- Setelah pindah ke hutan transit, Juq Kehje Sewen, Sally, si orangutan Kalimantan ini mulai berupaya mengenali rumah barunya. Tim BOSF bahkan menemukan orangutan liar mulai berinteraksi dengan Sally. Indikasi awal, orangutan liar itu adalah Kimi. Orangutan liar yang mendiami Juq Kehje Sewen.
- Kimi. Orangutan liar yang mendiami Juq Kehje Sewen. Kimi terpantau berinteraksi dengan Sally pada hari kedua setelah menjelajahi transek. Bahkan, mereka sempat pesta makanan. Interaksi yang terjadi juga tak menunjukkan hal negatif.
- Sedikitnya 135 orangutan yang BOSF lepasliar sejak 2012 di Hutan Kehje Sewen, konsesi izin restorasi ekosistem PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI). Luas mencapai 86.593 hektar. Jamartin Sihite, CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), perkirakan, dengan luas itu mampu menampung 200-300 orangutan.Hutan Kehje Sewen, sudah hampir mencapai kapasitas maksimalnya untuk menjadi tujuan pelepasliaran orangutan hasil penyelamatan.
- Ketika orangutan kehilangan habitat, akan memicu konflik yang tidak terelakkan. Orangutan akan melintasi kebun, ladang warga, atau masuk ke permukiman. Riezcy Cecilia Dewi, Juru Kampanye Satya Bumi mengatakan, kadang orangutan dianggap hama karena merusak kebun. Apabila habitat orangutan lestari, tak akan ada lagi upaya evakuasi orangutan. Apalagi, sampai harus mencarikan rumah baru sebagai tempat pelepasliaran untuk memindahkan orangutan hasil penyelamatan ke sana.
Setelah sekitar dua jam keluar dari kandang transportasi, Sally, orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) mulai memanjat pohon setinggi kurang lebih lima meter. Ia seakan berupaya ‘mengamati’ rumah barunya. Kepala ke kiri dan ke kanan, belum bergerak ke mana-mana. Pada Agustus lalu, Sally pindah rumah sementara ke hutan transit Juq Kehje Sewen, setelah lebih 10 tahun tinggal di Pusat Rehabilitasi Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Samboja Lestari di Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Sampai hari menjelang petang, sekira pukul 18.00 WITA, Sally belum juga membuat sarang. Ia masih mengamati dan mulai mengeksplorasi pulau Juq Kehje. Juq Kehje Sewen ,dalam bahasa Wehea berarti Pulau Orangutan. Hutan bagian dari HGU anak usaha Palma Serasih Group ini seluas 81,25 hektar. “Ia juga ada terpantau makan pakan alami. Ada daun muda, ada umbut, ada kambium. Perilaku RR/regurgitasinya masih terjadi. Cuma nggak intens,” kata Aluna, pengasuh Sally dari BOSF ketika Mongabay hubungi setelah beberapa hari Sally masuk pulau pra-rilis.
Tim BOSF bahkan menemukan orangutan liar mulai berinteraksi dengan Sally. Indikasi awal, orangutan liar itu adalah Kimi. Orangutan liar yang mendiami Juq Kehje Sewen. “Kimi sempat kembali sekali atau dua kali, itu sudah bawa anak. Jadi ada Kimi dan anaknya. Anaknya dikasih nama Komo sama teman-teman. Udah sempat hilang jauh dan lama banget.”
Kimi terpantau berinteraksi dengan Sally pada hari kedua setelah menjelajahi transek. Bahkan, mereka sempat pesta makanan. Interaksi yang terjadi juga tak menunjukkan hal negatif. “Sempat grooming, cium-cium begitu, pengenalan karena sama-sama betina. Sempat berinteraksi tapi aman, nggak ada interaksi agresif atau negatif,” kata Aluna.
Dia berharap, pertemuan Sally dengan Kimi dan Komo, dapat membantu mengubah perilaku atipikal atau abnormal Sally. Terutama, perilaku regurgitasi Sally, yakni, mengunyah, membuang, dan memasukkan kembali makanan ke dalam mulut. “Harapannya, dengan kembalinya lagi Kimi dan Komo, terutama Kimi, bisa membantu Sally juga buat belajar dan menjadi teman. Karena Kimi itu dulu adalah gurunya (orangutan) Desi. Dulu ada beberapa perilaku Desi yang kurang liar dan dibantu menjadi liar sama si Kimi,” katanya.
Sally sementara di Pulau Juq Kehje, sebelum lepas liar di Hutan Kehje Sewen. Sebelumnya, orangutan Desi juga sempat masuk Juq Kehje Sewen pada usia 17 tahun. Kemudian, hilang di usia kurang lebih 19-20 tahun. Kemungkinan Desi menyeberang karena ada daerah dangkal. Desi juga orangutan hasil penyelamatan dan memiliki perilaku tak sepenuhnya arboreal.
Aluna bilang, Desi secara kebetulan merupakan orangutan yang suka berjalan di tanah. Sampai saat ini, Desi belum tampak teramati tim BOSF di dalam Juq Kehje Sewen.
Hutan tujuan pelepasliar hampir penuh?
Jamartin Sihite, CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), mengatakan, sedikitnya 135 orangutan yang BOSF lepasliar sejak 2012 di Hutan Kehje Sewen, konsesi izin restorasi ekosistem PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI). Luas mencapai 86.593 hektar. Dia perkirakan, dengan luas itu mampu menampung 200-300 orangutan.
Hutan Kehje Sewen, katanya, sudah hampir mencapai kapasitas maksimalnya untuk menjadi tujuan pelepasliaran orangutan hasil penyelamatan. “Mendekati. Hampir mencapai (batas maksimum). Berharap tidak nambah lagi orangutan di pusat rehab kami. Kalau nambah lagi, ini akan membuat areal pelepasliaran itu menjadi kurang (kapasitas),” katanya.
Luasan areal meliputi dua kabupaten, Kutai Timur dan Kutai Kartanegara. Keduanya cocok untuk lepasliar orangutan.
Jamartin bilang, sudah pendekatan pengelolaan kawasan di sekitar konsesi PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) eksisting saat ini. Apabila disetujui, kapasitas orangutan yang bisa tertampung bisa bertambah dan pengelolaan tak hanya menjadi tanggung jawab mereka.
Dia contohkan, taman nasional, hutan lindung, maupun konsesi lain yang bisa kelola bersama dengan berbagai pertimbangan. “Mungkin nanti kita akan minta izin ke pemerintah daerah, Dinas Kehutanan. Kalau hutan itu tetap punya negara, kewenangan juga ada di pemerintah pusat. Tapi izin bekerja sama, pengelolaannya dengan Dinas Kehutanan. Ini juga jadi titik-titik yang kita perhitungkan,” katanya.
Ari Wibawanto, Kepala BKSDA Kaltim mengatakan, upaya mencari lokasi alternatif lain sebagai areal lepasliar juga perlu bersamaan dengan kajian khusus dapat menilai orangutan dapat hidup di lokasi itu. “Baik itu kajian fisik, biologi, maupun sosial, dan lain-lain.”
Jika daya dukung Hutan Kehje Sewen juga sudah tidak memenuhi kriteria sebagai lokasi tujuan lepasliar, katanya, orangutan yang sudah siap akan rilis di lokasi lain. “Kita pasti akan lepasliarkan di tempat lain. Bukan di situ saja. Banyak, beberapa perusahaan yang akan melakukan kerja sama atau bermitra dengan kami,” katanya.
Saat ini, terdapat 33 orangutan siap lepas liar dari Pusat Rehabilitasi Orangutan BOSF di Samboja Lestari. Usianya beragam, mulai 12-13 tahun, hingga lebih 30 tahun.
Jamartin mengatakan, orangutan adalah aset bangsa yang harus dilindungi semua pihak. Tak hanya BOSF yang memang fokus upaya penyelamatan dan rehabilitasi orangutan. Juga masyarakat, pemerintah, dan perusahaan sebagai entitas bisnis yang mengelola kawasan hutan. “Karena itu, mari bekerja sama, mari bergandengan tangan untuk menyelamatkan orangutan. Kata kuncinya sih, sebenarnya satu, jangan terlalu serakahlah hidup ini. Artinya, mengurangi sedikit keuntungan untuk demi orangutan, demi lingkungan, boleh dong.”
Lindungi habitatnya!
Ketika orangutan kehilangan habitat, akan memicu konflik yang tidak terelakkan. Orangutan akan melintasi kebun, ladang warga, atau masuk ke permukiman.
Riezcy Cecilia Dewi, Juru Kampanye Satya Bumi mengatakan, kadang orangutan dianggap hama karena merusak kebun. “Di sini, yang jadi pertanyaan adalah, mengapa kita terus menciptakan kerusakan dan menghilangkan habitat orangutan? Mengapa harus menyisihkan tempat baru untuk rehabilitasi orangutan?”
Apabila habitat orangutan lestari, katanya, tak akan ada lagi upaya evakuasi orangutan. Apalagi, sampai harus mencarikan rumah baru sebagai tempat pelepasliaran untuk memindahkan orangutan hasil penyelamatan ke sana. “Kita melihat semakin banyak orangutan direhabilitasi, maka itu menandakan semakin besar habitat orangutan yang terancam. Mereka kehilangan rumah mereka sendiri.”
Senada dengan Anggi Putra Prayoga Manager Komunikasi, Kerjasama, dan Kebijakan Forest Watch Indonesia. Dengan status orangutan di dalam IUCN Red List yakni critically endangered, seharusnya, pemerintah dan pihak lain serius melindungi habitatnya. Faktanya, kata Anggi, pemerintah tidak serius melindungi hutan hingga mengakibatkan habitat dan keanekaragaman hayati pun terancam bahkan hilang.
Saat ini, kawasan hutan cenderung orientasi ekonomi lebih prioritas. Untuk itu, katanya, UU Kehutanan harus ubah total. Payung hukum perlindungan satwa ini harus benar-benar semua pihak jalankan, mulai dari hulu ke hilir. “Kalau habitatnya dirusak, orangutan diusir dari habitatnya, dipralepasliarkan, kemudian nanti ditaruh di satu konsesi yang dimanfaatkan untuk lepasliar. Saya pikir itu bukan konsep hidup berdampingan kalau kayak gitu. Itu konsep eksploitasi.”
Sumber berita Mongabay.co.id
