Marten Laita tak kuasa menyembunyikan kesedihannya, saat menceritakan kembali kisah memilukan di tahun 2012 silam. Dia dan lima warga warga lainya, dikriminalisasi pihak perusahaan pengelola hutan tanaman industri (HTI) PT Gema Nusantara Jaya (PT GNJ), pasalnya Marten dan warga lainnya dilaporkan karena melakukan perusakan tanaman milik perusahaan yang diklaim masuk dalam kawasan izin konsesi HTI. Dari sejumlah nama itu, empat orang dituntut 7 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun, setelah menjalani rangkaian proses persidangan, mereka di vonis bebas.
Sebelum vonis bebas, mereka sempat mendekam di tahanan kejaksaan selama kurang lebih tiga bulan dan berlanjut di dalam blok hunian Lapas Kelas II A Gorontalo. Setelah bebas pun, Marten tidak diizinkan melakukan aktivitas kembali di lahan tersebut. ‘’Sekarang saya hanya memanfaatkan sisa lahan yang ada untuk berkebun, tapi tidak bisa dibuatkan sertifikat atas nama saya. Pemerintah desa tidak mau, dengan alasan lahan itu masih masuk dalam kawasan konsesi HTI,’’ tuturnya.
Lahan milik Marten yang diklaim perusahaan kurang lebih 8 hektare, yang berada di desa Bubode, Kecamatan Tomilito, Kabupaten Gorontalo Utara. ‘’Kami menanami lahan itu dengan cabai rawit dan sejumlah tanaman jenis lainya, oleh perusahaan lahan itu digarap dan ditanami dengan tanaman jenis jabon dan sengon tanpa sepengetahuan kami,” ungkapnya. Marten menyesalkan, kejadian itu dilakukan saat dia tidak berada di lokasi. Sebelumnya, Marten sempat ditawari untuk bekerja di perusahaan, namun dirinya dengan tegas menolak. Dia lebih memilih untuk mempertahankannya. Sebab lahan itu dinilainya sebagai sumber penghidupan diri dan juga untuk keluarganya.
Selain marten, Niko Abdullah adalah salah satu warga Bubode yang lahannya diambil oleh perusahaan. Niko menyebut warga menolak, karena pihak perusahaan tidak pernah sebelumnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Secara mendadak, mereka lalu mengambil lahan hak mereka. ‘’Di 2010 sempat ada penolakan masyarakat karena mereka tidak tahu-menahu. Tanpa adanya informasi dan sosialisasi, perusahaan masuk ambil lahan warga, ’’ujarnya.
Niko bilang dia sempat berkonsultasi dengan pemerintahan desa, para wakil rakyat hingga tingkat provinsi. Puluhan kali dia melakukan unjuk rasa di Kantor Bupati Gorontalo Utara dan DPRD Gorontalo Utara. Tetapi usahanya tidak berbuah. “Demo di depan Kantor Bupati dan DPRD Gorontalo Utara tercatat sudah 23 kali, Kantor Gubernur maupun DPRD Provinsi Gorontalo ada 4 kali. Saya mengadukan terkait dengan permasalahan yang ada di Desa Bubode ini.”
Di sisi lain, perusahaan minta aktivitas warga di lahan dihentikan, hingga muncul kesepakatan. Namun, alih-alih menunggu, perusahaan justru terus melakukan aktivitas penanaman sehingga memicu terjadinya konflik yang berujung pada pencabutan tanaman perusahaan oleh warga. Padahal, sebelum masuknya perusahaan HTI, Desa Bubode merupakan lumbung pangan yang menghasilkan banyak hasil pertanian, mulai beras, jagung, cabai, dan beragam jenis pangan yang menjadi penopang sektor pertanian di Kabupaten Gorontalo Utara.
Saat kini, produktivitas menurun drastis. Hanya sekitar separuh lahan sawah yang masih berfungsi. Pengerukan tanah dan penumpukan sedimentasi oleh perusahaan, termasuk di saluran irigasi dan bendungan, telah menyebabkan aliran persawahan tidak lagi optimal. “Dampaknya amat kami rasakan. Dari sawah dua hektare bisa menghasilkan seratus karung, namun sejak adanya aktivitas perusahaan terjadi penurunan. Di sisi lain biaya yang dikeluarkan cukup besar. Bisa sekitar Rp10 juta,’’ keluh Niko.
Dari HTI ke HTE, Siapa yang Diuntungkan?
Di Gorontalo, selain PT GNJ ada juga PT. Gorontalo Cipta Lestari (PT GCL) yang mana keduanya adalah dua unit pengelolaan hutan tanaman industri yang tergabung dalam Katingan Timber Group. Kedua perusahaan ini merupakan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Hasil Hutan-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sejak 2011, yang kemudian berubah melalui Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan Nomor 1109/MENLHK/SETJEN/HPL.0/11/2021 untuk PT GNJ dengan luas 27.976,78 hektare, dan melalui PBPH Nomor 1110/Menlhk/Setjen/HPL.0/11/2021 dengan luas 46.170 hektare untuk PT GCL.
Manager Kampanye, Advokasi Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga mengatakan saat ini kedua perusahaan ini telah berubah menjadi perusahaan di bidang Hutan Tanaman Energi, untuk mendukung proyek transisi energi Indonesia dan memproduksi bahan baku wood pellet. Bahan bakar berbasis biomassa ini akan digunakan untuk mencampurkan batu bara, di sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap Biomassa (PLTBm) atau yang disebut sebagai co-firing biomassa. Hasil wood pellet itu lalu masuk untuk diolah di industri kayu primer yang bernama PT Gorontalo Panel Lestari.
Tetapi dibalik gemerlap rencana itu, FWI mencatat bahwa Provinsi Gorontalo mengalami deforestasi (2017-2021) sebesar 33.492 hektare. Sementara itu masih ada 696.631 hektare hutan alam tersisa di Gorontalo. Untuk wilayah GNJ sendiri dari tahun 2017 hingga 2023 dari tutupan hutan sebesar 22,052.10 hektare telah terjadi laju deforestasi 3,418.77 hektare, sedangkan untuk GCL dari tutupan hutan sebesar 16,587.84 hektare telah terjadi deforestasi 2,164.43 hektar.
Mengacu pada hasil riset Trend Asia yang berjudul “Penangguk Cuan Transisi Energi” menyebut dibalik mulusnya kehadiran perusahaan ini, diduga penerima manfaat dari GNJ adalah Jacqueline Sitorus dan Andy Indigo. Keduanya memiliki hubungan keluarga dengan Wilmar Group karena Jacqueline Sitorus merupakan anak dari Martua Sitorus, sedangkan Andy Indigo merupakan keponakan Ganda Sitorus.
Diketahui, Martua Sitorus merupakan pendiri Wilmar International, dan Andy Indigo juga duduk sebagai Direktur di PT Wahana Indigo yang memiliki 50 persen saham dari PT Gama Energi Negeri yang berkongsi dengan PT Pembangkit Jawa Bali Investasi untuk mengelola PLTU Sumatera Utara-2.
Tanggapan Perusahaan
Dani Gumilar, Manager Operasional GNJ mengatakan, sebagai pengelola kawasan hutan, pihaknya bertanggung jawab atas area seluas 24.000 hektare yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri. Dari luas tersebut baru sekitar 6.000 hektare yang telah ditanami. “Kami membagi kawasan ini menjadi beberapa zona, termasuk kawasan konservasi dan area multi-usaha kehutanan , dan perdagangan karbon yang baru akan diwacanakan, Sebagian besar areal tersebut, tidak ditebang sama sekali untuk menjaga keseimbangan karbon,”ujarnya.
GNJ sendiri sebutnya telah memperoleh sertifikat Forest Stewardship Council (FSC), yang berkomitmen untuk tidak membuka area baru, terutama hutan alam. Dimana fokus perusahaan pada pengembangan hutan tanaman industri seperti pertukangan dan wood pellet untuk energi. “Saat ini kami memanfaatkan berbagai hasil tanaman, yaitu jabon dan sengon, dan diolah menjadi industri pertukangan juga industri wood pellet,” tuturnya. “ Kami tidak mengizinkan pembukaan lahan baru di kawasan hutan dan hanya melakukan penebangan sesuai dengan rencana kerja tahunan yang telah disetujui.”
Terkait dengan klaim masyarakat terhadap lahan, pihaknya berupaya melakukan pola kemitraan. “Contoh konkret kerjasama kami dengan masyarakat adalah bantuan penanaman jagung dan tanaman musiman lainnya, serta membayar pekerjaan pemeliharaan.” Dia juga mengklaim bahwa sebagian karyawan yang bekerja di GNJ adalah warga desa Bubode. Perusahan juga berkontribusi membangun akses jalan yang sebelumnya sulit dilalui kendaraan “Kini sudah bisa diakses mobil, dalam mempermudah masyarakat mengangkut hasil pertanian mereka,” sebutnya.
Liputan ini didukung dan didanai Forest Watch Indonesia (FWI) melalui Fellowship Journalist Program: Transisi Energi Watch.
Sumber tulisan ini berasal dari bicaraa.com