Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan aturan penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Perpres Nomor 14 Tahun 2024 ini diundangkan dan ditetapkan Selasa (30/1).
Aturan ini diterbitkan dalam rangka memenuhi target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan menuju Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. Teknologi CCS dinilai memiliki peranan penting dalam mereduksi emisi karbon pada kegiatan penghasil emisi. Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi, Kemenko Marves, Jodi Mahardi pada Sabtu (23/12), menjelaskan, dalam upaya mencapai NZE 2060, Indonesia berambisi mengembangkan CCS dan membentuk hub CCS. Inisiatif ini tidak hanya akan menampung CO2 domestik, tetapi juga menggali kerja sama internasional. Dia mengklaim, hal ini menandakan era baru bagi Indonesia dimana CCS diakui sebagai ‘license to invest‘ untuk industri rendah karbon seperti blue amonia, blue hydrogen, dan advanced petrochemical.
Mengutip Perpres 14/2024, aturan ini dibuat mengingat Indonesia memiliki potensi besar sebagai wilayah penyimpanan karbon dan berpotensi menjadi lokasi penangkapan di tingkat nasional dan regional. Adanya payung hukum dalam wujud Perpres ini diharapkan meningkatkan daya tarik investasi dan menciptakan nilai ekonomi dari proses bisnis penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan karbon.
Beleid ini pun memuat sejumlah poin penting diantaranya meliputi skema penyelenggaraan CCS, skema bisnis, insentif penyelenggaraan CCS, dan mekanisme transportasi atau pengangkutan karbon lintas negara. Belum adanya aturan turunan atau pelaksana dari Perpres 14/2024 membuat sejumlah pihak sangsi. Benarkah Perpres CCS ini dapat berjalan sebagaimana semangatnya untuk mereduksi emisi karbon, atau sekadar alat untuk meraup keuntungan melihat peluang banyak negara ingin ‘menyingkirkan’ sampah karbon mereka?
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI) Mufti Fathul Barri menganalogikan langkah pemerintah dalam mengurus emisi karbon ini layaknya pengelolaan sampah yang keliru. “Sampah semakin banyak, lalu yang dilakukan menambah TPS, bukan mengurangi sumber sampahnya. Dalam jangka waktu tertentu tentu akan ada limitnya. Begitu juga dengan CCS ini,” kata Mufti kepada JawaPos.com, Jumat (2/2). Karbon yang terlepas khususnya dari industri-industri besar semakin tidak terkendali. Sayangnya, kata Mufti, yang dilakukan pemerintah bukanlah mengurangi atau mengubah skema industri yang banyak melepaskan karbon. Justru membuat tempat penampungan karbon.
“Bahkan menerima limpahan ‘sampah’ karbon dari luar negeri. Sangat besar kemungkinan suatu saat akan menjadi masalah,” imbuh pria yang akrab disapa Ode ini. Menurut Ode, diterbitkannya Perpres CCS ini juga semakin memperlihatkan bahwa belum ada niat yang tulus dari pemerintah dalam upaya penurunan emisi di Indonesia. Sementara di sisi lain, dengan adanya teknologi CCS, industri-industri penghasil karbon akan terus beroperasi, baik itu industri di dalam negeri ataupun luar negeri.
“Hemat saya ini hanya dihubung-hubungkan oleh para penghasil emisi yang selama ini didesak menurunkan emisi mereka, terutama negara-negara industri. Celakanya, Indonesia justru mau mengadopsi teknologi ini, yang artinya semakin mengamini negara-negara maju untuk terus menghasilkan emisi,” jelas Ode. “Dan Perpres ini bahkan menyebutkan akan menampung ‘sampah-sampah’ karbon dari negara lain. Jadi, cerna saya ini bisnis baru. Seharusnya tidak (perlu) dikait-kaitkan dengan upaya penurunan emisi,” lanjut Ode.
Untuk diketahui, Kontraktor dan Pemegang Izin Operasi Penyimpanan yang menyelenggarakan CCS dapat mengalokasikan 30 persen dari total kapasitas penyimpanan karbon untuk digunakan sebagai penyimpanan karbon yang berasal dari luar negeri. Ketentuan ini termaktub pada Pasal 35 ayat (3) Perpres 14/2024. Sedangkan pada Pasal 35 ayat (2) disebutkan bahwa 70 persen dari total kapasitas penyimpanan karbon untuk dicadangkan sebagai penyimpanan karbon domestik. Dalam hal terdapat kebijakan bersifat nasional, alokasi 70:30 ini bisa dilakukan penyesuaian.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai beleid yang diteken Presiden Jokowi akhir bulan lalu itu belum sempurna tapi cukup moderat. Meskipun begitu, Komaidi mengingatkan pemerintah untuk membuat balancing antara kepentingan ekonomi dan lingkungan.
“Jadi, kalau ditanya yang diuntungkan siapa, kalau itu dibuka sangat longgar ya pihak luar yang cukup diuntungkan karena mereka bisa memproduksi CO2 sebanyak mungkin lalu bisa disimpan di kita. Mereka tinggal bayar credit-nya, sementara produksi mereka jalan terus,” kata Komaidi dihubungi JawaPos.com, Jumat (2/2). Lebih lanjut, Komaidi juga berharap aturan pelaksana yang akan mengatur imbal jasa penyimpanan (storage fee) bisa ditetapkan adil secara ekonomi dan lingkungan. Demikian juga dengan kontribusi terhadap penerimaan negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (royalti). “Karena kita sudah jadi tempat pembuangan, jangan murah-murah banget. Ya, harus dapat benefit dong. Masa kita sudah jadi Bantar Gebangnya, cuma dapat baunya doang,” pungkas Komaidi.
Sumber tulisan ini berasal dari Jawapos.com