Forest Watch Indonesia (FWI) tengah menyoroti praktik ekspor wood pellet yang merusak hutan alam di Gorontalo. Praktik tersebut menjadi pembicaraan publik pasca ditangkapnya kapal asing MV Lakas yang memuat wood pellet yang diduga ilegal oleh Bakamla RI. Kasus ini berkaitan erat dengan eksploitasi hutan alam, di mana Gorontalo menjadi salah satu provinsi dengan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam terbesar untuk produksi wood pellet yang kemudian diekspor ke negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan di tengah era Transisi Energi di Indonesia.
Bantahan wood pellet yang diekspor secara ilegal menguat karena asal usul bahan baku berasal dari konsesi hutan tanaman energi (HTE) atau kebun energi. Hasil investigasi tim FWI di lapangan justru mengungkapkan bahwa kayu yang digunakan berasal dari hutan alam, bukan dari hutan yang ditanam. Praktik land clearing atau pembabatan lahan secara besar-besaran menjadi indikasi eksploitasi hutan yang tidak terkendali untuk memproduksi wood pellet. Hal ini bertentangan dengan tujuan transisi energi yang seharusnya mengurangi emisi karbon, karena penggunaan hutan alam justru mempercepat deforestasi dan pelepasan emisi.
Di balik praktik ini, terdapat masalah yang lebih besar dugaan kuat praktik pencucian uang akibat ekspor wood pellet secara ilegal. Narasi “energi hijau” dan “keberlanjutan” ternyata menyembunyikan kenyataan pahit bahwa investasi yang terlibat tidak selalu ramah lingkungan dan justru merusak hutan alam Indonesia.
Pakar Hutan dan Finance Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF), Marius Gunawan menyoroti dugaan pencucian uang yang menjadi perhatian besar, terutama mengingat tingginya volume ekspor wood pellet, yang mencapai 1,5 juta ton pada tahun 2023 dengan nilai ekspor sebesar 500 juta dolar per tahun ke Korea Selatan dan Jepang. Praktik yang diduga ilegal ini tidak hanya terbatas pada ekspor wood pellet, tetapi juga kayu ilegal yang keluar dari Indonesia. IWGFF mengungkapkan bahwa sekitar 50 ribu ton kayu ilegal telah diekspor dari Gorontalo.
Typologi Money Laundering dalam Ekspor Wood Pellet Ilegal
Salah satu modus dalam pencucian uang yang umum terjadi adalah penggunaan dokumen palsu. Sekitar 20% dari dokumen ekspor kayu pada tahun 2022 dinyatakan tidak sesuai, menjadi bukti betapa luasnya praktik manipulasi data dalam perdagangan kayu di Indonesia. Dengan adanya bukti kuat ini, ada indikasi bahwa pencucian uang terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari manipulasi nilai produk, penghindaran pajak, hingga pengiriman melalui jalur tidak resmi.
MV Lakas yang ditangkap di perairan Gorontalo kemudian dilepas di perairan Bitung. Saat penangkapan dan pemeriksaan awal, kapal asing tersebut tidak dilengkapi 3 dokumen penting yakni certificate of origin, certificate of analysis, dan declaration of seabirds.
Marius mengungkapkan bahwa modus pencucian uang kerap melibatkan perusahaan fiktif, rekening bank lintas negara, dan serangkaian transaksi yang kompleks untuk menyamarkan sumber dana ilegal. Uang hasil kejahatan ini sering kali diputar kembali ke bisnis-bisnis ilegal lainnya seperti perdagangan narkoba, senjata gelap, hingga kejahatan lingkungan.
Peneliti dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) sebelumnya juga mencatat bahwa uang yang diperoleh dari kejahatan ini kerap dialihkan ke berbagai sektor ilegal lainnya, termasuk perdagangan manusia, narkoba, hingga forest crime, menunjukkan keterkaitan antara kejahatan internasional dan eksploitasi sumber daya alam.
Indonesia sudah seharusnya mulai memperkuat regulasi dan pengawasan yang lebih efektif. Dengan garis pantai Indonesia yang begitu luas, penyelundup sering kali menghindari jalur resmi yang diawasi, memanfaatkan celah dalam sistem pengawasan. Untuk itu, pengembangan sistem digital dan transparansi dalam rantai ekspor menjadi kebutuhan mendesak. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebenarnya telah meningkatkan kepatuhan hingga 70%, tetapi tetap terdapat celah yang dimanfaatkan untuk kegiatan ilegal.
Marius menilai penggunaan teknologi dan digitalisasi ekspor dapat meningkatkan akurasi laporan hingga 40%. Namun, tantangan dalam menerapkan kontrol ketat masih sangat besar, terutama dalam hal mengkoordinasikan berbagai instansi yang terlibat, seperti FIU, Bea Cukai, dan Kepolisian.
Pada akhirnya koordinasi yang lebih baik antar lembaga dan peningkatan kolaborasi dengan sektor swasta juga harus menjadi prioritas. Walaupun banyak pihak yang berusaha patuh, sering kali mereka menghadapi tekanan dari pihak-pihak yang tidak mengikuti aturan. Kolaborasi ini penting untuk memastikan praktik bisnis yang lebih transparan dan berkelanjutan di masa depan.
Praktik-praktik ilegal di sektor kehutanan ini bukan hanya merusak sumber daya alam Indonesia, tetapi juga menciptakan jaringan kejahatan yang lebih luas. Pencucian uang yang terjadi dalam sektor ini berpotensi menjadi sumber dana bagi berbagai kejahatan internasional lainnya, yang pada akhirnya semakin memperburuk situasi. Dengan adanya regulasi yang kuat, penegakan hukum yang tegas, serta kerjasama antar-lembaga yang solid, diharapkan Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dari praktik-praktik pencucian uang dan menjaga keberlanjutan hutan dan sumber daya alamnya.
Catatan ini bersumber dari diskusi Roundtable CSO dan Media yang diselenggarakan atas kerjasama FWI dan AJI Jakarta pada tanggal 26 September 2024 di Jakarta.
Narahubung: Media FWI (0857-2034-6154)