Mereka sering disebut pengganggu: terlalu vokal, terlalu berani, terlalu banyak tahu. Kini suara vokal dan apa yang mereka tahu tentang kerusakan hutan, tambang mematikan, hingga perampasan tanah adat menjadi kenyataan bencana alam.
Siklon tropis Senyar hanya membuka tabir betapa hutan di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera yang memiliki hutan hujan di kawasan Bukit Barisan telah dirusak secara masif.
Padahal sudah sejak lama gelagat perusakan dan gejala kerusakan diinformasikan oleh mereka yang sangat peduli dengan lingkungan. Dari perorangan hingga kelompok dan LSM. Namun suara mereka selalu dienyahkan bahkan para pemberi informasi ini dituduh penebar isu pun dikriminalisasi. Bencana Sumatera adalah bukti kebobrokan pemangku kepentingan. Tak ada penyesalan, karena rakyat telah jadi korban.
Ketujuh pihak ini, dengan strategi dan bahasa yang berbeda, memiliki benang merah yang sama: mereka menyoroti bagaimana kerusakan lingkungan Indonesia bukan hanya produk eksploitasi, tetapi juga lemahnya tata kelola, konflik kepentingan, dan ketergantungan politik terhadap industri ekstraktif.
Tanpa keberanian mereka menyuarakan yang tidak ingin diungkap, publik mungkin hanya melihat permukaan, sementara kebakaran hutan, deforestasi besar-besaran, lubang tambang mematikan, pencemaran sungai, dan perampasan lahan adat terus terjadi tanpa pertanggungjawaban.
Di tengah kehilangan jutaan hektare hutan, meluasnya tambang, pencemaran sungai, dan ekspansi perkebunan monokultur yang tak kunjung reda, ada sejumlah individu dan lembaga yang konsisten mengungkap kerusakan lingkungan Indonesia—sering kali dengan kritik yang membuat pejabat gusar dan korporasi defensif.
Mereka adalah para pemberi informasi yang paling vokal, tidak sekadar berbicara tetapi melakukan investigasi, protes, advokasi hukum, bahkan tekanan internasional. Suara-suara ini dianggap “mengganggu”, namun justru merekalah yang membuat berbagai kejahatan lingkungan tidak tenggelam dalam sunyi.
Harrison Ford
Salah satu yang paling keras datang dari aktor sekaligus aktivis internasional, Harrison Ford, yang pada kunjungan dokumenternya Years of Living Dangerously menginterogasi pejabat kehutanan Indonesia. Ia menuding pemerintah membiarkan deforestasi masif demi industri sawit dan “kehilangan hutan pada tingkat kriminal”.
Kritiknya bukan basa-basi: Ford memfilmkan langsung kawasan yang digunduli dan kebakaran lahan yang menghanguskan habitat orangutan. Ia membawa isu lokal ke panggung global, menjadikan Indonesia sorotan dunia, dan mendesak rantai pasok internasional agar tidak lagi membeli bahan mentah dari perusahaan yang merusak hutan.
Ia bahkan memaksa diri bersua Menteri Kehutanan waktu itu, Zulkifli Hasan untuk mendapatkan informasi dan kebijakan lebih dalam. Namun –seperti yang Anda lihat di video lama yang kini memviral kembali- Ford seperti tidak mendapatkan jawaban apa-apa yang relevan.
Ford mempertanyakan mengapa penebangan liar dan perambahan hutan dibiarkan terjadi dan menuntut tindakan hukum yang tegas. Ford menjadi emosional dan berkata “Ini tidak lucu!” ketika Zulhas sempat tertawa mendengar cerita kerusakan Tesso Nilo, mengingat hanya 18% hutan yang tersisa.
Ford mengungkap fakta bahwa lebih dari 80% kawasan hutan di Tesso Nilo, yang seharusnya dilindungi, telah hilang atau dieksploitasi secara komersial, di mana banyak pihak lokal mengaitkannya dengan lemahnya penegakan hukum dan praktik korupsi.
Bahkan Ford juga bertemu dan mewawancarai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menindak pembalakan liar.
Greenpeace
Dari dalam negeri, suara keras lainnya datang dari Greenpeace Indonesia, organisasi yang tanpa ragu menyebut perusahaan-perusahaan sawit dan batu bara sebagai aktor utama penghancuran lingkungan. Investigasi mereka berkali-kali memetakan keterkaitan korporasi besar dengan hilangnya hutan primer. Menuntut diakhirinya deforestasi untuk melindungi hutan primer dan lahan gambut, serta mendesak perusahaan untuk berhenti membeli minyak sawit dari pemasok yang merusak hutan.
Greenpeace juga mengkritik pemerintah karena menutup sebagian data deforestasi serta terus mendorong PLTU batu bara yang mereka sebut “pembunuh senyap” akibat polusi udara. Aksi mereka pun kerap spektakuler: memanjat kilang minyak, menghentikan kapal tanker, hingga mengirim kapal legenda Rainbow Warrior untuk menantang langsung pusat kekuatan industri. Tekanan organisasi ini telah berulang kali membuat perusahaan global mengubah standar keberlanjutan mereka.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Sementara itu, WALHI, lembaga lingkungan terbesar di Indonesia, mengambil posisi berhadapan langsung dengan kebijakan negara. Mereka secara terbuka menyebut pemerintah “terlalu tunduk pada industri ekstraktif” dan mengkritik undang-undang seperti Minerba serta Omnibus Law yang dinilai mempermudah perampasan lahan, merusak ruang hidup rakyat, dan meningkatkan konflik ekologis.
WALHI bukan hanya bicara; mereka menggugat negara di pengadilan, merilis laporan tahunan yang penuh data dan kritik tajam, serta mendampingi komunitas yang ditindas akibat izin tambang, perkebunan, atau proyek infrastruktur besar. Dalam banyak kasus, WALHI justru mengungkap bahwa apa yang disebut pemerintah sebagai “bencana alam” sesungguhnya adalah akumulasi dari salah urus dan pembiaran.
Secara berkala, kantor-kantor WALHI di Sumatera merilis data dan analisis mengenai jumlah bencana ekologis (banjir, longsor, Karhutla) yang terjadi di wilayah mereka, dan selalu menyimpulkan bahwa penyebab utamanya adalah hilangnya tutupan hutan akibat ekspansi industri ekstraktif (sawit, tambang).
WALHI Sumut berulang kali menegaskan bahwa banjir dan longsor di Tapanuli disebabkan oleh kerusakan masif Ekosistem Harangan Tapanuli (Batang Toru).
LSM ini juga melakukan kampanye publik untuk menolak proyek-proyek besar yang berpotensi merusak, seperti pertambangan di kawasan hutan lindung atau perluasan perkebunan kelapa sawit yang mengancam hutan mangrove (seperti di Langkat, Sumut).
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Di garis depan konflik lahan berdiri AMAN yang membuka fakta bahwa banyak kerusakan hutan berakar pada perampasan tanah adat. AMAN menuduh ekspansi sawit, tambang, dan HTI telah menyebabkan “penyingkiran sistematis masyarakat adat” yang selama berabad-abad menjadi penjaga hutan terdepan.
Mereka sering mengungkap kasus kriminalisasi tokoh adat yang hanya mempertahankan wilayahnya sendiri. Melihat negara lambat mengakui hak-hak masyarakat adat, AMAN melakukan pemetaan mandiri jutaan hektare wilayah adat, menjadi upaya dokumentasi terbesar di Indonesia. Bagi mereka, hilangnya hutan bukan hanya persoalan ekologis, melainkan juga pelanggaran hak asasi manusia yang terstruktur.
AMAN Tano Batak aktif dalam konflik berkepanjangan melawan perusahaan konsesi kehutanan (misalnya PT Toba Pulp Lestari/TPL), menuntut pengembalian Hutan Adat seperti di Pandumaan-Sipituhuta.
AMAN bahkan menegaskan –saking hopless-nya- bahwa hutan adat merupakan benteng pertahanan terakhir ekosistem penting di Sumatera, termasuk habitat satwa kritis. Fokus AMAN termasuk perlindungan hutan Lumut yang merupakan habitat Orangutan Tapanuli (Sumut) dari ekspansi sawit, serta perlindungan wilayah adat di sekitar Danau Toba yang rentan konflik agraria.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Di sektor tambang, JATAM menjadi suara paling lantang membongkar hubungan gelap antara industri ekstraktif dan elit politik. Mereka menyebut industri tambang sebagai “mesin penghancur lingkungan terbesar Indonesia” sambil merilis laporan yang menghubungkan izin tambang dengan tokoh politik nasional.
Salah satu kritik mereka yang paling mengejutkan adalah tentang puluhan lubang bekas tambang di Kalimantan yang telah menewaskan banyak anak, tetapi tidak ada pertanggungjawaban serius dari perusahaan. JATAM menyebut kondisi ini bukan kecelakaan, melainkan “kejahatan yang dibiarkan negara.” Melalui kampanye seperti #BersihkanIndonesia, mereka menantang struktur ekonomi yang bergantung pada batu bara, nikel, dan konsesi mineral lainnya.
JATAM menyoroti bahwa Pulau Sumatera telah diperlakukan sebagai “zona pengorbanan” untuk tambang mineral dan batubara, yang menyebabkan kerusakan ekosistem hulu dan Daerah Aliran Sungai (DAS). JATAM terlibat dalam advokasi penolakan terhadap rencana penambangan bijih seng oleh PT Dairi Prima Mineral (DPM) di Dairi, Sumatera Utara, yang wilayah operasinya berada di kawasan risiko gempa dan banjir bandang serta mengancam lahan pertanian, sumber air, dan kawasan hutan warga.
JATAM sering menghubungkan bencana banjir dan longsor di Sumatera (seperti di Sumatera Barat) sebagai akibat langsung rusaknya ekosistem hulu oleh industri ekstraktif.
Di Sumatera, JATAM mencatat adanya 271 izin PPKH dengan total luas 53.769 hektare, di mana sektor pertambangan memegang 66 izin dengan luas lebih dari 38.000 hektare.
Auriga Nusantara
Auriga Nusantara berperan sebagai penyedia data investigatif yang mampu mengguncang banyak perusahaan besar. Mereka mengungkap tumpang tindih izin, perusahaan yang masuk kawasan konservasi, dan indikasi korupsi sektor sumber daya alam.
Auriga bekerja dengan pendekatan yang sangat teknis dan berbasis bukti, bahkan beberapa kali menjadi mitra KPK dalam menghitung kerugian negara akibat korupsi hutan. Laporan dan peta interaktif mereka sering menjadi dasar liputan media internasional, karena memperlihatkan hubungan langsung antara konsesi perusahaan dan area deforestasi paling luas, sesuatu yang jarang bisa dibantah oleh pejabat maupun industri.
Data Auriga menunjukkan bahwa provinsi-provinsi di Sumatera, seperti Riau, Sumatera Selatan, Jambi, dan Aceh, secara konsisten masuk dalam daftar 10 besar wilayah dengan kehilangan hutan terbesar di Indonesia, bertarung dengan Kalimantan. Pada tahun 2024, Sumatera Utara, misalnya, masuk dalam 10 besar deforestasi dengan kehilangan hutan mencapai 7.303 hektare, bertaut tipis dengan Bangka Belitung.
Auriga menyoroti bahwa di Sumatera, pemicu deforestasi utama adalah ekspansi perkebunan industri, terutama kelapa sawit dan kebun kayu (Hutan Tanaman Industri/HTI), termasuk untuk kebutuhan biomassa atau energi kayu.
Auriga pernah memetakan bahwa sekitar 58% dari total tutupan kebun sawit di Indonesia pada tahun 2020 berada di Sumatera, yang menunjukkan tekanan masif terhadap hutan di pulau ini. Auriga sering menyatakan kekhawatiran bahwa sebagian besar pembabatan hutan di Indonesia, termasuk Sumatera, terjadi di areal yang sudah dibebani izin korporasi, yang mereka sebut sebagai deforestasi yang diizinkan (legal).
Forest Watch Indonesia (FWI)
Sementara itu, FWI yang kerap dijuluki “forest watchdog” menjadi kelompok yang mengamati dari perspektif data jangka panjang. Mereka publikasi berkala “Potret Keadaan Hutan Indonesia” yang kerap menunjukkan angka deforestasi lebih tinggi dari yang disampaikan pemerintah. FWI menuding lemahnya transparansi data sebagai akar dari banyak permasalahan: tanpa akses publik atas peta izin dan tutupan hutan, korupsi perizinan tetap subur dan kerusakan sulit dilacak.
FWI melakukan gugatan keterbukaan informasi publik agar masyarakat dapat mengawasi langsung siapa yang menguasai hutan dan bagaimana lahan tersebut dimanfaatkan. Dengan analisis satelit, mereka secara konsisten menunjukkan pola hilangnya hutan alam yang terus berlanjut meski berbagai program “pemulihan” digaungkan pemerintah.
FWI secara berkala merilis data dan analisis mengenai tingkat dan pola kehilangan hutan alam di seluruh Indonesia, termasuk provinsi-provinsi di Sumatera (seperti Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat). Laporan ini sering kali mengungkapkan bahwa kawasan dengan tingkat deforestasi tertinggi di Indonesia banyak berada di Sumatera, didorong oleh konversi menjadi perkebunan industri.
FWI fokus mengidentifikasi pemicu utama kerusakan hutan. Di Sumatera, inti utamanya adalah perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk kayu/pulp, bahkan menyoroti rantai pasok kayu dari konsesi di Jambi yang diduga berasal dari penebangan ilegal.(*)
Sumber berita jernih.co
