Pemetaan presisi terhadap data tutupan hutan tropis sangat penting untuk mengatasi krisis iklim global, seperti pengukuran karbon berbasis lahan dan identifikasi potensi kawasan konservasi. Dalam dekade terakhir, aksesibilitas terhadap kumpulan data publik mengenai kehutanan meningkat pesat. Namun, ketersediaan data tutupan hutan dengan resolusi lebih baik masih sangat terbatas. Sebagai negara berkembang dengan banyak hutan hujan, Indonesia menghadapi berbagai ancaman, khususnya deforestasi. Oleh karena itu, data tutupan hutan yang tepat dapat berguna untuk memenuhi kontribusi nasional Indonesia terhadap perubahan iklim. Dalam studi ini, kami memetakan data tutupan hutan nasional di Indonesia menggunakan pendekatan klasifikasi citra berbasis objek baru berdasarkan gabungan citra optik Planet-NICFI dan Sentinel-2. Temuan kami memiliki akurasi yang relatif tinggi dibandingkan penelitian lain, dengan skor F berkisar antara 0,67 hingga 0,99 dan dapat menangkap hutan yang terfragmentasi dalam resolusi yang bagus (yaitu, ∼5 m). Selain itu, kami menemukan bahwa pita Planet-NICFI memiliki kontribusi lebih tinggi dalam memprediksi tutupan hutan dibandingkan citra Sentinel-2. Pemanfaatan data tutupan hutan untuk analisis lebih lanjut harus dilakukan untuk membantu pencapaian agenda nasional dan global, misalnya terkait dengan net sink FOLU pada tahun 2030 dan Kerangka Keanekaragaman Hayati Global.
Selama beberapa dekade terakhir, jasa ekosistem telah menjadi isu utama dalam konservasi alam internasional dan pembangunan pedesaan [1], dan hal ini masih menjadi perhatian seiring dengan terus berlanjutnya eksploitasi sumber daya alam, perubahan penggunaan lahan yang disebabkan oleh manusia, dan gas rumah kaca global. tingkat yang tinggi [2]. Hutan tidak hanya terkena dampak aktivitas manusia tetapi juga berperan penting dalam mitigasi ancaman yang akan datang seperti tanah longsor, banjir, dan hilangnya keanekaragaman hayati [3]. Hutan hujan tropis, khususnya, dikenal karena kekayaan dan kontribusinya terhadap ekosistem berbasis lahan di bumi. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan yang relatif luas, mencakup 39% luas hutan di Asia Tenggara [4]. Tergantung pada ketinggian dan iklim regional, hutan ini dapat berkisar dari hutan dataran rendah hingga pegunungan. Masing-masing tipe hutan ini memberikan kontribusi signifikan terhadap jasa ekosistem yang diandalkan manusia, seperti bahan mentah, reservoir keanekaragaman hayati, perlindungan tanah, sumber kayu, biomedis, penyerapan karbon, iklim, dan peraturan air [5–7]. Hutan tropis Indonesia juga memainkan peran penting dalam penghidupan masyarakat lokal dan perekonomian nasional [8].
Namun, deforestasi telah menjadi salah satu masalah utama krisis iklim dan keanekaragaman hayati. Dampak negatif terhadap lingkungan akibat penggundulan hutan tropis mempunyai dampak yang luas dan bertahan lama [9]. Laju deforestasi yang pesat ini berkontribusi terhadap hilangnya keanekaragaman hayati akibat degradasi dan fragmentasi habitat, khususnya di Indonesia [10]. Penelitian terbaru dari Margono dkk. [11] menunjukkan bahwa kehilangan hutan di Indonesia tercatat sebagai salah satu tingkat kehilangan hutan primer tertinggi di daerah tropis selama periode 2002–2012, dengan kehilangan tutupan hutan primer tahunan pada tahun 2012 merupakan angka kehilangan hutan primer tertinggi, yaitu sebesar 0,84 Mha, lebih besar dari angka kehilangan hutan primer tahunan pada tahun 2012. laporan resmi hilangnya hutan di Brasil (0,46 Mha). Pada periode yang sama di negara-negara hutan hujan tropis lainnya, Meksiko kehilangan 0,28 Mha dan Kolombia dengan kehilangan tutupan hutan primer sebesar 0,69 Mha [8]. Indonesia, sebagai negara berkembang, masih berjuang dengan pembangunan infrastruktur yang membahayakan hutan dan seluruh jasa ekosistem yang disediakannya [12]. Banyak kebijakan yang mendorong investasi di Indonesia untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam bentuk infrastruktur dan izin berbasis lahan yang secara langsung akan mengancam tutupan hutan. Di Kalimantan dan Sumatra, jumlah investasi asing untuk infrastruktur dan industri ekstraktif lima kali lebih besar dibandingkan pendanaan internasional untuk skema konservasi hutan [13]. Barri dkk. [14] menganalisis bahwa 50% dari total deforestasi (5,72 juta hektar) pada tahun 2013–2017 terjadi di konsesi penebangan kayu, perkebunan kayu dan kelapa sawit, serta pertambangan. Berbagai penelitian lainnya juga melaporkan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap deforestasi di Indonesia, seperti pembangunan jalan [15], perluasan pertanian [16], kebakaran hutan [17], serta pembalakan liar dan perambahan [18].
Menghentikan deforestasi dan mempertahankan keutuhan ekosistem hutan merupakan tantangan umum dalam mitigasi perubahan iklim [19], yang dapat dinilai melalui penilaian penyimpanan karbon yang dapat diandalkan berdasarkan pemetaan tipe hutan yang akurat. Selain itu, pemetaan tutupan hutan yang eksplisit secara spasial sangat penting untuk estimasi stok karbon [20], simulasi perilaku kebakaran hutan [21], dan pemodelan habitat satwa liar [22]. Dalam hal ini, pemetaan tutupan hutan yang diharapkan secara tepat dan andal akan mendukung pemantauan yang juga dapat digunakan sebagai masukan dalam pengelolaan hutan dan pengambilan kebijakan terkait pengelolaan hutan lestari.
Dengan meningkatnya ketersediaan satelit dan resolusi gambar, arsip data penginderaan jauh terus bertambah, memungkinkan pengguna untuk mengakses dan menganalisis kumpulan data deret waktu yang sangat besar. Penginderaan jarak jauh kini menjadi populer sebagai alat yang berharga untuk memantau tutupan lahan, dan juga berfungsi baik untuk identifikasi tutupan hutan. Banyak penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa data penginderaan jauh dapat memprediksi tipe hutan dan tutupan lahan lainnya dengan akurasi yang sangat baik [23-27]. Selain itu, menggabungkan dua atau lebih sensor dapat meningkatkan performa model dalam menggambarkan data tutupan hutan [28–30].
Metode identifikasi tutupan hutan di Indonesia berkembang pesat sejak tahun 1995 hingga beberapa tahun terakhir. Mengenai [31], peta tutupan lahan dan penggunaan lahan Indonesia saat ini dibuat menggunakan interpretasi visual berdasarkan citra resolusi menengah (yaitu Landsat). Keakuratan kelas tutupan hutan dilaporkan tinggi (>90%), berdasarkan verifikasi lapangan dan pengetahuan lokal para operator. Namun, metode penafsiran visual relatif memakan waktu, dan penggunaan banyak penafsir dalam ruang dan waktu membahayakan konsistensi produk peta keluaran [11]. Margono dkk. [24] melakukan penelitian tentang identifikasi tutupan hutan dengan metode berbasis piksel. Algoritme pembelajaran mesin (ML) (misalnya, hutan acak, mesin vektor pendukung, dan pohon regresi) biasanya memberikan hasil yang lebih baik daripada pengklasifikasi konvensional karena tidak memerlukan prasangka mengenai distribusi data masukan [32]. Pembelajaran mesin adalah subbidang kecerdasan buatan yang berkaitan dengan pengembangan dan penyelidikan sistem yang dapat belajar dari data. Dalam model pembelajaran mesin, terdapat tiga pendekatan: pembelajaran terawasi, pembelajaran semisupervisi, dan pembelajaran tanpa pengawasan. Misalnya, sistem pembelajaran mesin dapat dilatih menggunakan gambar untuk belajar membedakan antara gambar hutan dan nonhutan. Setelah dipelajari, selanjutnya dapat digunakan untuk mengklasifikasikan citra baru ke dalam objek hutan dan nonhutan. Algoritme hutan fandom adalah metode klasifikasi yang menggunakan beberapa subset data dan fitur secara acak untuk menghasilkan banyak pohon keputusan. Pengklasifikasi hutan acak (RF) adalah kombinasi dari prediktor pohon sedemikian rupa sehingga setiap pohon bergantung pada nilai vektor acak yang diambil sampelnya secara independen dan dengan distribusi yang sama untuk semua pohon di hutan [32].
Saat ini kebutuhan akan data tutupan hutan dengan resolusi spasial yang sangat tinggi semakin meningkat untuk mendukung pemantauan, pelaporan, dan pengambilan keputusan [33]. Namun demikian, data yang tersedia saat ini terkait dengan data tutupan hutan yang tepat sangat terbatas, misalnya perubahan hutan global (∼30 meter; [34]), hutan PALSAR (25 meter; [35]), dan tutupan hutan primer Indonesia (30 meter ; [24]). Dengan memetakan keberadaan hutan di Indonesia, dapat diperoleh sebaran dan luas hutan yang konsisten, yang kemudian dapat dijadikan peta dasar dan juga sebagai acuan pengelolaan dan informasi di Indonesia. Hal ini dikarenakan peta yang dihasilkan menggunakan input yang spesifik dengan kondisi di Indonesia, sehingga peta yang menjadi data yang dihasilkan lebih spesifik jika dibandingkan dengan peta hutan yang diolah secara global. Pemetaan hutan menjadi penting karena dapat digunakan untuk mendukung program pelestarian, seperti upaya melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati. Dengan adanya hutan yang terfragmentasi, luas dan sebaran hutan dapat menopang keberadaan keanekaragaman hayati. Bagian hutan yang terfragmentasi dan terisolasi sangat bervariasi dalam hal ekologi dan komposisi dan mungkin tidak mendukung tingkat keanekaragaman hayati atau fungsi ekosistem yang sama seperti hutan dengan ukuran yang sama tetapi dalam sistem hutan yang luas [36]. Pemetaan hutan di Indonesia juga memegang peranan penting dalam pengelolaan hutan. Variasi spasial dan temporal dalam hilangnya hutan primer mendokumentasikan perampasan hutan alam yang terus berlanjut di Indonesia, termasuk meningkatnya hilangnya hutan primer di lahan basah dan penggunaan lahan yang dimaksudkan untuk membatasi atau melarang pembukaan lahan, yang berdampak pada estimasi emisi gas rumah kaca yang akurat.
Dalam penelitian ini digunakan random forest classifier (RF) untuk mengklasifikasikan tutupan hutan dengan pendekatan klasifikasi citra berbasis objek. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan kesederhanaan metode ansambel hutan acak dan kemanjurannya dalam klasifikasi citra. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mencapai akurasi klasifikasi maksimal dengan menerapkan data gambar berkualitas tinggi yang diperoleh oleh sensor modern (Sentinel-2 dan Planet) dan pengklasifikasi yang kuat secara matematis yaitu hutan acak. Hasil dari studi ini menyoroti pentingnya data yang eksplisit secara spasial dan temporal dalam mewujudkan transparansi dalam dinamika penggunaan lahan yang penting. Di sini kami menyajikan kumpulan data tutupan hutan yang disempurnakan di tingkat nasional di Indonesia dengan resolusi spasial ∼5 meter berdasarkan kombinasi spektral dari citra Sentinel-2A dan Planet-NICFI menggunakan algoritma hutan acak. Selain itu, kami juga mengevaluasi data kami menggunakan titik referensi untuk menilai kinerja model dan membandingkan data tutupan hutan dengan kumpulan data tutupan hutan lainnya. Selain itu, kami juga mengeksplorasi dinamika tutupan hutan saat ini pada periode 2017–2021 untuk meningkatkan pemantauan hutan nasional di Indonesia.
Refining National Forest Cover Data Based on Fusion Optical Satellite Imageries in Indonesia (hindawi.com)