengan menanam sengon, sesuai izin THE mereka. “Tetapi lahan yang dipulihkan ditanami sengon untuk tanaman energi itu tidak sampai 7%,” katanya.
Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia mengatakan, PLTU co-firing biomassa hanyalah solusi palsu pemerintah. Klaim PLN bahwa co-firing biomassa pelet kayu sebagai solusi mengurangi emisi gas rumah kaca dan transisi energi nyatanya tidak terbukti. Riset Trend Asia menemukan, penggunaan co-firing tetap menghasilkan emisi karbon mulai hulu sampai hilir. Sebanyak 10% target biomassa pada 52 PLTU berpotensi menghasilkan emisi karbon sampai 26,48 juta ton dioksida (CO2e) per tahun. Emisi itu muncul mulai dari deforestasi, pengelolaan HTE. Angka itu belum termasuk emisi dari proses produksi pelet kayu.
Organisasi yang jadi akselerator transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Asia itu memperkirakan pencampuran biomassa justru menambah emisi dari PLTU batubara dengan proyeksi terus naik jadi 298,9 juta ton CO2e pada 2030. “Argumentasi PLN, penggunaan biomassa kayu tidak menghasilkan emisi alias netral karbon, tidak terbukti,” kata Amel, sapaan akrab Amalya.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, listrik dari biomassa punya porsi besar sebagai bauran energi terbarukan hingga 2040. Bahkan, PLTU batubara captive untuk industri, juga didorong pakai campuran biomassa 30%. “Biomassa dari PLTU co-firing, selalu dipromosikan berhasil menekan emisi 1 juta ton.”
Laporan Trend Asia, pemerintah setidaknya harus membangun 2,33 juta hektar HTE untuk memenuhi pasokan biomassa co-firing 10% atau setara 35 kali luas daratan Jakarta. Luas bisa melonjak tiga kali lipat, kalau pemerintah gunakan pohon gamal sebagai tanaman energi. “Tekanan hutan dan lahan makin besar kalau dorongan transisi energi biomassa,” kata Amel.
Sepanjang 2023, PLN mengklaim menyerap 1 juta ton biomassa untuk memenuhi kebutuhan 43 PLTU co-firing. Jumlah ini naik lebih 71% dibanding 2022 hanya 585.000 ton. Kalau semua rencana pemerintah berjalan mulus, PLN mengklaim energi co-firing biomassa di PLTU itu akan menghasilkan listrik 12,71 terawatt jam, atau setara bauran energi terbarukan 3,59%. Seharusnya, Indonesia belajar dari pengalaman pembangkit listrik biomassa milik Drax Group, di North Yorkshire, Inggris. Laporan The Guardian menyebutkan, pembangkit listrik berkapasitas 2,6 gigawatt itu menghasilkan emisi empat kali lebih besar ketimbang PLTU batubara di Britania Raya.
Tahun lalu, pembangkit listrik biomassa itu menciptakan 11,5 juta ton karbon dioksida atau hampir 3% dari total emisi karbon di Inggris. Drax menerima subsidi £22 miliar meskipun menjadi penghasil emisi terbesar di Inggris pada 2023.
Setiap tahun , kata Amel, Drax mendapatkan subsidi pemerintah Inggris. Pada 2020, subsidi yang mengalir ke Drax mencapai £832 juta. Tahun 2021, nilai meningkat jadi £893 juta. Rata-rata setiap hari Drax menerima subsidi £2,3 juta sampai £2,4 juta, atau setara Rp46 miliar lebih. “Apakah Indonesia sanggup memberi subsidi itu? Uang sebanyak itu bisa untuk mengembangkan energi bersih.” Sebenarnya, Dewan Energi Nasional tahu kalau pembangkit listrik biomassa tidak ergonomis, tetapi pemerintah tetap nekat memakainya. “Transisi energi ini murni kepentingan bisnis.”
Pencampuran biomassa terbukti tak mengurangi penggunaan batubara. Berdasarkan statistik PLN 2021, penggunaan biomassa untuk PLTU co-firing mencapai 282.628 ton. Jumlah naik signifikan dibanding 2020 hanya 9.731 ton. Pada tahun sama, pemakaian batubara juga ikut naik jadi 68,47 juta ton, dari 66,68 juta ton pada 2020. Penggunaan batubara yang terus naik menunjukkan PLN gagal menjalankan strategi kedua, yakni, menggantikan sebagian batubara dengan biomassa untuk bahan bakal PLTU, seperti tercantum dalam RUPTL PLN 2021-2030. “Jadi, transisi energi sebagai bisnis. Penggunaan co-firing justru memperpanjang umur PLTU batubara yang sudah tua. Yang diuntungkan pebisnis, mereka punya peluang bisnis baru dengan HTE.”
Anggi, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI mengatakan, PLTU co-firing yang dicap sebagai energi bersih di tengah tekanan krisis iklim dan ekologi, hanyalah ilusi dan kebohongan. “HTE itu tidak menjawab apa-apa, tidak menjawab iklim, emisi, lingkungan, malah merugikan masyarakat dan merusak hutan,” katanya.
Laksmi Dhewanthi, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK mengakui pembangunan HTE akan menyebabkan pelepasan karbon yang berdampak pada meningkatnya efek gas rumah kaca. Namun, dia berdalih itu hanya terjadi di awal. “Semua proses pasti ada pembukaan lahan, kita bangun rumah pun demikian. Jadi, yang dilihat bukan sesaatnya, tapi manfaat lebih lanjutnya,” katanya, saat ditemui di peresmian tower GRK di Jambi, 18 Juli lalu.
Untuk melihat dampak dari pembangunan HTE, katanya, harus keseluruhan. “Jangan fokus pada satu tahapan, tapi fokus pada proses keseluruhan. Karena kita menghitungnya memang di Paris Agreement memang di 2030. Jadi, nanti kalau misal [hutan] dibuka, kemudian ditanam kembali, dikembalikan lagi seperti asal, itu kemudian menjadi balance.”
Dia akui aktivitas manusia akan mempunyai dampak pada lingkungan tetapi pemerintah berupaya untuk mengendalikannya. Laksmi menolak mengomentari hasil riset beberapa lembaga swadaya masyarakat yang menyebut pembangunan HTE merusak lingkungan dan makin memperburuk krisis iklim. “Sekali lagi saya tidak melihat bagaimana metodologi kajiannya, jadi saya tidak bisa mengomentari secara langsung.”
Kaya energi terbarukan
Dalam Rencana Umum Energi Nasional 2015-2050, Jambi memiliki potensi energi terbarukan 447 MW dari mikrohidro dan minihidro. Lokasi tersebar di Sarolangun, Merangin, Bungo dan Kerinci, dataran tinggi yang mayoritas tutupan hutan masih terjaga. “Jambi wilayah barat banyak menyimpan potensi energi terbarukan bersumber dari air. Di sana, banyak aliran sungai dan tutupan hutan relatif masih banyak sebagai daerah tangkapan air,” kata Setyasmoko Pandu Hartadita, Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Jambi. Sesuai rencana umum energi daerah Jambi pada 2019, Jambi memiliki target penggunaan energi terbarukan 24% pada 2025, mencapai 40% pada 2050.
Riset FWI dan Walhi Jambi menyebut, konsesi HAN merupakan lokasi yang disepakati Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, juga Pemerintah Jambi untuk proyek millennium challenge corporation, fokus pembangunan rendah karbon dan penguatan pemanfaatan energi terbarukan melalui pembangkit mikrohidro. Konsesi HAN merupakan daerah tangkapan air penting bagi perlindungan fungsi hidrologi dari hulu sungai sub DAS Merangin dan sub Das Batangasai–Limun yang bermuara ke DAS Batanghari.
Pembukaan kawasan ini tidak hanya bencana banjir dan longsor, juga mengancam energi terbarukan dari aliran sungai. Laporan World Bank tentang Pemetaan Sumber Daya Hidro Kecil di Indonesia pada 2017, menyebut Merangin memiliki potensi 778 MW, jauh lebih besar dari daya PLTU co-firing Jambi-1. Aliran Sungai Batang Tabir di sekitar konsesi HAN berpotensi menghasilkan listrik lebih dari 5 MW. “Potensi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik 35.000 rumah tangga. Kalau kita bicara energi bersih. Air sebenarnya lebih ramah lingkungan dibanding PLTU, karena tidak ada proses pembakaran,” kata Pandu.
*Tulisan ini merupakan Fellowship dari Forest Watch Indonesia (FWI).
Sumber tulisan ini berasal dari Mongabay.co.id